Trenggiling, Satwa Liar Terbanyak Diperdagangkan secara Ilegal di Dunia
Trenggiling adalah satwa liar yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di dunia. Upaya mendasar perlu dilakukan untuk menyelamatkannya. Sejumlah peneliti saat ini merintis teknik sidik jari forensik sebagai metode baru memenangi pertempuran melawan perdagangan ilegal trenggiling di dunia.
”Ini adalah terobosan signifikan untuk investigasi kejahatan terhadap satwa liar,” kata Nicholas Pamment, pengelola Unit Kejahatan Satwa Liar di Universitas Portsmouth, Inggris, seperti diberitakan sciencedaily.com edisi 29 Juni 2018.
Penelitian dilakukan oleh para peneliti di Universitas Portsmouth dan badan amal konservasi internasional Masyarakat Zoologi London (ZSL), dengan dukungan dari pasukan perbatasan Inggris.
Trenggiling ditemukan di seluruh Asia dan Afrika, tetapi jumlahnya berkurang karena perburuan untuk perdagangan internasional. Sekitar 300 trenggiling diburu setiap hari, membuat hewan yang tidak biasa ini adalah mamalia yang diperdagangkan secara ilegal di dunia.
Daging trenggiling dianggap lezat di China dan Vietnam, sementara sisiknya digunakan untuk obat tradisional Asia. Trenggiling juga digunakan untuk obat tradisional Afrika.
Semua perdagangan dalam daging dan skala trenggiling saat ini dilarang oleh perjanjian internasional Konvensi tentang Perdagangan Internasional dalam Spesies Terancam Punah (CITES).
Metode baru ini menggunakan gelatin yang digunakan secara universal oleh praktisi forensik untuk mengangkat jejak kaki, sidik jari, dan melacak bahan dari berbagai obyek dalam penyelidikan kriminal. Metode ini akan menemukan sidik jari manusia di sisik trenggiling.
Nicholas Pamment mengatakan, ilmu forensik akan digunakan untuk menghentikan perdagangan satwa liar yang menjadi faktor signifikan dalam hilangnya habitat dan spesies.
”Apa yang kami lakukan adalah menciptakan metode cepat, mudah, dan dapat digunakan untuk investigasi kejahatan terhadap satwa liar di lapangan untuk membantu melindungi mamalia yang terancam punah ini. Ini adalah alat lain yang dapat kami gunakan untuk memerangi perburuan dan perdagangan hewan liar,” ujarnya.
Christian Ploughman, penasihat penegakan hukum ZSL, mengatakan, proyek ini merupakan contoh yang bagus tentang bagaimana berbagai organisasi bekerja sama untuk tidak hanya mengembangkan metode yang berhasil, tetapi juga mengoptimalkan metode untuk digunakan dalam investigasi kejahatan terhadap satwa liar.
Ploughman bersama Brian Chappell dari Universitas Portsmouth yang merintis proyek forensik untuk satwa liar ini adalah eks detektif Scotland Yard.
Grant Miller, Kepala Tim Penegakan Hukum CITES Nasional Inggris, tahu betapa berharganya trenggiling oleh mereka yang terlibat dalam kejahatan terhadap satwa liar.
”Saya senang bahwa Pasukan Perbatasan telah dapat memainkan perannya dalam pengembangan metode ini untuk mengangkat sidik jari dari sisik trenggiling, teknologi yang akan membantu membawa pemburu dan penyelundup ke pengadilan,” katanya.
Para peneliti kini telah mengembangkan metode ini di Kenya dan Kamerun untuk membantu dalam perjuangan mereka melawan perburuan ilegal trenggiling.
Indonesia juga memiliki masalah yang sama dalam perdagangan ilegal yang meluas di Tanah Air.
Trenggiling (Manis javanica) adalah satwa liar endemik Indonesia. Harian Kompas (14 Maret 2016) memberitakan, di dunia terdapat delapan spesies trenggiling: 4 di Asia (Manis javanica, M. pentadactyla, M. crassicaudata, dan M. culionensis) serta 4 di Afrika (M. gigantea, M. temmincki, M. tricuspis, dan M. tetradactyla). Trenggiling di alam Indonesia adalah M. javanica, tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Lombok. M. javanica juga ditemukan di Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Seperti pada tingkat dunia, di Indonesia trenggiling adalah satwa liar terbanyak yang diperdagangkan, setidaknya dari pemberitaan di harian Kompas. Dari pelacakan kliping berita Kompas sejak 27 Juni 1965 hingga 31 Desember 2016, perdagangan trenggiling adalah yang terbanyak diberitakan.
Dari kliping berita Kompas pada 11 September 1969-31 Desember 2016 yang menyangkut perdagangan satwa liar, terdapat sedikitnya 122 jenis satwa liar yang diperdagangkan, baik di dalam negeri maupun diperdagangkan ke luar negeri. Dari 122 spesies, yang paling banyak diberitakan adalah trenggiling, diikuti harimau sumatera, burung kakatua, kukang, gajah sumatera, dan orangutan.
Berita tentang ancaman kepunahan trenggiling pertama kali muncul dalam harian Kompas (22 April 1974). Dalam berita tersebut dikabarkan kotoran trenggiling dicari karena dipercaya sebagai obat panas. Kotoran trenggiling banyak dicari di Jampang Kulon, Sukabumi, Jawa Barat.
Di Jawa Tengah, trenggiling sudah hampir punah. Di Jawa Tengah, trenggiling masih ditemukan di Pulau Nusakambangan. Harga kotoran trenggiling waktu itu dijual Rp 10 setiap kerat yang panjangnya sekitar 1 sentimeter. Selain kotorannya, kulit trenggiling juga dicari oleh orang Jepang.
Karena di Jawa sudah sulit mencari trenggiling, para pemburu mencarinya di luar Jawa untuk dikirim langsung ke luar negeri. Penyelundup pun sudah melibatkan warga negara asing. Markas Besar Polri bahkan turun tangan untuk mengungkap perdagangan internasional trenggiling ini.
Seperti dilaporkan harian Kompas (2 Agustus 2008), Mabes Polri mengungkap perdagangan trenggiling secara ilegal yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan, yang diperkirakan beromzet ratusan miliar rupiah per bulan. Jaringan perdagangan trenggiling yang dibongkar di Palembang itu merupakan pemasok trenggiling ke China, Laos, dan Vietnam.
Polisi menahan tiga tersangka: EKS (29), warga Malaysia, serta HSH (38) dan MRS (56), warga Palembang.
Selain di Palembang, Departemen Kehutanan pernah membongkar perdagangan trenggiling di Kalimantan Selatan, Bali, dan Sumatera Utara, tetapi hanya di Palembang yang melibatkan warga negara asing.
Warga negara Malaysia lain juga ditangkap polisi karena menyelundupkan trenggiling dari Indonesia. Harian Kompas (7 April 2009) memberitakan, petugas Satuan Polisi Air Polda Riau berhasil menggagalkan penyelundupan 13 trenggiling yang akan diselundupkan ke Malaysia.
Dua tersangka pelaku penyelundupan adalah Mat Zaki Mislan (41) dan Zakaria Baharuddin (30). Petugas menangkap tersangka di wilayah perairan Tanjung Sekodi, Bengkalis. Salah seorang tersangka pelaku, Mat Zaki, merupakan warga negara Malaysia. Dia tinggal di Parit Jawa, Muara, Johor, Malaysia.
Permintaan akan daging dan sisik trenggiling terus meningkat. Seperti dikutip Kompas pada 26 Agustus 2011, daging dan sisik trenggiling biasanya dimanfaatkan untuk bahan obat-obatan, kosmetik, dan campuran narkoba jenis sabu. Hal yang terakhir ini adalah hal baru di kalangan pengguna sabu.
Mitos khasiat trenggiling ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah. Harian Kompas (22 Maret 2013) memberitakan, para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuangkan penelitian mereka dalam buku Bioresources untuk Pembangunan Hijau tahun 2013.
Salah satunya tentang manfaat trenggiling. Sisik hewan itu mengandung tramadol HCL, zat aktif yang bersifat analgesik atau meredakan rasa nyeri. Tramadol HCL juga terdapat pada psikotropika sabu.
Daging trenggiling juga dikonsumsi di China. Harian Kompas (23 Juli 2009) memberitakan, restoran-restoran di China menjual sup trenggiling seharga Rp 500.000 per mangkok.
Hingga tahun 2017, perdagangan trenggiling masih terjadi. Seperti diberitakan Kompas edisi 16 Juni 2017, pada 13 Juni 2017, penyidik dan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera menggagalkan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi di Medan, Sumatera Utara. Aparat menangkap dua tersangka berinisial H (24) dan S (42). Dari mereka, aparat mengamankan 225 trenggiling, 5 karung berisi kulit/sisik trenggiling kering, dan 4 kulit/sisik trenggiling basah, dengan nilai Rp 2,5 miliar.
Pada Oktober 2017, tiga kali penyelundupan trenggiling digagalkan di Riau. Seperti terjadi pada 5 Oktober 2017, petugas Bea dan Cukai Dumai menggagalkan pengiriman 95 trenggiling.
Pada Selasa, 24 Oktober, aparat TNI Angkatan Laut Dumai menangkap dua nelayan pembawa 100 satwa itu di Selat Bengkalis.
Senin, 30 Oktober 2017, polisi menahan dua tersangka pengepul trenggiling berinisial AM dan J, warga (Kabupaten) Kuantan Singingi, dan 70 trenggiling.
”Kedua tersangka mengumpulkan satwa yang dilindungi itu dari Sumatera dan akan diselundupkan ke Malaysia,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Gideon Arif Setiawan di Pekanbaru (Kompas, 1 November 2017).
Pemerintah Indonesia melindungi trenggiling melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Hewan. Trenggiling berada di urutan ke-41 dari 236 satwa liar Indonesia yang dilindungi PP No 7/1999.