Presiden Joko Widodo berubah sikap. Dalam berita harian Kompas yang terbit pada 3 Juli 2018 ditulis, ”Presiden: Jika Tak Puas Silakan ke MA”. Harian ini memberitakan, Presiden Jokowi menengahi polemik antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Komisi Pemilihan Umum mengenai Peraturan KPU Nomor 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Peraturan KPU mencantumkan larangan bagi bekas narapidana korupsi, bandar narkotika, dan kejahatan seksual anak menjadi calon anggota legislatif.
Peraturan itu memicu kontroversi. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Ketidaksetujuan bukan karena substansi, melainkan payung hukumnya. Itu alasan yang terungkap. Entah kalau ada agenda lain. Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018 itu dianggap melanggar undang-undang.
Jejak digital menunjukkan, Presiden Jokowi pernah menyatakan ketidaksetujuannya soal substansi aturan itu. Berbicara kepada wartawan seusai menutup acara Pengkajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Selasa, 29 Mei 2018, Presiden Jokowi mengatakan, konstitusi menjamin seseorang mendapat hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Ketimbang melarang bekas koruptor ikut pemilu, Presiden Jokowi menyarankan, KPU membuat aturan yang memungkinkan calon anggota legislatif (caleg) bekas narapidana (napi) korupsi mendapat tanda khusus.
”Kalau saya, itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik. Tapi, KPU bisa saja mungkin membuat aturan, misalnya ikut, tapi diberi tanda mantan koruptor,” kata Presiden Jokowi seperti ditulis Tempo.co, 29 Mei 2018.
Pada Selasa, 3 Juli 2018, seperti dikutip harian Kompas, Presiden Jokowi sedikit mengubah posisi politiknya. Dia tidak menyentuh substansi soal setuju atau tidak setuju soal bekas napi korupsi menjadi caleg, tapi masuk ke wilayah legal normatif. ”Jika tidak puas, silakan ke MA,” kata Presiden.
Selanjutnya, Presiden mengatakan, ”Undang-undang memberi kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan. Peraturannya sudah dibuat KPU. Kalau ada yang tidak puas dengan peraturan yang ada, silakan digugat ke MA.” Hal itu dikatakan Presiden di Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada Senin, 2 Juli 2018.
Presiden Jokowi adalah kepala pemerintahan. Dalam posisi itu, Presiden sebenarnya bisa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mengundangkan PKPU No 20/2018 tersebut. Kementerian Hukum dan HAM bersikukuh tidak mau mengundangkan PKPU No 20/2018 karena melanggar undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi. Menteri Hukum dan HAM tidak mau mengundangkan PKPU sehingga KPU menetapkan PKPU tersebut dan menyatakan berlaku sejak ditetapkan. Kondisi ini memang berpotensi menimbulkan kompleksitas hukum.
Jalan ideal sebenarnya, PKPU No 20/2018 itu diundangkan saja oleh Menteri Hukum dan HAM kendati ada potensi melanggar undang-undang. Pihak yang berkeberatan bisa menguji PKPU itu ke Mahkamah Agung (MA). Jika PKPU itu dibatalkan MA, toh KPU yang harus bertanggung jawab atas substansi aturan itu.
PKPU No 20/2018 itu tak boleh dibiarkan menggantung. Tahapan pemilu, khususnya tahapan pencalonan anggota legislatif, harus berjalan mulai 4 Juli 2018. Tarik ulur antara Kementerian Hukum dan HAM dengan KPU soal PKPU tidaklah bijak dan bisa mengganggu tahapan pemilu. Polemik itu harus segera diselesaikan. Dan, Presiden Jokowi bisa menjalankan peran untuk itu dengan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM mengundangkannya.
Pasal 11 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi, ”Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam perundang-undang yang bersangkutan”. Artinya, pengundangan sebuah peraturan termasuk PKPU adalah keharusan undang-undang. Dan, pengundangan suatu aturan adalah tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM.
Dalam UU No 12/2011 disebutkan, ”Peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”. KPU diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar dan undang-undang. Artinya, KPU berhak membuat aturan.
Terhadap kemungkinan aturan itu bertentangan dengan konstitusi atau undang-undang, UU No 12/2011 memberi jalan keluar. Dalam Pasal 9 (1) UU No 12/2011 diatur, ”Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Jalan keluar yang dibuat undang-undang itu seharusnya ditempuh untuk menyelesaikan perdebatan tafsir aturan secara konstitusional. Tidak boleh ada ego lembaga yang dikedepankan.
Langkah progresif
Secara substansi, melarang bekas napi korupsi adalah langkah progresif. Korupsi adalah ancaman nyata bagi eksistensi bangsa. Virus korupsi telah merajalela. Biaya politik menjadi mahal. Karena itulah, diperlukan regulasi untuk menutup pintu bekas napi korupsi masuk ke pencalonan anggota legislatif. Dan, regulasi itu harus dilakukan oleh elite.
Menyerahkan kepada pasar atau pemilih dengan dalih napi korupsi juga punya hak untuk dipilih tidaklah menolong bangsa ini memerangi korupsi. Hasil pilkada menggambarkan, calon kepala daerah yang ditahan KPK untuk kasus korupsi bisa memenangi pertarungan.
Perubahan sikap politik Presiden Jokowi haruslah diapresiasi. Namun, sebagai kepala pemerintahan, Presiden Jokowi harus memerintahkan Menteri Hukum dan HAM mengundangkan PKPU itu, untuk diuji ke MA, jika memang ada yang berkeberatan.
Surat pembaca Daniel HT berjudul ”Kenapa Ngotot Bela Koruptor” yang dimuat harian Kompas, 20 Juni 2018, mungkin bisa jadi bahan refleksi.