Geliat Para Penantang Langit dan Maut
Kota Metropolitan seperti Jakarta dipenuhi gedung-gedung pencakar langit dan menara yang menjulang tinggi. Di balik kokohnya bangunan yang menjadi tempat penghidupan warga Ibu Kota tersebut, ada pekerja yang merawatnya. Mereka bekerja setiap hari menantang langit.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 pada Sabtu (19/5/2018). Matahari mulai meninggi. Sarono (20) sudah bersiap mengenakan alat pelindung diri di atap gedung 29 lantai di kompleks perkantoran dan apartemen L’Avenue, Jakarta Selatan.
Setelah mengenakan body harness dan helm, Sarono menggunakan tali (kernmantle) untuk kegiatan luar ruang. Ia dengan cekatan menjejak dan merayapi sisi luar gedung berbekal peralatan kebersihan, seperti lap dan alat pembersih kaca yang diletakkan dalam sebuah tempat plastik berukuran lima liter.
Tanpa wajah khawatir, dia bergelantungan di ketinggian tak kurang dari 70 meter untuk membersihkan kaca dan dinding luar gedung. Keringat bercucuran di bawah terik matahari dengan suhu 32 derajat Celcius siang itu.
Sarono merupakan pekerja akses tali dari PT Palmarum, sebuah perusahaan jasa kebersihan dinding dan kaca gedung. Bersama empat rekannya, mereka biasa melakukan pembersihan gedung-gedung tinggi menggunakan tali sebagai medium untuk memanjat dan menuruni gedung tersebut.
Enam hari dalam sepekan, mereka membersihkan bagian luar salah satu gedung di L’Avenue mulai pukul 08.00-16.00. Berbagai tantangan, mulai dari angin kencang, panas, hingga membersihkan sudut-sudut yang sulit dijangkau, menjadi makanan sehari-hari.
“Kalau medannya cukup ekstrem, misalnya bentuk gedung agak terlalu ke dalam, saya harus menahan (sakit pada) perut saat bergelantungan,” ujar Sarono.
Sesekali Sarono menyeka keringatnya sembari menempel di dinding gedung. Seorang rekannya yang berada di atap mengawasi cuaca dan kondisi alat Sarono. “Jika mendung pekerjaan harus dihentikan. Mereka harus turun gedung sebelum hujan turun,” kata Manajer Operasional PT Palmarum Agung Pratama.
Agung menyatakan, keselamatan adalah prioritas dalam bekerja di ketinggian. Selain memperhatikan kondisi cuaca, pekerja juga tidak dibolehkan untuk membawa telepon seluler saat bekerja. Sebab, dalam bekerja di ketinggian fokus tidak boleh terganggu.
Wajib sertifikasi
Setiap pekerja akses tali di gedung diharuskan mengambil sertifikasi dan lisensi pekerjaan ketinggian di Kementerian Tenaga Kerja guna menjamin keamanan. Sebab, saat di lapangan, setiap gedung memiliki arsitektur tertentu sehingga memiliki tantangan yang bervariasi.
Pihak perusahaan pun siap menanggung biaya pelatihan pekerjanya. Apalagi, tidak semua orang yang melamar memiliki pengalaman bekerja di ketinggian. Sarono, misalnya, sebelumnya bekerja sebagai perawat kucing di Jakarta.
“Untuk pembersihan di ketinggian, tidak boleh main-main. Harus orang yang tersertifikasi dan berlisensi yang turun di lapangan,” tutur Agung.
Sudah hampir setahun Sarono dan para pekerja PT Palmarum membersihkan L’Avenue. Kompleks gedung pencakar langit itu dirawat setiap hari secara bergantian. Membersihkan satu putaran gedung oleh lima pekerja membutuhkan waktu satu bulan. Target tersebut sudah memperhitungkan terjadinya hujan atau angin kencang, di mana para pekerja dilarang turun.
Sebelum memulai pekerjaan, demi alasan keamanan, mereka diwajibkan mengikuti pengarahan, memeriksa perlengkapan, dan memastikan kondisi fisik dalam keadaan prima. “Kalau tidak enak badan, kami larang bekerja demi keamanannya,” kata Agung.
Tidak hanya di gedung pencakar langit, bekerja di menara telekomunikasi pun membutuhkan sertifikasi dan kompetensi khusus. Jaka Malik (35), petugas Maintenance Service PT Adyawinsa, rekanan PT Huawei, mengakui, agar bisa bekerja di perusahaan rekanan PT Huawei, ia diwajibkan mengikuti pelatihan selama satu pekan sebelum akhirnya tersertifikasi dan memiliki lisensi kerja.
Jaka bertugas memanjat menara telekomunikasi milik PT XL Axiata untuk melakukan perawatan atau perbaikan perangkat secara rutin. “Saya diminta mengikuti pelatihan. Katanya kalau enggak ada sertifikat, saya enggak boleh ikut bergabung,” ucap Jaka, di sela-sela perawatan menara telekomunikasi XL Axiata di kawasan Pasar Baru, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Hendrik, Head of Telco Service Operation PT XL Axiata, memastikan, para pekerja yang memelihara menara telekomunikasi base transceiver station (BTS) wajib memiliki sertifikasi sebagai dasar kompetensi. Selain kemampuan, para pekerja juga harus dibekali peralatan standar minimum untuk bekerja di ketinggian. Ini merupakan bagian dari standar keselamatan kerja yang diterapkan XL Axiata.
“Selain memelihara tower, mereka juga melakukan perbaikan saat ada kerusakan di menara. Tantangan terbesarnya, tidak hanya memanjat menara tetapi juga harus membawa beban berat yang diisi peralatan,” ujar Hendrik. XL Axiata sendiri telah membangun setidaknya 101.000 menara BTS dengan tinggi antara 30-100 meter.
Kecelakaan di ketinggian
Keamanan dan keselamatan kerja bagi mereka yang hidupnya bertumpu pada proyek di ketinggian menjadi perhatian khusus bagi perusahaan penyedia pekerja di ketinggian hingga pemerintah. Hal itu mengingat masih tingginya angka kecelakaan kerja di ketinggian.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan, kasus kecelakaan kerja pada 2017 sebanyak 123.041 kasus (3.173 meninggal). Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan pada 2016, yakni 101.367 kasus (2.382 meninggal).
Direktur Pengawasan Norma Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja (K3), Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Herman Prakoso Hidayat, mengungkapkan, kasus kecelakaan dari ketinggian mencapai 30 persen dari kasus kecelakaan kerja fatal. Penyumbang kasus kecelakaan terbesar adalah dari sektor konstruksi, telekomunikasi, dan manufaktur.
Pemicu tingginya kasus kecelakaan dari ketinggian, kata Herman, antara lain karena rendahnya kesadaran pekerja untuk mengenakan alat pelindung diri sementara pembangunan gedung bertingkat semakin masif. Kurangnya kesadaran pekerja disebabkan banyaknya pekerja kasar dan tidak berpengalaman.
Selain itu, terbatasnya jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis K3 bidang ketinggian masih terbatas, yakni 58 orang. Mereka tersebar di 16 provinsi. Artinya, satu orang pengawas bisa berkeliling ke sejumlah kota dalam satu provinsi.
Berdasarkan data dari BPS yang dirilis Februari 2018, dari 127,07 juta orang yang bekerja, sebesar 53,11 juta atau 41,8 persen di antaranya berpendidikan SD ke bawah. Keadaan tersebut dinilai berpengaruh pada perilaku para pekerja di lapangan. “Kami selalu memberi warning (peringatan) supaya pekerja dilatih dan disertifikasi,” ujar Herman.
Sejak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 tahun 2016 tentang K3 dalam pekerjaan pada ketinggian berlaku, kata Herman, kesadaran pihak perusahaan untuk mendorong pegawainya mengikuti pelatihan hingga bersertifikasi mengalami peningkatan.
“Sertifikasi dan lisensi kerja harus dijadikan persyaratan karena bagaimanapun, para pekerja ditunggu keluarga (untuk pulang dengan selamat),” tambah Herman.
Ketua Umum Asosiasi Rope Access Indonesia (ARAI) Rivalinno Handoko, menuturkan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 tahun 2016 tentang K3 dalam pekerjaan pada ketinggian, belum sepenuhnya tersosialisasi hingga ke seluruh daerah. Sosialisasi harus dilakukan Pemerintah bersama pihak ARAI.
Sosialisasi dianggap krusial disampaikan kepada dinas ketenagakerjaan di daerah serta perusahaan jasa pembinaan keselamatan kesehatan kerja (PJP3). “Banyak yang tahu ada Permen 9/2016 itu, tetapi enggak tahu isi dan detailnya,” ujarnya.
Menurut Rivalinno, kecelakaan di ketinggian lebih banyak menimpa buruh kasar yang belum memperoleh pelatihan. Oleh karena itu, buruh kasar harus memperoleh perhatian khusus agar memperoleh pelatihan bekerja di ketinggian.
Sebagai bentuk antisipasi, pihaknya telah menyusun modul untuk sertifikasi pekerja ketinggian. Modul yang dijual ke PJP3 itu memuat materi seperti perundang-undangan K3 dalam pekerjaan pada ketinggian, identifikasi bahaya dalam kegiatan akses tali, teknik manuver pergerakan pada tali, serta teknik pemanjatan pada struktur.
Dalam menjalani pelatihan, instruktur dan peserta akan mengacu pada modul itu. Setiap modul memiliki nomor khusus yang diperuntukkan bagi setiap peserta. Setelah menjalani proses pelatihan dan ujian, modul dengan nomor perserta akan dikirim ke Kementerian Ketenagakerjaan selaku penerbit sertifikasi dan lisensi bagi pekerja ketinggian.
Sertifikat yang diterbitkan berlaku seumur hidup. Adapun lisensi kerja harus diperbarui setiap lima tahun sekali.Meski kepedulian perusahaan dalam melatih pegawainya meningkat, kata Rivalinno, masih ada masalah yang menghantui pihak ARAI.
Modul yang mereka susun memang sudah dipakai seluruh PJP3 di Indonesia, yang berjumlah 46 buah. “Sayangnya belum semuanya memberi pelatihan yang seragam. Masih banyak yang menerjemahkan akses tali dengan pemahaman sendiri-sendiri,” kata Rivalinno.
Ketidakseragaman itu berdampak pada pelatihan akses tali yang bervariasi. Dia mencontohkan, satu perusahaan bisa saja menyelenggarakan pelatihan dalam lima hari dengan melatih sembilan jenis manuver. Sementara ada perusahaan yang melatih dalam tiga hari dengan hanya melatih lima jenis manuver. “Dampaknya tentu pada keamanan kerja,” kata Rivalinno.