JAKARTA, KOMPAS — Penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik harus disiapkan dengan baik, baik aspek legalitas, psikologis ego sektoral kementerian teknis dan institusi di daerah, perangkat organisasi, maupun kesiapan sumber daya manusia.
Tanpa kesiapan dalam mentransformasi sistem perizinan terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) dikhawatirkan terjadi berbagai kendala di lapangan dan berdampak pada dunia usaha. Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Senin (2/7/2018).
”Transformasi sistem perizinan tentu bagus. Namun, itu perlu disiapkan dan diuji coba. Banyak tantangan dalam penerapan sistem itu,” kata Hariyadi. Kendala itu terkait dengan aspek legalitas, psikologis aparat dari berbagai institusi, perangkat organisasi, dan kualitas aparat birokrat yang menjalankan sistem.
Seperti diberitakan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Tujuannya, mempermudah izin usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kementerian terkait dan pemerintah daerah perlu mengikuti regulasi itu untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi (Kompas, 2/7/2018).
Terkait legalitas, misalnya, menurut Hariyadi, pemerintah pernah menyatakan izin gangguan (HO) tidak diperlukan. Namun, de facto, izin gangguan masih diberlakukan terutama di daerah-daerah ketika pelaku usaha mengurus izin usaha.
Izin gangguan terutama di daerah terkait dengan regulasi yang saling berkaitan, kewenangan institusi di daerah, dan retribusi yang dipungut di daerah. ”Bagaimana masalah itu bisa diselesaikan. Kalau tidak, tentu tetap menjadi masalah,” katanya.
Hariyadi menilai transformasi sistem OSS merupakan upaya pemerintah untuk mengefisienkan pengurusan perizinan usaha. Dalam setiap efisiensi, pasti ada bagian mata rantai pengurusan perizinan dan kewenangan yang dipangkas.
Hariyadi mempertanyakan apakah pelaksana sistem OSS dari kementerian teknis, lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah secara psikologis mau mendukung sistem OSS jika ada kewenangan yang dipangkas. Dari perangkat organisasi, baik perangkat keras maupun lunak, juga perlu disiapkan.
Sebagai contoh, kata Hariyadi, apakah pelaku usaha yang selama ini mengurus perizinan usaha di pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) BKPM masih dapat dilayani di lapangan dengan adanya sistem tersebut.
Oleh karena itu, sistem OSS sebagai upaya transformasi sistem perizinan secara online perlu diuji coba dan disiapkan dengan matang. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi berbagai kendala di lapangan yang berdampak pada pelaku usaha atau dunia usaha.
Mentalitas birokrat
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta mengatakan, penerapan sistem OSS harus diikuti dengan upaya perubahan mental aparat birokrasi yang mengurus berbagai perizinan.
Tanpa revolusi mental atau perubahan besar mentalitas aparat birokrat, sistem OSS tidak mudah diterapkan untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. ”Sistem yang ada di Indonesia tidak jelek. Yang kurang itu manusia di balik mesin,” kata Tutum.
Menurut Tutum, dalam penerapan sistem OSS, aparat birokrat yang melaksanakan harus mempunyai mentalitas melayani, jangan mempersulit orang, proaktif, bertanggung jawab, dan berpengetahuan.
Tutum mencontohkan, di DKI Jakarta, sudah ada sistem elektronik dalam mengurus perizinan. Namun, dalam praktik, berbagai kendala masih dijumpai karena masalah kualitas atau mentitas oknum aparat birokrat.
Oleh karena itu, kata Tutum, pemerintah di tingkat pusat ataupun kepala daerah perlu membuat program-program peningkatan kualitas aparat birokrat terutama aparat birokrat yang melaksanakan sistem OSS.
Pemerintah juga perlu menyiapkan dan memastikan perangkat lain, misalnya komputer dan internet di daerah berjalan dengan baik, untuk mendukung sistem OSS. ”Kalau tidak jalan, yang dirugikan dunia usaha,” kata Tutum.
Tutum mengusulkan, untuk menguji apakah suatu sistem OSS berjalan, aparat birokrasi dapat menjadi karyawan perusahaan swasta untuk mengurus perizinan dengan sistem tersebut. ”Jadi, nanti aparat birokrasi bisa tahu di mana kendalanya,” katanya.