Masalah stunting atau anak bertubuh pendek mengancam kualitas sumber daya manusia dan produktivitas bangsa 20-30 tahun ke depan. Mata rantainya harus segera diputus.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mencegah stunting yang akan mengancam produktivitas dan daya saing bangsa ini tidak mudah. Kerja bersama 12 kementerian dan lembaga untuk mencegah stunting di 100 kabupaten/ kota menghadapi tantangan sulitnya koordinasi dan tiadanya data di tingkat desa.
Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani pada pembukaan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) setiap empat tahun sekali, di Jakarta, Selasa (3/7/2018). Dalam acara yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla itu, hadir pula Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Sumantri Brodjonegoro, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir.
Puan mengatakan, Indonesia telah gagal mencapai sebagian target tujuan pembangunan milenium (MDGs) menyusul asupan gizi balita masih di bawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Kasus malnutrisi dan stunting masih tinggi.
Tahun 2018 ini pemerintah telah memfokuskan pencegahan stunting di 100 kabupaten/ kota. Ternyata, ketika banyak program pemerintah dari berbeda kementerian difokuskan di satu daerah berat untuk dilaksanakan di lapangan. Data keluarga mana saja yang perlu diintervensi pun tidak ada.
Tahun 2019 nanti fokus daerah pencegahan stunting akan diperluas menjadi 160 kabupaten/ kota termasuk daerah di Papua dan Nusa Tenggara Timur yang menantang, tahun 2020 menjadi 390 kabupaten/ kota, dan tahun 2021 fokus pencegahan meliputi seluruh kabupaten/ kota.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko, mengutarakan, sejak tahun 2017 pemerintah telah memiliki kebijakan, program, dan strategi terintegrasi mencegah stunting. Intervensi yang bersifat spesifik dan sensitif pun dilakukan. Namun, yang masih perlu dijawab bersama adalah bagaimana meningkatkan percepatan implementasi kebijakan tersebut di lapangan mengingat ada banyak pihak yang terlibat mulai dari pemerintah pusat dan daerah, organisasi profesi, akademisi, juga kelompok masyarakat.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Soemantri Brodjonegoro, menegaskan, stunting yang bisa mengganggu kesinambungan pembangunan bukan semata urusan kesehatan.
Di dunia, terdapat 159 juta anak stunting. Sebanyak sembilan juta di antaranya berada di Indonesia atau 1 dari 3 balita di Indonesia stunting. Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara dengan angka stunting tertinggi di dunia.
Akibat terburuk dari stunting adalah otak yang gagal tumbuh. Jika jumlah anak yang stunting banyak maka dalam jangka panjang sebagian jumlah penduduk usia produktif stunting sehingga akan menjadi beban pada bonus demografi. Ketika berada di usia kerja produktivitas mereka yang stunting tidak maksimal dan menjadi beban keluarga. Ujungnya adalah kemiskinan diwariskan.
“Stunting harus jadi agenda nasional. Stunting masalah serius. Harus ada perhatian khusus untuk mengatasi ini,” ujar Bambang.
Mengutip data Bank Dunia tahun 2016, Bambang mengatakan, stunting akan merugikan ekonomi suatu negara 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto per tahun atau sekitar Rp 400 triliun setahun. Oleh karena itu, investasi dalam upaya pencegahan stunting sangat diperlukan. Investasi tersebut akan memberikan keuntungan 48 kali lipat di kemudian hari.
Sementara itu, Jusuf Kalla menyampaikan, persoalan stunting bukanlah hal baru. Semua pihak harus introspeksi diri karena ada hal-hal baik dari masa lalu yang tidak diteruskan dengan baik saat ini. Misalnya, menggalakkan posyandu, kampanye makanan bergizi melalui 4 Sehat 5 Sempurna, juga pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah.
“Pencegahan stunting ini bicara masalah bangsa ini ke depan. Akibat yang disebabkan stunting akan terasa 20-30 tahun yang akan datang,” kata Wapres.(ADH/NTA)