ROMA, KOMPAS—Bangsa Indonesia mesti memandang kerukunan di antara umat beragama sebagai kebutuhan dan keniscayaaan seperti halnya kemajemukan itu sendiri adalah keniscayaan. Apalagi, semua agama di Indonesia memandang kerukunan sebagai hukum Tuhan dalam kehidupan.
Dari sisi agama, ras, suku, bangsa, dan budaya, Indonesia memiliki kemajemukan yang khas, terutama karena rakyat Indonesia berada di pulau terpisah yang di masa lampau komunikasi dan transportasinya tidak mudah. Karena itu, bangsa Indonesia benar-benar berada pada latar belakang keindonesiaan majemuk.
”Kalau ini adalah takdir Ilahi bahwa kita memang berada pada latar kemajemukan seperti ini ,maka ini mengandung ujian. Tuhan menguji kita apakah kita sanggup hidup damai dengan latar belakang kemajemukan atau tidak,” kata Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin, Sabtu (30/6/2018), di Roma, pada pembukaan seminar ”Dialog Antaragama Masyarakat Indonesia di Eropa” yang digelar Kedutaan Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan.
Selain Din, pembicara lain dalam seminar ini adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam, Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Dewi Savitri Wahab, dan Asisten UKP-DKAAP Riefqi Muna. Seminar diikuti 45 peserta dari 22 negara Eropa dan dipandu Pastor Markus Solo SVD, anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama.
Menurut Din, mereka yang cenderung mampu hidup damai dalam konteks latar belakang kemajemukan adalah pemenang dari ujian itu. Mereka orang-orang berwawasan inklusif yang menyadari eksistensinya bahwa saya ada untuk orang lain dan orang lain ada untuk saya. ”Sebaliknya, mereka yang cenderung eksklusif adalah para pecundang. Semua agama memberikan penguatan terhadap pemikiran-pemikiran seperti ini,” ucapnya.
Mereka yang cenderung eksklusif adalah para pecundang. Semua agama memberikan penguatan pada pemikiran-pemikiran seperti ini.
Pada satu titik, persaudaraan antarumat beragama harus dipandang sebagai persaudaraan yang berdimensi biologis. Sebab, antar-penganut agama kadang memandang yang lain sebagai saudara seiman tetapi lupa bahwa mereka adalah satu nenek moyang yang sama.
Kemajemukan yang khas
Corak kemajemukan Indonesia khas dan berbeda dengan negara-negara lain seperti India dan AS yang juga mengklaim sebagai negara majemuk. Perbedaannya adalah negara itu berada di daratan kontinental, sementara Indonesia berada di wilayah kepulauan. Kondisi ini mengandung konsekuensi dan tantangan.
Di sisi lain, nasionalisme Indonesia terjalin karena kesamaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah. Salah satu tantangan serius yang perlu diantisipasi adalah hilangnya keterikatan nasionalisme karena ketidakpedulian generasi penerus akan sejarah.
”Pesan saya, soal kemajemukan, kerukunan, dan persatuan tidak bisa dipandang secara otomatis, tidak cukup dengan kita teriakkan Pancasila atau Bhinneka Tunggal Ika secara an sich (harafiah), tetapi juga perlu pengelolaan kemajemukan. Ini tantangan Indonesia yang luar biasa,” kata Din.
Nur Syam menambahkan, salah satu tantangan adalah menguatnya gerakan transnasional yang diikuti generasi muda Indonesia. Gerakan ini mengatakan bahwa tafsir agama yang paling benar adalah tafsir mereka sendiri dan menafikan tafsir kelompok lain.
”Gerakan ini menjadi menguat karena mereka sangat paham media sosial. Mereka menyebarkan (pemahaman) melalui media sosial yang sangat luar biasa,” kata Nur Syam.
Untuk mengatasi hal ini, salah satu yang bisa diusung adalah gerakan moderasi agama. Langkah ini dinilai jauh lebih mengena dibandingkan dengan gerakan deradikalisasi.
Tahun ini, Indonesia melalui UKP-DKAAP telah menginisiasi pembentukan poros dunia untuk Islam wasatiyah atau Islam moderat yang terbuka, mau berinteraksi, dan hidup damai dengan agama lain. Usulan ini didukung ulama dan cendekiawan Muslim dunia yang berkumpul dalam Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Islam Wasatiyah, di Bogor, Jawa Barat awal Mei lalu.
Menyikapi keprihatinan serupa, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan menggelar Seminar Dialog Antaragama Masyarakat Indonesia di Eropa disambung dengan Dialog Bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan Vatikan dan Italia 30 Juni-5 Juli 2018 di Roma.
“Salah satu titik lemah yang melekat pada dialog beragama adalah sifatnya yang cenderung elitis dan kurang membumi. Karena itu, dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat di Eropa diharapkan gerakan ini bisa disebarkan ke masing-masing komunitas saat peserta kembali ke negara masing-masing,” kata Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan Agus Sriyono.
Dialog ini diharapkan bisa mencapai kesepakatan mengenai langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan toleransi di bumi Indonesia. Konsensus ini akan dinyatakan dalam kesepakatan di akhir pertemuan agar nantinya memiliki gaung di Tanah Air.