Kebijakan BI Diapresiasi
JAKARTA, KOMPAS — Pengembang mengapresiasi kebijakan relaksasi yang diterapkan oleh Bank Indonesia. Di sisi lain, pengembang juga meminta agar pemerintah merespons kebijakan tersebut dengan memberikan insentif dan memperbaiki fasilitas penunjang.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Junaidi Abdillah, di Jakarta, Selasa (3/7/2018), mengapresiasi kebijakan tersebut karena akan menstimulasi daya beli masyarakat.
Namun, terdapat beberapa hal yang dirasa perlu menjadi catatan. ”Pemerintah pada saat yang bersamaan harus memperbaiki sistem perizinan bagi developer agar lebih murah dan singkat,” tuturnya.
Misalnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah berkomitmen untuk mempercepat perizinan hunian murah dengan luas hingga 5 hektar. Pembangunan hunian dengan luas 5 hektar memerlukan izin 769-981 hari.
Dalam kenyataannya, katanya, izin masih diberikan dalam jangka waktu yang lama, hingga tiga kali lipat dari seharusnya. Hal ini mengakibatkan biaya yang diperlukan untuk pembangunan perumahan MBR menjadi mahal sehingga harga jual rumah tidak terjangkau oleh MBR.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan untuk memperhatikan infrastruktur pendukung saat pengembang telah memulai proyek pembangunan. ”Terutama infrastruktur jalan di luar Pulau Jawa yang masih sulit untuk diakses,” kata Junaidi.
Ia menambahkan, seharusnya kebijakan seperti BI diterapkan sejak dua tahun lalu, di mana daya beli masyarakat sudah mulai menurun. Apalagi, pihak pengembang juga mulai kurang bergairah karena harga tanah dan material cenderung naik.
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menambahkan, hal yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah wacana pengembangan kawasan permukiman baru oleh pemerintah yang masih belum terlihat.
”Pemerintah membangun kota baru seperti di Klender, Depok, atau Mandala,” ujarnya. Namun, pembangunan kawasan perumahan masih seperti belum terencana karena tidak diikuti oleh pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, dan fasilitas penunjang lainnya di wilayah yang sama.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) untuk merelaksasi kebijakan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) dan rasio pinjaman terhadap agunan (financing to value ratio/FTV) untuk pembiayaan properti.
Kebijakan yang berlaku mulai 1 Agustus 2018 ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor properti, di mana dapat menjadi stimulan bagi lebih dari 100 industri turunan lainnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1-5,5 persen masih dapat tercapai.
Kendati demikian, pelonggaran LTV dan FTV diatur setiap bank sesuai dengan praktik manajemen risiko yang ada. Bank yang dapat menerapkan kebijakan itu pun adalah bank dengan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) net dan rasio NPL kredit pemilikan rumah (KPR) gros kurang dari 5 persen.
Terkait relaksasi LTV, pembeli rumah pertama akan dibebaskan dari LTV untuk semua tipe rumah. Sementara pembelian rumah kedua, kisaran LTV akan menjadi 80-90 persen, kecuali untuk rumah tipe di bawah 21 meter persegi yang telah dibebaskan dari LTV.
Sebelumnya, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (2/7/2019), mengatakan, BI tidak memberikan imbauan kepada perbankan agar tidak menaikkan suku bunga KPR. Bank dipersilakan untuk menentukan suku bunga KPR sesuai analisis risiko masing-masing.
BI berharap agar relaksasi LTV akan membuat KPR tumbuh 13,46 persen per Desember 2018. Besaran KPR itu diperkirakan berkontribusi 0,04 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2018.
Data dari BI menyebutkan, kredit properti cenderung naik jika dihitung secara rata-rata, yakni 10,26 persen pada Mei 2018 dibandingkan 6,83 pada Agustus 2016. Sementara total unit dan nominal penjualan properti secara keseluruhan mencapai Rp 14.209 miliar dari 11.589 unit pada 2017, lebih tinggi jika dibandingkan pada 2016 sebesar Rp 9.768 miliar dari 8.314 unit.
Hati-hati
Jehansyah melanjutkan, keputusan BI perlu ditinjau secara hati-hati. Kebijakan itu dapat membuat perbankan menerapkan uang muka 0 persen kepada calon kreditor. ”Padahal, jaminan keamanan dibutuhkan karena sudah sering proyek pembangunan properti dengan uang muka (DP) 0 persen ditanggung pengembang,” ucap Jehansyah.
Secara umum, skema pembiayaan pembangunan properti tidak terlepas dari uang muka. Uang muka dibutuhkan sebagai jaminan keamanan cadangan untuk mencegahnya kredit macet (NPL).
Ia menyampaikan, BI sebenarnya dapat melakukan relaksasi LTV dengan perbandingan 90:10, yakni dengan pemberian kredit sebesar 90 persen dan uang muka 10 persen. Kebijakan relaksasi hingga 100 persen dinyatakan sebenarnya ditujukan kepada kelas menengah ke atas. Hanya saja, tingkat kebutuhan hunian masyarakat kelas menengah ke bawah juga sebenarnya terus meningkat.