Kartu Merah untuk Produk Tidak Sehat
Sebulan penuh, sejak pertengahan Juni lalu, jutaan pasang mata di dunia disuguhi puluhan pertandingan sepak bola pada Piala Dunia 2018 di Rusia. Itu jadi momen mengampanyekan gaya hidup sehat dengan membatasi asupan makanan tak sehat, tak merokok, dan mendorong aktivitas fisik harian.
Figur pesepak bola terkenal dari negara-negara peserta Piala Dunia bisa mendorong para penggemarnya, terutama anak dan remaja, untuk hidup sehat dan mengejar prestasi.
Kesempatan itu tak disia-siakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Regional Eropa. Mereka melancarkan kampanye hidup sehat dan rajin beraktivitas fisik lewat video yang menyasar penggemar sepak bola.
Ada tiga video disiapkan, yaitu video berisi kampanye berhenti merokok, membatasi asupan garam, dan aktivitas fisik. Penayangan pertama video dilakukan di Otkritie Arena, Stadion Spartak, di Moskwa. Video-video itu secara simultan ditayangkan di sejumlah lokasi.
Promosi hidup sehat dengan berbagai cara perlu dilakukan di tengah transisi epidemiologi secara global. Penyakit yang banyak diderita—menyebabkan disabilitas, beban ekonomi, dan merenggut nyawa—tak lagi didominasi penyakit infeksi, tetapi penyakit tidak menular terkait pola perilaku.
Masalah itu dihadapi negara maju dan negara berkembang. Perbedaannya pada komitmen pemerintah mengatasi epidemi penyakit tak menular ini.
Salah satu persoalan kesehatan warga saat ini ialah obesitas yang jadi faktor risiko penyakit tak menular. Pesepak bola yang berlaga di Piala Dunia hanya bagian kecil masyarakat sehat dan bugar di negaranya. Mayoritas warga di negara mereka mengalami obesitas.
Mengutip WHO, pada 2016, prevalensi kegemukan pada orang dewasa di dunia 39 persen dan di kelompok usia 5-19 tahun sebesar 18 persen. Diperkirakan pada 2030 separuh populasi dunia terkena obesitas.
Dari 32 negara peserta Piala Dunia 2018, hanya 4 negara yang memiliki prevalensi obesitas pada orang dewasa di bawah 50 persen, yakni Korea Selatan (30 persen), Nigeria (29 persen), Senegal (28 persen), dan Jepang (27 persen).
Arab Saudi menjadi peserta Piala Dunia 2018 dengan prevalensi penduduk dewasa obesitas tertinggi, yakni 70 persen atau urutan ke-13 dunia. Di posisi kedua, Meksiko dengan prevalensi 65 persen, disusul Australia 65 persen, lalu Inggris 64 persen.
Produk tak sehat
Seperti dikutip the Telegraph, 14 Juni 2018, Johanna Ralston, CEO World Obesity Federation, mengatakan, Piala Dunia semestinya jadi momen agar negaranegara menerapkan kebijakan pro-kesehatan demi menekan angka obesitas. Itu dilakukan dengan adanya cukai pada produk makanan dan minuman yang memicu obesitas.
Fakta mayoritas negara yang tampil di Piala Dunia 2018 memiliki prevalensi obesitas tinggi diharapkan membuka mata para pemimpin negara bahwa obesitas jadi persoalan global.
Ironisnya, Piala Dunia jadi panggung bagi industri junkfood, minuman manis bersoda, dan bir yang berkontribusi pada epidemi obesitas global. Salah satu industri junkfood jadi sponsor resmi Piala Dunia sejak 1994 dan industri minuman manis bersoda jadi mitra FIFA sejak 1978 dan penyelenggaraan Olimpiade sejak 1928.
Bahkan, industri minuman manis bersoda yang sama jadi sponsor Kongres Internasional Aktivitas Fisik dan Kesehatan Masyarakat, di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 2014. Pada kejuaraan olahraga bergengsi, hampir selalu ada industri yang berkontribusi pada kejadian penyakit tak menular sebagai sponsor.
Kompetisi olahraga sekelas Piala Dunia yang disaksikan jutaan orang jadi kesempatan luar biasa bagi industri untuk menancapkan merek pada publik.
Hasil riset Webloyalty, lembaga riset konsumen berbasis di Inggris, menyebutkan, nilai penjualan minuman manis di Inggris pada Olimpiade 2012 naik 10 persen dan volumenya naik 8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada pekan pertama Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, penjualan keripik di Inggris naik 10 persen dan penjualan cokelat naik 37 persen dari tahun sebelumnya.
Pemberian panggung perhelatan olahraga pada industri produk tak sehat beriklan dan sebagai sponsor jadi ”serangan” bagi negara-negara yang menerapkan kebijakan ketat pada makanan dan minuman tak sehat. Contohnya, negara-negara di Amerika Selatan.
Peru, Chile, Kolombia, dan Brasil menekan angka obesitas dengan kebijakan ketat pada iklan, sponsor, dan distribusi makanan minuman tak sehat. Chile, misalnya, menerapkan pelabelan untuk menunjukkan seberapa sehat produk. Brasil membatasi iklan makanan tak sehat.
Di Amerika Serikat, industri makanan dan minuman tak sehat hadir di kejuaraan olahraga. Tiga dari empat iklan makanan dan satu dari dua iklan minuman di kejuaraan olahraga nasional dari industri makanan dan minuman tak sehat.
Peneliti di Mott Children Hospital, University of Michigan, Ann Arbor, Megan Pesch, kepada Reuters, mengatakan, orangtua perlu menyadari, saat menonton Piala Dunia, anak mereka menonton pertandingan sepak bola dan iklan makanan dan minuman tak sehat.
Studi oleh Alana Institut di Sao Paolo, Brasil, dikutip the Lancet, Agustus 2013, menyebutkan, 85 persen orangtua mengaku iklan memengaruhi permintaan makanan dan minuman anak-anak.
Menurut Marie Bragg, peneliti di New York University, dalam setiap pertunjukan olahraga terkandung pesan pentingnya aktivitas fisik dan konsumsi makanan sehat. Jadi, kejuaraan yang disponsori industri makanan dan minuman tak sehat bertolak belakang dengan pesan yang harus disampaikan.
Apa yang dilakukan industri makanan dan minuman tidak sehat dengan mensponsori kejuaraan olah raga mirip dengan yang dilakukan industri rokok. Kini di banyak negara industri, rokok sudah dilarang untuk menjadi sponsor acara olah raga dan seni.
Namun berbeda dengan Indonesia, industri rokok justru masih hadir sebagai sponsor dalam penyelenggaraan kejuaraan olah raga dan seni. Kini saatnya memberikan kartu merah pada industri yang produknya berkontribusi pada tingginya penyakit tidak menular.