VALETTA, SELASA Pemerintah Malta, Selasa (3/7/2018), kembali menahan kapal penolong swasta, The Sea Watch, yang telah menyelamatkan kapal-kapal migran yang karam di Laut Tengah. Malta juga mengadili kapten kapal yang berhasil menyelamatkan lebih dari 230 migran yang berupaya mencapai daratan Eropa.
Ini merupakan penahanan kedua setelah, akhir pekan lalu, Malta juga menahan kapal penyelamat, Lifeline, dan mengadili kaptennya.
Penahanan ini berlangsung di tengah tragedi kemanusiaan yang berlangsung, Jumat lalu. Pada hari itu, sebanyak 204 migran tenggelam setelah kapal yang mereka tumpangi karam. Tragedi ini membuat korban tewas sepanjang 2018 di perairan Laut Tengah menjadi 1.000 orang.
”Mereka (Pemerintah Malta) menciptakan kondisi agar kelompok-kelompok swadaya masyarakat semakin sulit beroperasi di laut. Padahal, kian banyak orang tewas di laut dan tidak ada yang peduli,” tutur juru bicara Sea Watch, Giorgia Linardi.
Kelompok-kelompok penyelamat ini menegaskan bahwa mereka telah dijadikan ”sasaran salah” oleh Pemerintah Malta dan Italia yang mencoba menghentikan penyeberangan dari pesisir Libya ke Eropa.
Upaya ini semakin kuat dan mengeras setelah Italia memiliki pemerintahan baru, bulan lalu, yang merupakan koalisi dari partai ekstrem kanan Liga dan partai populis Lima Bintang. Kedua partai ini sangat keras mengampanyekan anti-imigran dan memperoleh dukungan dari para pemilih yang berang terhadap kebijakan Brussels.
Brussels dianggap ingkar janji karena tidak berhasil memaksa negara-negara Uni Eropa lainnya untuk berbagi beban imigran dengan Italia dan Yunani. Saat ini, ada sekitar 600.000 imigran yang ditampung di tempat-tempat pengungsian di Italia.
Dalam tuduhannya, Pemerintah Italia dan Malta menganggap kapal-kapal penyelamat itu telah berkolusi dengan para penyelundup di Libya untuk menyelundupkan imigran ke Eropa. Namun, tuduhan ini tidak pernah terbukti di pengadilan. Malta pada pekan lalu menegaskan, tidak akan lagi memberikan dukungan logistik kepada kapal-kapal penyelamat yang dianggap ”ilegal”.
Penjara dan denda
Kapten kapal Lifeline, Claus- Peter Reisch (57) yang berkebangsaan Jerman dan melakukan penyelamatan ratusan migran pekan lalu menyatakan, dirinya tidak bersalah dalam proses dakwaan oleh jaksa penuntut, di Valetta, ibu kota Malta.
”Kami melakukan hal yang benar,” kata Reisch. Ia harus membayar jaminan sebesar 10.000 euro dan harus menyerahkan paspor miliknya serta melapor ke pos polisi setiap pekan.
Reisch dituduh telah memasuki perairan Malta dengan lisensi kapal yang tidak sesuai. Jika terbukti bersalah, ia bisa didenda dan dipenjara sampai dengan 12 bulan. ”Saya tidak melakukan hal yang salah. Saya menyelamatkan 234 nyawa manusia dan membantu dua operasi penyelamatan lainnya,” kata Reisch.
”Di laut, anak-anak dan perempuan sekarat. Saya tidak melihat foto orang-orang yang tenggelam di laut. Jadi, apabila para politisi menyatakan penyelamatan seperti ini harus dihentikan, mungkin sekali-sekali mereka harus ikut bersama kapal kami,” tutur Reisch mengungkapkan.
Sabtu lalu, kapal lain, Open Arms, yang dikelola kelompok penyelamat asal Spanyol, berhasil menyelamatkan 60 imigran dari kapal yang hampir karam. Italia mengklaim Malta yang harus bertanggung jawab membuka pelabuhannya, sementara Malta menyatakan Italia yang bertanggung jawab. Akhirnya, Spanyol bersedia membuka pelabuhannya di Barcelona sehingga Open Arms bisa berlabuh.
Meski sang kapten ditahan dan diadili, para awak kapal-kapal penyelamat bertekad terus bertugas. Para kru kapal Lifeline kemarin muncul di pengadilan dengan mengenakan kaus bewarna putih bertuliskan ”kapal penyelamat diblokade, lebih dari 400 nyawa melayang”.