JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah masih bertengger di kisaran Rp 14.000 setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen pada 29 Juni 2018. Keadaan tersebut dinilai terjadi akibat rupiah terimpit oleh tekanan moneter dan fiskal di saat yang bersamaan.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono saat dihubungi dari Jakarta, Senin (2/7/2018), menyampaikan, rupiah yang masih terdepresiasi mengindikasikan pemerintah perlu menggunakan instrumen lainnya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Dari sektor moneter, rupiah terimpit karena kenaikan suku bunga Fed Fund Rate dari Bank Sentral Amerika Serikat menjadi 1,75-2 persen. Sementara dari sektor fiskal, rupiah tertekan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai rata-rata 70 dollar AS per barrel. ”Rupiah saat ini seperti sandwich,” kata Tony.
Penguatan nilai tukar rupiah kali ini lebih lambat dari sebelumnya. Pada 29 Juni 2018, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen. Kebijakan tersebut berlaku pada hari yang sama.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah berada pada Rp 14.404 per dollar AS pada 29 Juni 2018. Nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 14.331 per dollar AS pada 2 Juli 2018.
BI juga sebelumnya menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps per 31 Mei 2018. Nilai tukar rupiah pada waktu itu diumumkan, 30 Mei 2018, adalah Rp 14.032 per dollar AS. Pada keesokan harinya, nilai tukar rupiah Rp 13.951 per dollar AS setelah suku bunga acuan yang baru berlaku.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, penyebab lain dari sedikitnya penguatan nilai tukar rupiah menunjukkan bahwa likuiditas dalam pasar keuangan sedang mengetat.
”Pada akhir Mei, capital outflow sedang kembali sehingga rupiah juga langsung menguat pada saat yang bersamaan ketika suku bunga acuan yang baru berlaku,” ujar Enny.
Namun, kali ini terdapat tekanan terhadap pasokan dollar AS karena capital outflow kembali terjadi, neraca perdagangan masih defisit, dan pembagian dividen oleh perusahaan terjadi pada bulan Juni.
Menurut Tony, BI telah menggunakan instrumen yang dimilikinya untuk menstabilkan rupiah. Kendati demikian, ruang BI untuk kembali meningkatkan suku bunga acuan semakin terbatas guna menghadapi potensi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang ketiga kalinya pada 2018.
Oleh karena itu, stimulus dari sektor fiskal juga dibutuhkan. ”Perekonomian Indonesia butuh relaksasi fiskal. Defisit APBN yang semula dicanangkan 2,19 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) perlu dilonggarkan sedikit, misalnya menjadi 2,5 persen,” tuturnya.
Tentu saja, katanya, pemerintah tetap harus berhati-hati agar tidak melewati batas maksimal defisit sebesar 3 persen terhadap PDB.
Enny menambahkan, BI tidak dapat terus melakukan intervensi ganda karena cadangan devisa terus tergerus. Selama ini, BI menyuplai pasar valuta asing (valas) dan membeli surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder yang dijual asing.
Data dari laman Bank Indonesia menyebutkan, cadangan devisa negara pada Mei 2018 sebesar 122,9 miliar dollar AS, sedangkan jumlah cadangan devisa pada April 2018 sebesar 124,87 miliar dollar AS dan Maret 2018 sebesar 126 miliar dollar AS.
”Saat ini cadangan devisa pasti sudah tersisa Rp 120 miliar dollar AS. Jangan sampai cadangan devisa mencapai 110 miliar dollar AS karena dapat membuat situasi panik lalu dimanfaatkan spekulan,” kata Enny.
Sebelumnya, untuk mencegah pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu dari kenaikan suku bunga acuan, BI membuat kebijakan relaksasi rasio kredit terhadap agunan (loan to value ratio/LTV) untuk kredit properti.
BI juga melonggarkan rasio pinjaman terhadap agunan (financing to value ratio/FTV) untuk pembiayaan properti, pelonggaran jumlah fasilitas kredit, atau pembiayaan melalui mekanisme inden, dan penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Kebijakan itu berlaku per 1 Agustus 2018.
Secara terpisah, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Filianingsih Hendarta menyatakan, BI tetap optimistis pertumbuhan kredit tahun ini akan mencapai 10-12 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2018 adalah 5,1-5,5 persen.
”Berdasarkan catatan secara historis, dalam beberapa kasus tidak ada korelasi antara kenaikan suku bunga acuan dan penurunan permintaan kredit,” kata Filianingsih.
Berharap
Tony mengatakan, ia masih berharap The Fed tidak akan menaikkan Fed Fund Rate hingga dua kali sepanjang sisa tahun 2018. Saat ini, keadaan perekonomian AS sedang bagus di mana tingkat pengangguran hanya mencapai 3,8 persen.
”Kalau FFR naik lagi, dollar AS akan menguat sehingga barang dan jasa dari AS menjadi mahal. Hal itu justru merugikan neraca perdagangan dan transaksi berjalan AS yang sedang defisit besar,” ujar Tony.
Ditambah lagi, China juga sedang memperlemah mata uangnya, yuan, untuk mengurangi dampak negatif perang dagangnya dengan AS.