Hasil Pilkada Pengaruhi Strategi
JAKARTA, KOMPAS Hasil pilkada serentak 2018, terutama di provinsi-provinsi ”lumbung suara”, memberi pengaruh besar dalam strategi partai untuk memenangi Pemilu 2019, terutama pemilihan presiden dan wakil presiden. Hasil pilkada juga menunjukkan, gerakan mesin parpol bisa mengerek suara kandidat.
Secara umum koalisi antarparpol di Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah memang cenderung cair. Parpol anggota koalisi pemerintah dan yang ada di luar pemerintah berkoalisi di banyak tempat. Namun, tetap ada kecenderungan terkonsolidasinya pola koalisi parpol.
”Hasil Pilkada 2018 menunjukkan, meski partai non-pemerintah kalah di sejumlah daerah lumbung suara, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, mereka mengalami konsolidasi. Ini terlihat dari perolehan suara kandidat yang mereka usung, yang mengejutkan,” kata peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Arya Fernandes, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Di Jawa Tengah, yang selama ini menjadi basis PDI-P, perolehan suara pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menurut hasil survei Litbang Kompas, mencapai 41,66 persen.
Sementara di Jawa Barat, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN, dari hasil hitung cepat Litbang Kompas, mendapat 29,5 persen suara.
Hubungan
Arya menilai, terbentuk hubungan linier antara pilihan calon gubernur yang diusung koalisi Gerindra-PKS-PAN seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan dukungan terhadap Prabowo Subianto.
Sementara itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menuturkan, besarnya suara yang didapatkan kandidat yang mereka usung di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak lepas dari strategi koalisi di dua pekan terakhir sebelum pencoblosan yang mengampanyekan tagar #2019GantiPresiden.
Terkait hal itu, Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Nusron Wahid mengatakan, hasil pilkada di Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi lampu kuning bagi partai pendukung Jokowi. Pasalnya, meski calon yang diusung partai pendukung Jokowi, dari hasil hitung cepat unggul di dua provinsi itu, kekuatan Partai Gerindra, PKS, dan PAN yang kemungkinan akan mengusung Prabowo sebagai capres pada Pemilu 2019 tidak dapat dipandang sebelah mata.
”Ini jadi pekerjaan rumah dan evaluasi untuk Golkar dan Pak Jokowi. Sebab, ada silent majority atau massa diam di daerah-daerah itu, yang ternyata saat ini cukup kuat menjadi basis Pak Prabowo,” katanya.
Kepala Badan Saksi Pemilu Nasional DPP PDI-P Arif Wibowo mengatakan, berkaca dari pengalaman selama ini, hasil pilkada tidak selalu berkorelasi dengan pencapaian partai di pemilu. Pasalnya, dalam kontestasi pilkada, faktor figur pasangan calon kerap lebih menentukan kemenangan daripada kekuatan mesin partai.
Ia mencontohkan, di Jawa Barat, pada Pilkada 2013, pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki kalah. Namun, saat Pemilu 2014, PDI-P justru meraup suara terbanyak di Jawa Barat hingga lebih dari 4 juta suara.
Kendati demikian, evaluasi tetap dilakukan dari hasil kontestasi di sejumlah provinsi strategis saat Pilkada 2018. Terkait hal itu, PDI-P berencana mengubah strategi berkampanye dari metode konvensional menjadi lebih modern dan interaktif dengan pemilih. Misalnya, dengan lebih aktif memanfaatkan media sosial (medsos) untuk berkampanye dan melawan permainan isu jelang pemilihan.
”Ini menjadi bagian dari proses partai untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Respons kami di medsos (saat pilkada) tidak cukup maksimal. Pengalaman di beberapa daerah itu yang harus dihadapi optimal pada pemilu nanti,” katanya.
Selain itu, juga menggeser pola kampanye dari pemasangan alat peraga kampanye secara masif ke pendekatan personal dengan pemilih. Caranya dengan memperbanyak pertemuan tatap muka dengan masyarakat atau kunjungan dari rumah ke rumah. ”Lebih baik meningkatkan upaya persuasi ke masyarakat, berdialog. Di beberapa daerah saat pilkada kemarin, hal itu juga masih kurang dilakukan,” ujar Arif.
Mesin partai
Evaluasi juga dilakukan terhadap struktur partai di daerah. Saat ini, PDI-P tengah memetakan daerah-daerah yang mesin partainya tidak bekerja maksimal saat pilkada lalu. ”Tentu (hasil evaluasi terhadap struktur partai di daerah-daerah) itu akan kembali pada kebijakan partai, apakah perlu melakukan perubahan struktur dan penguatan pendampingan pada pemilu nanti,” katanya.
Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily menuturkan, partainya juga akan melakukan evaluasi terhadap mesin partai di beberapa daerah. Pasalnya, struktur partai yang sehat sangat dibutuhkan untuk Pemilu 2019,
Evaluasi ini dilakukan karena antara lain calon yang diusung Golkar kalah di daerah yang selama ini menjadi basis partai itu, seperti Sumatera Selatan dan Riau. ”Di dua daerah itu, calon kami tampil sebagai petahana, tetapi tidak berhasil. Kami harus petakan apa yang menjadi penyebab, apakah karena calon dinilai kurang berhasil atau mesin partai tidak digerakkan secara serius,” ujar Ace.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachlan Nashidik mengatakan, partainya juga akan melakukan evaluasi komprehensif guna mempersiapkan Pemilu 2019. Evaluasi ini menyangkut strategi pemenangan partai dari tingkat bawah hingga menentukan figur yang bisa diterima masyarakat.
Evaluasi terhadap mesin partai ini menjadi mendesak karena, menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, Pilkada 2018 memberikan pelajaran bagi partai politik bahwa mesin partai bisa mengerek elektabilitas kandidat yang tidak terlalu populer.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menambahkan, Pilpres 2019 akan menjadi arena kontestasi politik yang sangat dipengaruhi oleh faktor figur dan mesin parpol.
Kondisi ini yang membuat parpol terlihat bekerja lebih pada Pilkada 2018. Apalagi, kemenangan di Pilkada 2018 ini bisa dijadikan modal untuk melakukan tawar-menawar politik dan menyusun strategi di Pilpres 2019.
Hal ini terjadi karena pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak pada 2019. ”Sebelumnya, saat pemilu legislatif digelar lebih dahulu, hasilnya bisa dijadikan patokan koalisi menentukan pasangan capres-cawapres. Kini karena digelar bersama, hasil pilkada yang dijadikan modalitas politik,” ujar Arie.
(GAL/MHD/REK/SAN/IAN/EDN/BOW/AGE)