Sengkarut Lahan Gambut Rawa Tripa
Kawasan lindung gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, tak henti dirundung masalah. Setelah terbakar parah pada 2012, kini perambahan dilakukan oleh oknum warga untuk ditanami kelapa sawit. Jika tidak segera ditegah, Rawa Tripa suatu saat tinggal cerita.
Pada Senin (25/6/2018) Kompas bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh meninjau ke lokasi lahan gambut Rawa Tripa. Di beberapa titik terlihat lahan mulai dibuka untuk ditanami sawit. Tanaman sawit yang ditanami oleh perusahaan kala itu juga mulai besar.
Secara geografis, gambut Rawa Tripa terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Pada 1990-an, lahan gambut di dua kabupaten itu mencapai 60.000 hektar lebih. Namun, pada beberapa tahun kemudian, penerbitan hak guna usaha oleh pemerintah pusat untuk perusahaan perkebunan sawit skala besar membuat gambut Rawa Tripa menyusut drastis.
Selain pemberian izin HGU untuk perusahaan, aksi perambahan oleh warga untuk menanami sawit juga memicu kerusakan lahan gambut.
Salah satu kawasan gambut Rawa Tripa yang menjadi sasaran empuk perambahan adalah lahan bekas Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) PT Kallista Alam, di Darul Makmur, Nagan Raya. Lahan gambut 1.605 hektar itu dirambah oknum warga, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, dan lainnya untuk ditanami sawit.
Lahan gambut seluas 1.605 hektar itu sejak 2011 tidak lepas dari kisruh. Persoalan berawal dari penerbitan IUPB oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, yakni pada Agustus 2011. Menjelang beberapa bulan, lahan itu terbakar. Kala itu perusahaan diduga sengaja membakar, tetapi perusahaan membantah keras jika lahan itu sengaja dibakar. Meski demikian, Walhi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap menggugat perusahaan itu ke pengadilan.
Pada 2012, pengadilan memutuskan PT Kallista Alam bersalah karena membiarkan lahan mereka terbakar. Perusahaan itu didenda Rp 366 miliar. Dana itu akan digunakan untuk memulihkan lahan yang terbakar. Meski telah dikeluarkan putusan Mahkamah Agung, PT Kallista Alam belum bersedia membayar denda itu. Bahkan, kini perusahaan balik menggugat Kementerian LHK dan Dinas LHK Aceh. Sampai sekarang proses hukum masih terus berjalan.
Kala itu, pengadilan memerintahkan Gubernur Aceh mencabut IUPB. Pencabutan izin PT Kallista Alam termuat dalam Keputusan Gubernur Aceh No 525/BP2T/5078/2012 tertanggal 27 September 2012. Surat itu juga mencabut surat izin gubernur sebelumnya yang bernomor 525/BP2T/5322/2011 tentang IUPB PT Kallista Alam seluas 1.605 hektar.
Pencabutan itu juga didasari pada Keputusan PTTUN Medan dituangkan dalam Amar Putusan PTTUN Medan Nomor 89/B/2012/PT TUN-MDN tanggal 30 Agustus 2012. Bunyinya, antara lain, mengabulkan gugatan penggugat (Walhi Aceh) dan memerintahkan kepada tergugat, yakni Gubernur Aceh, untuk mencabut keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang disengketakan berupa IUPB kepada PT Kallista Alam.
Lahan 1.605 hektar tersebut dikembalikan kepada negara. Pada 2015, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menetapkan lahan itu sebagai kawasan lindung gambut Rawa Tripa. Artinya kawasan itu tidak dapat digunakan untuk budidaya.
Sementara tanaman sawit yang sudah telanjur ditanami oleh perusahaan seluas 200 hektar di lahan itu diserahkan pengelolaan pada koperasi. Koperasi Kopermas Sinpa yang beranggotakan mantan kombatan GAM dipercayakan mengelola tanaman sawit itu.
Dokumen perjanjian antara Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh dengan koperasi ditandatangani oleh Husaini Syamaun, kepala dinas saat itu. Dikonfirmasi ulang, Husaini mengaku mantan kombatan meminta kepada dirinya agar sawit yang sudah telanjur ditanami perusahaan untuk mereka kelola.
”Mereka perlu lapangan pekerjaan. Setelah disepakati sistem bagi hasil mereka diberi hak untuk kelola. Tapi, karena tidak mampu mengelola dengan baik perjanjian itu pada 2016 dibatalkan,” ujar Husaini.
Sejak perjanjian hak pengelolaan itu diteken, tidak ada satu rupiah pun kas daerah menerima hasil penjualan sawit. Justru, kawasan kian masif dirambah.
Kepala Desa Alue Rambot, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya Hasanuddin mengakui bahwa sebagian warganya membuka hutan gambut untuk menanam sawit. Kebutuhan lahan untuk berkebun menjadi alasan mereka merambah ke kawasan Rawa Tripa.
Kata Hasanuddin, lebih 80 persen penduduk di desanya dan di Nagan Raya bergantung hidup pada tanaman sawit. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh juga menyebutkan Nagan Raya merupakan kabupaten penghasil hasil sawit terbesar di Aceh. Luas kebun sawit di Aceh 421.820 hektar dengan rincian 220.029 hektar perkebunan milik rakyat dan 201.728 hektar milik perusahaan. 85.933 hektar di antaranya berada di Nagan Raya.
Tidak berjalan
Syahrial Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh yang baru mengatakan, pascapenetapan sebagai kawasan lindung gambut Rawa Tripa, pemerintah bersama mitra melakukan reboisasi. Lahan kritis harus dihutankan kembali. Akan tetapi, program itu tidak berjalan mulus.
Syahrial tidak tahu pasti mengapa program penghijauan tidak berjalan. Namun, pengakuan beberapa warga yang ditemui di Darul Makmur, mereka menemukan banyak bibit tanaman kayu mengapung di kanal. Diduga bibit kayu tidak ditanami, tetapi dibuang. Padahal, tidak sedikit anggaran dihabiskan untuk reboisasi Rawa Tripa.
”Sekarang kami sedang mencari mitra baru untuk program penghijauan di Rawa Tripa,” ujar Syahrial.
Adapun pengelolaan sawit di lahan 200 hektar akan dicari mitra baru. Meski sawit itu belum pernah mendatangkan pendapatan bagi daerah, pihaknya tidak akan menebang sawit itu. ”Akan dikelola sampai masa daur habis,” kata Syahrial. Untuk tanaman sawit masa daur 25-30 tahun.
Secara hukum tidak dibenarkan ada perkebunan sawit di dalam kawasan lindung gambut itu. Namun, dengan alasan masih ada nilai ekonomis pemerintah bersikukuh mempertahankan hingga masa daur habis.
Sementara perambahan yang dilakukan oleh warga akan ditertibkan. Jika warga membandel, kata Syahrial, akan ditindak sesuai hukum. ”Kami akan turunkan tim ke lokasi untuk menertibkan,” ujarnya.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur menilai, Pemerintah Provinsi Aceh terkesan tidak serius menyelamatkan Rawa Tripa. Enam tahun setelah lahan itu dikembalikan ke negara, kata Nur, tidak ada gerakan masif memulihkan hutan gambut yang kritis itu.
Nur mengatakan, lahan Gambut Rawa Tripa memiliki kedalaman hingga 3 meter. Ekosistem gambut bermanfaat sebagai penyimpan air, karbon, mitigasi bencana ekologi, dan habitat satwa.
Nur berharap, kawasan lindung gambut Rawa Tripa seluas 1.605 hektar itu segera dipulihkan kembali agar fungsi hutan gambut kembali ke kondisi semula.