JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik menyatakan angka inflasi pada bulan Ramadhan 2018 tergolong rendah dibandingkan Ramadhan tahun lalu. Inflasi dinilai lebih disebabkan rendahnya permintaan. Oleh karena itu, hal yang mesti diwaspadai adalah potensi penurunan daya beli masyarakat.
Dalam laporan yang disampaikan BPS, Senin (2/7/2018), inflasi Juni 2018 turun menjadi 0,59 persen dari 0,69 pada periode yang sama pada 2017.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, dari penghitungan atau survei di 82 kota oleh BPS, seluruhnya mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Tarakan sebesar 2,71 persen. Sementara inflasi terendah terjadi di Medan dan Pekanbaru sebesar 0,01 persen.
Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya seluruh indeks kelompok pengeluaran. Dari tujuh kelompok pengeluaran, enam kelompok memberikan andil terhadap inflasi nasional. Tingkat inflasi Januari hingga Juni 2018 sebesar 1,90 persen, sedangkan tingkat inflasi tahun ke tahun tercatat 3,12 persen.
Kelompok yang memberikan andil terhadap inflasi antara lain bahan makanan sebesar 0,19 persen; makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,08 persen; perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 0,03 persen; sandang 0,02 persen; kesehatan 0,01 persen; dan transportasi, komunikasi, serta jasa keuangan 0,26 persen.
Salah satu subkelompok bahan makanan yang memiliki andil terhadap inflasi adalah ikan segar sebesar 0,08 persen. Penyebabnya, di Indonesia timur cuaca yang buruk menyebabkan nelayan tidak berani melaut. Pasokan ikan ke pasar berkurang sehingga harganya naik.
Suhariyanto menjelaskan, selain komoditas-komoditas yang mengalami inflasi, ada juga komoditas yang harganya turun selama Lebaran sehingga berandil terhadap deflasi. Komoditas itu adalah telur ayam ras dan cabai merah masing-masing sebesar 0,03 persen. Beras dan bawang putih juga berkontribusi terhadap deflasi masing-masing 0,01 persen.
”Jadi, kombinasi dari beberapa komoditas yang harganya naik terkompensasi dengan komoditas yang harganya turun,” ujar Suhariyanto di Jakarta.
Daya beli masyarakat masih bagus, saya tak melihat ada penurunan daya beli.
Adapun untuk kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, subkelompok komunikasi dan pengiriman berkontribusi terhadap deflasi sebesar 0,03 persen. Sementara komoditas yang dominan memberikan andil inflasi, yaitu tarif angkutan udara sebesar 0,15 persen, tarif angkutan antarkota 0,8 persen, dan tarif kereta api 0,01 persen.
Daya beli
Suhariyanto menambahkan, untuk komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,24 persen. Inflasi yang dipengaruhi faktor fundamental, yaitu interaksi penawaran-permintaan ini, menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, tergolong rendah. Sementara itu, Suhariyanto mengakui inflasi komponen inti cukup rendah. Angka komponem inti yang rendah menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat.
Namun, Suhariyanto memperkirakan hal itu disebabkan bukan karena penurunan daya beli masyarakat, melainkan lebih pada golongan menengah ke atas yang cenderung menahan belanja untuk keperluan menabung dan investasi.
”Daya beli masyarakat masih bagus. Saya tak melihat ada penurunan daya beli,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Enny Sri Hartati menyampaikan, inflasi pada bulan Ramadhan secara keseluruhan relatif rendah. Hal itu juga dialami hampir semua negara akibat perlambatan ekonomi global.
Enny menilai rendahnya inflasi disebabkan tidak ada tekanan dari sisi permintaan. Menurut Enny, hal itu tecermin dari angka inflasi komponen inti yang rendah. Sepanjang Januari hingga Juni 2018, tingkat inflasi komponen inti sebesar 1,37 persen. Enny menilai angka tersebut tergolong sangat rendah.
”Pemerintah harus mengevaluasi. Ketika inflasi rendah selama tiga tahun terakhir ini, apakah itu berdampak berhadap daya beli masyarakat?” ujarnya.