Menciptakan Model Pertumbuhan Baru
Pengantar Redaksi
Harian ”Kompas” mengadakan diskusi panel ekonomi bertajuk ”Mengantisipasi dan Menghadapi Kondisi Ekonomi yang Bergejolak” pada 6 Juni 2018 di Redaksi Harian ”Kompas”. Sebagai panelis Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara; Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman; Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi B Sukamdani; Presiden Direktur Kalbe Farma Tbk Vidjongtius; ekonom Citi Indonesia, Helmi Arman; dan pengajar ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri, sekaligus sebagai moderator. Laporan ditulis Ninuk M Pambudy, Dewi Indriastuti, Andreas Maryoto, dan FX Laksana AS, disajikan di bawah ini serta di halaman 24 dan 25.
Saat diskusi panel ekonomi Kompas diadakan pada 6 Juni 2018 di kantor Redaksi, sudah dua kali Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Pertama kali pada 17 Mei sebesar 0,25 persen dan pada 30 Mei juga sebesar 0,25 persen. Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan pada 30 Juni, kali ini sebesar 0,5 persen. Langkah BI itu cukup mengejutkan, meskipun diperlukan, untuk menenangkan pasar keuangan di dalam negeri.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus tertekan sejak 20 April 2018, meninggalkan Rp 13.770-an per dollar AS. Pada Selasa (3/7) nilai tukar rupiah terus melemah, menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Rp 14.418 dari Rp 14.331 sehari sebelumnya (2/7). Pelemahan tersebut seperti mengabaikan langkah BI menaikkan suku bunga acuan hingga 0,5 persen pada 30 Juni yang sempat membuat rupiah menguat sesaat dari Rp 14.404 pada 29 Juni.
Pertanyaan yang sangat mengusik, apakah pelemahan rupiah bersifat jangka pendek atau sinyal persoalan struktural?
Faktor eksternal sudah pasti tidak akan selesai dalam waktu pendek, bahkan mungkin akan berkepanjangan apabila Presiden AS Donald Trump tetap dengan kebijakan mengenakan tarif impor atas barang dari negara-negara dengan mana AS mengalami defisit perdagangan.
Dampak perang dagang sudah mulai terasa. Bank Sentral China melonggarkan rasio cadangan bank-bank pemerintah dan umum. Akibatnya, renmimbi melemah, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan turun menjadi 6,5 persen dari 6,8 persen.
Tekanan pada rupiah bertambah akibat normalisasi ekonomi AS dan Uni Eropa melalui kebijakan kenaikan suku bunga masing-masing bank. Tahun ini The Fed diperkirakan akan dua kali lagi menaikkan suku bunga acuan menuju 3 persen dengan target inflasi terjaga di 2 persen. Saat ini suku bunga acuan The Fed pada kisaran 1,75-2 persen dari sebelumnya 1,5-1,75 persen.
Struktural
Ada beberapa mata uang yang nilai tukarnya merosot lebih dalam dari rupiah. Tantangan bagi Indonesia adalah membalikkan keadaan agar mendapat manfaat dari transformasi ekonomi global yang tengah terjadi.
Banyak pihak sepakat, persoalan struktural Indonesia adalah defisit transaksi berjalan sejak tahun 2012. Penyebab defisit tersebut ada beberapa.
Dalam 15 tahun terakhir ada dua siklus besar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Titik terendah pada 2009 saat terjadi krisis keuangan global 2008. Yang kedua pada tahun 2014 sebagai dampak jatuhnya harga komoditas di pasar dunia sejak 2013.
Sektor konsumsi, yang setelah 1998 menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi, ditopang defisit anggaran. Sekitar 60 persen defisit itu dibiayai investasi asing, termasuk investasi langsung asing (FDI) sektor industri. Namun, karena Indonesia tidak memiliki basis industri berteknologi tinggi dan kekurangan industri antara dan bahan penolong, industri manufaktur itu tergantung bahan baku impor.
Kebutuhan akan valuta asing (valas) semakin meningkat ketika FDI merepatriasi keuntungan ke negara asal, sementara produk yang dihasilkan ditujukan untuk pasar dalam negeri. Kondisi tersebut menghasilkan utang luar negeri dengan akibat kewajiban luar negeri dari tahun ke tahun meningkat untuk membayar bunga utang dan dividen. Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi China sebagai tujuan ekspor komoditas Indonesia turun menjadi 6,5 persen dari sekitar 10 persen pada awal dekade.
Harga komoditas yang kembali naik pada tahun 2016-2017 diperkirakan tidak akan mencapai aras sebelum tahun 2013 sehingga sulit diandalkan menutup kebutuhan valas.
Industrialisasi dan ekspor
Lemahnya struktur sektor riil, terutama industri manufaktur, menyebabkan nilai tukar rupiah lebih rentan terhadap pengaruh global. Tidak ada jalan lain Indonesia perlu mengubah model pembangunannya menuju diversifikasi ekspor barang industri.
Jika menginginkan ekonomi tumbuh 5 persen per tahun dalam lima tahun ke depan, setiap tahun ekspor harus naik lebih dari 10 miliar dollar AS, sudah termasuk biaya devisa untuk impor bahan baku. Jika ingin ekonomi tumbuh 7 persen, ekspor harus naik rata-rata lebih dari 20 miliar dollar AS per tahun.
Kekurangan devisa ini tidak dapat dipenuhi hanya dari
pariwisata yang diperkirakan menyumbang 1 miliar dollar AS saja. Atau dari industri logam dasar.
Mengubah arah kebijakan ekonomi yang cukup mendasar tersebut memerlukan strategi untuk mewujudkan. Pertama-tama, perlu memahami rantai pasok global agar insentif bagi industri dapat efektif menghasilkan devisa melalui ekspor.
China, misalnya, merelokasi industri padat karyanya, begitu pula Korea Selatan dan Jepang mulai meninggalkan China karena khawatir pencurian teknologi oleh China. Sayangnya, yang menangkap peluang tersebut saat ini adalah Vietnam, disusul Thailand dan Myanmar.
Untuk membuka pasar baru, Indonesia perlu segera merealisasi perjanjian perdagangan bebas untuk produk yang relevan dan menjadi keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara tropis, antara lain hasil olahan industri pertanian, perikanan, perkebunan, hasil tambang, ekonomi kreatif, dan pariwisata.
Namun, persoalan upah dan perburuhan menjadi tantangan. Upah di Indonesia menurut survei di antara investor asing lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan.
Selain itu, yang masih menjadi keluhan pengusaha dan investor adalah ketidakpastian peraturan karena mudah berganti.
Langkah konkret pemerintah yang patut diapresiasi adalah insentif pajak bagi industri berorientasi ekspor. Namun, implementasinya masih perlu dilihat.
Dengan mendekatnya tahun politik pada 2019, masyarakat berharap pemerintah tetap fokus menggerakkan perekonomian, terutama yang bersifat segera dan konkret. Defisit transaksi berjalan akan semakin lebar apabila respons berjalan lambat.