JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa (3/7/2018) malam, akhirnya mengundangkan Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Pelarangan pencalonan bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi diakomodasi dalam pakta integritas yang harus ditandatangani pimpinan parpol.
“Kami sudah mengundangkan dan mengunggah PKPU itu. Ini semua demi demokrasi dan penyelanggaraan pemilu supaya tidak terganggu,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan pada Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana.
Widodo juga mengingatkan, semua tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dia berharap hal ini juga bisa menjadi pelajaran penting bagi kementerian dan lembaga agar dalam mengundangkan setiap peraturan perundang-undangan sesuai prosedur dan tidak menabrak ketentuan lebih tinggi.
Pengundangan PKPU ini hanya berselang sehari sebelum dimulainya pengajuan daftar calon anggota legislatif pada 4-17 Juli. Sebelumnya, Kemenkumham tidak bersedia mengundangkan PKPU Pencalonan Legislatif lantaran dinilai tidak sesuai dengan UU Pemilu dan melanggar putusan MK.
Pada 30 Juni, KPU menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif untuk menghadapi tahapan pengumuman pendaftaran calon anggota legislatif pada 1-3 Juni. Namun, KPU tetap berkomunikasi dengan Kemenkumham untuk mengupayakan PKPU diundangkan. PKPU hasil sinkronisasi yang akhirnya diundangkan setelah melalui diskusi intensif antara KPU, Kemenkumham, dan pakar hukum.
Ketua KPU Arief Budiman di Gedung KPU di Jakarta, menuturkan, dari hasil pertemuan, KPU merumuskan PKPU agar bisa dianggap sinkron dengan pandangan Kemenkumham tetapi tetap berpegang pada tiga prinsip, yakni mantan napi tiga jenis kejahatan itu tidak dicalonkan, ketentuan itu masuk dalam PKPU, serta PKPU itu bisa diundangkan.
Substansi tak berubah
Menurut Arief, naskah PKPU hasil sinkronisasi itu secara substansi tidak berubah dengan PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Menurut dia, hanya ada perubahan tata letak pasal serta siapa yang mengeksekusi kebijakan itu.
Pasal 4 Ayat 3 PKPU hasil sinkronisasi menyebutkan bahwa dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Selain itu di Pasal 6 Ayat 1 Huruf e menyatakan pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.
Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan
Sementara itu, formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan. Pasal-pasal dalam PKPU hasil sinkronisasi ini menggantikan pengaturan sebelumnya yang mengatur syarat calon “bukan bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi”.
“Perubahan tidak menganggu prinsip kami yang tetap menolak mantan napi koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak. Mau menggunakan bahasa pakta integritas tidak apa-apa,” kata anggota KPU Wahyu Setiawan.
Dia juga menuturkan, pakta integritas itu menjadi instrumen pelaksana PKPU yang bersifat mengikat. KPU punya kewenangan eksekusi jika pakta itu dilanggar. Dia mencontohkan, jika pada saat pendaftaran ada mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi masuk di daftar calon yang diajukan parpol di daerah pemilihan tertentu, KPU berwenang untuk tidak menerima dan bisa mengembalikan ke partai.
Jika pada saat pendaftaran ada mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi masuk di daftar calon yang diajukan parpol di daerah pemilihan tertentu, KPU berwenang untuk tidak menerima dan bisa mengembalikan ke partai.
Selain itu, bila pada tahap pendaftaran ada bakal calon bekas napi dari tiga jenis kejahatan itu masuk daftar calon sementara (DCS), maka KPU juga punya kewenangan untuk meminta parpol mengganti calon tersebut.
“Jika kemudian tetap masuk DCT (daftar calon tetap) dan kemudian calon tersebut terpilih, maka KPU juga ada kewenangan membatalkannya. Pengaturan ini karena khawatir kami kecolongan,” kata Wahyu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menyambut baik pengundangan PKPU Pencalonan. Dia menilai kini saatnya semua pihak mengawal implementasi dari pelarangan tersebut.
Sementara itu, pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menuturkan, PKPU itu merupakan terobosan hukum yang bagus dan perlu disambut. Pengundangan PKPU itu bagian dari upaya KPU melindungi parlemen dan pemilih.