SHANGHAI, SENIN Mengawali paruh kedua tahun ini, Senin (2/7/2018), mayoritas bursa saham di kawasan Asia ditutup turun cukup dalam. Aneka sentimen negatif membayangi investor, mulai dari kelanjutan perang dagang China-Amerika Serikat, kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga acuan AS, fluktuasi harga minyak, hingga risiko politik di Benua Eropa.
Indeks Shanghai Composite ditutup anjlok 2,52 persen ke level 2.775,56. Sepanjang tahun ini, indeks Shanghai telah melorot 16,1 persen. Indeks Nikkei225 di Tokyo juga melempem 2,21 persen ke level 21.811,93, menjadikan sejak awal tahun indeks Nikkei225 turun 4,2 persen. Penurunan indeks saham juga terjadi di Seoul, di mana indeks KOSPI anjlok 2,35 persen ke level 2.271,54. Sepanjang tahun ini, indeks KOSPI melemah sebesar 7,9 persen.
Penurunan mayoritas pasar saham di Asia menyeret bursa-bursa saham di Eropa ke zona merah. Pada awal-awal perdagangan, indeks Stoxx Europe 600 turun 0,9 persen. Hal itu merupakan penurunan terdalam pada kurun waktu 11 pekan secara mingguan. Hal itu juga langsung menyeret future bursa Wall Street ke zona merah.
Di pasar mata uang, mata uang dollar AS melanjutkan tren penguatannya. Hal itu, antara lain, tecermin dalam indeks Bloomberg Dollar Spot yang menanjak 0,3 persen. Mata uang euro melemah terhadap dollar AS di tengah kekhawatiran investor atas kondisi politik di Jerman.
Mata uang yuan di China pun melanjutkan tren penurunan. Para analis menilai otoritas bank sentral negeri itu sengaja melemahkan mata uangnya sebagai respons atas efek-efek perang dagang melawan AS.
Taruhan besar
Ketakutan akan sebuah kondisi perang perdagangan secara global menjadi sentimen utama penekan pasar keuangan. Washington siap-siap menerapkan tarif atas impor China pada 6 Juli 2018. Beijing juga bergeming sejauh ini dan menyatakan kesiapannya untuk membalas apa yang dilakukan Washington itu.
Perekonomian China menjadi taruhan besar dalam kondisi perang dagang itu. Data manufaktur China yang melemah pada Juni lalu, melebihi ekspektasi pasar, menjadi penanda terbaru pelemahan ekonomi negeri itu.
”Perekonomian China akan melambat untuk sisa tahun ini, tetapi kita tidak perlu terlalu khawatir atas hal itu saat-saat ini,” kata Zhu Qibing, kepala analis ekonomi makro di BOC International China di Beijing. ”Kuncinya adalah bagaimana perdagangan internasional dan perselisihan antara China dan AS itu akan berkembang.”
Para investor di pasar keuangan bersikap waspada, terutama terhadap kemungkinan dampak langsung dan tidak langsung dari pelemahan ekonomi China. Di antara yang menjadi perhatian adalah kondisi rantai pasokan.
Para investor global menunggu rilis data ketenagakerjaan terbaru AS yang dijadwalkan dirilis pada Jumat (6/7) nanti. Jika membaik, pasar menilai hal itu akan ikut menjadi pendorong The Federal Reserve untuk menaikkan kembali suku bunga acuannya. Data manufaktur AS pada Juni sebelumnya juga diproyeksikan lebih baik daripada periode sebelumnya.
Di Jepang, anjloknya bursa saham Tokyo, antara lain, dipengaruhi oleh sentimen pelemahan pada bisnis di Jepang. Sebelumnya, laporan triwulanan Tankan Bank of Japan yang berisi hasil survei triwulanan terhadap sekitar 10.000 perusahaan menunjukkan penurunan kepercayaan dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya.