PKPU Pencalonan Diselaraskan, Parpol Harus Buat Pakta Integritas
Oleh
Antony Lee
·3 menit baca
Bila pada tahap pendaftaran, ada bakal calon bekas napi korupsi yang masuk daftar calon sementara (DCS), maka KPU juga punya kewenangan untuk meminta parpol mengganti calon tersebut. Jika kemudian masih tetap ditemukan hingga masuk daftar calon tetap (DCT), ada kewenangan KPU untuk mencoret calon tersebut.
JAKARTA, KOMPAS – Usai menggelar pertemuan tertutup dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membahas Peraturan KPU tentang Pencalonan Legislatif, anggota Komisi Pemilihan Umum, Senin (2/7/2018) hingga Selasa dini hari menggelar pleno untuk mengakomodasi poin kesepakatan pertemuan itu dalam PKPU Pencalonan hasil penyelarasan. Substansi pelarangan bekas napi korupsi dipertahankan, tetapi pengaturannya digeser menjadi kewajiban partai politik melalui penandatanganan pakta integritas per daerah pemilihan.
Pertemuan KPU dan Kemenkumham serta pakar hukum untuk mencari jalan tengah pengaturan PKPU Pencalonan Legislatif agar bisa diundangkan, sudah dua kali berlangsung. Pada pertemuan Jumat (29/06/2018), Badan Pengawas Pemilu juga dilibatkan dalam pertemuan itu. Saat itu sudah muncul usulan alternatif berupa penyusunan pakta integritas. Namun, hal itu belum disepakati.
Pada Senin (02/07/2018) digelar kembali pertemuan, tetapi tidak menyertakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Di pertemuan itu, disepakati pengaturan pelarangan mantan napi korupsi tidak dimasukkan dalam syarat calon, tetapi melalui partai politik.
Ketua Bawaslu Abhan, Selasa, menuturkan, Bawaslu tidak mengikuti pertemuan itu, sehingga belum mengetahui hasil kesepakatan itu. Terkait kewajiban penandatanganan pakta integritas oleh partai politik, kata dia, Bawaslu tidak mempermasalahkan hal itu.
“Kalau itu tidak masalah. Kegiatan kami sejak kemarin mendatangi pimpinan partai politik dalam rangka mendorong komitmen parpol untuk tidak mencalonkan mantan napi koruptor di pencalonan DPR dan DPRD. Ini bagian imbauan moral Bawaslu ke parpol,” kata Abhan.
KPU mengadopsi klausul pembuatan pakta integritas itu, sebagai substitusi dari pengaturan di PKPU 20/2018 yang menyebut calon bukan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi.
Anggota KPU seusai pertemuan di Kemenkumham pada Senin malam hingga Selasa sekitar pukul 04.00 menggelar pleno untuk menyelaraskan poin-poin yang dihasilkan dalam pertemuan dengan Kemenkumham dan pakar hukum itu dalam PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Legislatif yang sudah ditetapkan pada 30 Juni 2018 lalu. KPU mengadopsi klausul pembuatan pakta integritas itu. Pelarangan bekas napi di PKPU 20/2018 yang menyebut calon bukan mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, kemudian dimasukkan dalam isi pakta integritas.
“Itu tidak menganggu prinsip kami yang tetap menolak mantan napi koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak. Mau menggunakan bahasa pakta integritas tidak apa-apa,” kata anggota KPU Wahyu Setiawan kepada Kompas, Selasa pagi.
Menurut Wahyu, pakta integritas itu merupakan instrumen pelaksana PKPU. Dengan begitu, pakta integritas bersifat mengikat dan KPU punya kewenangan eksekusi jika pakta itu dilanggar.
Pakta integritas
Menurut Wahyu, dalam PKPU Pencalonan hasil penyelarasan yang diputuskan dalam rapat pleno KPU, disebutkan bahwa pakta integritas dibuat per daerah pemilihan dengan ditandatangani oleh pimpinan partai sesuai dengan tingkatan pencalonan. Di PKPU itu juga dimasukkan konsekuensi jika pakta integritas itu dilanggar oleh partai politik.
“Kami punya kewenangan eksekusi berdasarkan PKPU. Eksekusi di semua tahapan pencalonan. Misalnya, pada saat pendaftaran bila ada mantan napi masuk di daftar calon yang diajukan parpol di dapil tertentu, ada kewenangan KPU tidak menerima dan mengembalikan ke partai,” kata Wahyu yang bersama dua anggota KPU lainnya, Ilham Saputra dan Evi Novida Ginting hadir dalam pertemuan di Kemenkumham.
Selain itu, bila pada tahap pendaftaran, ada bakal calon bekas napi korupsi yang masuk daftar calon sementara (DCS), maka KPU juga punya kewenangan untuk meminta parpol mengganti calon tersebut. Jika kemudian masih tetap ditemukan hingga masuk daftar calon tetap (DCT), ada kewenangan KPU untuk mencoret calon tersebut.
“Jika kemudian tetap masuk dan kemudian calon tersebut terpilih, maka KPU juga ada kewenangan membatalkannya. Pengaturan ini karena khawatir kami kecolongan,” kata Wahyu.
Jika kemudian tetap masuk dan kemudian calon tersebut terpilih, maka KPU juga ada kewenangan membatalkannya. Pengaturan ini karena khawatir kami kecolongan
Menurut Wahyu, dengan adanya perubahan redaksional dalam PKPU Pencalonan, dari syarat calon menjadi pengaturan pelarangan di tingkat partai politik melalui penandatanganan pakta integritas, dia berharap PKPU yang Selasa ini akan dikirimkan ke Kemenkumham itu bisa langsung diundangkan. Sesuai jadwal Pemilu 2019, pada 4 Juli hingga 17 Juli, partai mengajukan daftar calon ke KPU sesuai tingkatan pencalonan.
“Kami berterima kasih dukungan Kemenkumham secara moral terhadap semangat yang diusung oleh KPU dalam PKPU ini,” kata Wahyu.