Sudah lebih dari tiga jam kapal terombang-ambing keras. Namun, daratan Jakarta belum kunjung nampak. Pelayaran dari Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, siang hingga sore Rabu (20/6/2018) itu mirip wahana permainan. Bedanya, kali ini taruhan nyawa benar terjadi. Bayangan peristiwa di Danau Toba pun terus berkelebat seiring miringnya kapal ke kanan dan ke kiri.
“Akhirnya, penderitaan usai sudah,” ujar Fikri Azhar (22), salah satu penumpang Kapal Motor Milles 2, saat wajah dermaga Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, semakin jelas dari kapal. Mahasiswa universitas negeri di Jakarta itu sedari tadi pucat, mengingat 80 persen waktu tempuh dari total 4,5 jam pelayaran dilalui dengan hantaman gelombang-gelombang kuat.
“Penderitaan” Fikri pada hari kelima setelah Lebaran tersebut bermula dari Pelabuhan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Ratusan wisatawan seusai berekreasi ke pulau-pulau kecil di sekitar Harapan, termasuk Fikri dan kawan-kawan, bersiap pulang ke daratan Jakarta. Mereka memadati dermaga, bersiaga untuk hinggap ke kapal yang tiba.
Kapal-kapal di pelabuhan Pulau Harapan merupakan kapal khusus angkutan wisata. Normalnya, kapal-kapal itu mengangkut wisatawan dari Kali Adem pada Sabtu pagi kemudian bertolak dari Pulau Harapan kembali ke Kali Adem di Minggu siang. Namun, karena jumlah wisatawan membeludak di libur panjang Lebaran tahun ini, kapal-kapal tersebut beroperasi setiap hari selama sepekan. Sama seperti kapal pelayaran Kepulauan Seribu untuk penumpang umum, kapal pengangkut wisatawan juga berupa kapal tradisional berbahan kayu.
Seorang awak kapal lantas memanggil sejumlah nama grup wisatawan, dan meminta mereka pindah ke kapal lain yang juga sudah tiba agar kapal tidak kelebihan beban. Namun, itu belum cukup berdampak. Masih ada penumpang yang menempati geladak tanpa dinding dan atap, karena bagian dalam sudah terlampau penuh. Beruntung, Fikri bisa mendapat tempat di bagian dalam di lantai dua. Ruang ini tidak dipasangi kursi.
Setelah lebih dari satu jam bersandar, KM Milles 2 mulai bergerak menjauhi Pulau Harapan pukul 13.30. Awalnya, laut relatif tenang. Namun, tidak sampai satu jam kemudian, gelombang laut menghampiri kapal makin lama makin besar dan terus silih berganti. Geladak kapal seakan sudah bakal masuk ke laut saat kapal miring ke kiri, tetapi kemudian badan kapal segera berganti miring ke kanan dengan tingkat kemiringan serupa.
Ketinggian gelombang beberapa kali mencapai 3 meter. Kapal wisata di depan KM Milles 2 pun menghadapi tantangan serupa. Kapal miring ke kiri dan kanan mirip truk bermuatan berlebih saat di jalan raya. Rasa mual menjadi-jadi. Suara berderik kayu pada badan kapal ketika bergoyang keras terdengar.
Pelampung rusak
Beberapa penumpang berupaya mencari rompi pelampung yang tadi sudah dipegang. Sayangnya, rompi itu tidak terlihat lagi sejak sebagian penumpang bergerak pindah ke kapal lain. Awak kapal pun sebelum keberangkatan tidak memastikan tiap penumpang mengenakan rompi pelampung. Bahkan, beberapa unit rompi rusak, kemungkinan karena sering dipakai untuk alas duduk.
Cemas menghampiri. Bermacam pikiran muncul, termasuk strategi menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Terbayang jelas, berita tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara. Kapal kayu tersebut tenggelam dengan ratusan penumpangnya dalam perjalanan dari Pelabuhan Simanindo (Kabupaten Samosir) menuju Pelabuhan Tigaras (Kabupaten Simalungun) pada Senin (18/6/2018). Banyak kejanggalan dari pelayaran tersebut, salah satunya jumlah penumpang yang mencapai sekitar 180 orang sedangkan kapasitas angkut KM Sinar Bangun maksimal 43 orang.
Setiap kali KM Milles 2 terombang-ambing, lagi-lagi bencana KM Sinar Bangun terasa dekat. Awak kapal yang duduk di bagian luar depan berdiri setiap kapal melewati gelombang tinggi, mengecek kondisi penumpang di buritan yang tidak terlindung atap.
Kapten KM Milles 2, Nahrawi (50), mengatakan, gelombang tinggi semacam ini biasa terjadi selama Juni-Agustus setiap tahun, bertepatan dengan musim angin timur, nama populer dari angin muson Australia penanda musim kemarau.
“Maka jalannya harus hati-hati. Kalau tidak, bahaya,” tutur dia.
Meski demikian, Fikri tidak kapok berlibur lagi ke Pulau Harapan suatu saat. “Ya, risiko. Namanya juga ke pulau,” ujar dia.
Pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menuturkan, kondisi pelayaran semacam itu menunjukkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kurang peduli terhadap transportasi laut. Hal senada sebenarnya terjadi di beberapa pemerintah daerah lain, dan juga pemerintah pusat. Selama ini, pengembangan angkutan umum hanya berorientasi di darat.
Salah satu pembenahan yang mendesak adalah penggantian kapal-kapal tradisional dengan kapal yang lebih layak dan aman. Menurut Djoko, kapal-kapal berbahan kayu tersebut sebaiknya tidak lagi beroperasi untuk rute pelayaran Kali Adem-Kepulauan Seribu, cukup untuk pelayaran di area pulau.
Pada sisi lain, pembenahan kualitas awak kapal tradisional juga penting lewat beragam pelatihan. Kesadaran dan kemauan untuk menjaga keamanan diri selama perjalanan harus dimiliki oleh awak kapal, pengelola pelabuhan, dan pastinya, penumpang itu sendiri.
Djoko berpendapat, kualitas kapal dan awak kapal pelayaran Kali Adem-Kepulauan Seribu tidak lebih baik dibanding di Danau Toba. Padahal, Jakarta sebagai Ibu Kota merupakan tolok ukur bagi provinsi lain. Tragedi KM Sinar Bangun bukan tidak mungkin berulang di perairan Teluk Jakarta jika tidak ada perbaikan. Jika begini-begini saja…