Hampir satu bulan sejak Komisi Pemilihan Umum mengirim naskah Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, baru pada Selasa (3/7/2018) malam, aturan itu diundangkan. Jalan menuju ”titik tengah” pasal pelarangan pencalonan bekas napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba itu, berliku dan diwarnai ”ketegangan” hingga beberapa jam sebelum pengundangan.
Sebelumnya, KPU dalam naskah PKPU memasukkan pelarangan itu pada Pasal 7 huruf h. Ini terjadi baik dalam naskah PKPU yang dikirim ke Kemenkumham pada 4 Juni, maupun dalam PKPU Pencalonan yang ditetapkan KPU pada 30 Juni untuk mengejar tahap pengumuman pencalonan legislatif 1 Juli. Kemenkumham berpandangan, pengaturan itu bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 Pemilu ataupun putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini pula yang membuat proses pengundangan oleh Kekemkumham menjadi berlarut-larut.
Namun, pada Senin malam lalu, terdengar kabar bahwa titik temu antara KPU dan Kemenkumham mulai ditemukan dalam pertemuan antara perwakilan dua lembaga itu. Saat itu, Kemenkumham dan juga pakar hukum, yang diminta membantu proses sinkronisasi PKPU Pencalonan ini, meyakini bahwa pelarangan melalui pakta integritas bisa jadi jalan keluar dari beda pandangan antara KPU dan Kemenkumham.
Terkait hal ini, KPU menyatakan akan membahasnya dalam rapat pleno anggota KPU, Senin malam. Rapat yang berlangsung hingga Selasa dini hari itu akhirnya memutuskan, penghapusan Pasal 7 Huruf h. Namun, dalam Pasal 4 Ayat 3 lalu dimasukkan ketentuan yang menyatakan bahwa parpol, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan bekas terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Selain itu pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf e juga disebutkan, pimpinan parpol menandatangani pakta integritas pencalonan anggota legislatif sesuai tingkatannya. KPU juga membuat formulir pakta integritas yang isinya memuat sanksi administrasi jika komitmen itu dilanggar.
Pada Selasa pagi, KPU lalu mengirimkan naskah PKPU hasil sinkronisasi ke Kemenkumham untuk diundangkan.
Setelah PKPU itu dibaca, Kemenkumham berkeberatan dengan Pasal 4 Ayat 3. Kemenkumham menginginkan, pelarangan pencalonan bekas napi tiga jenis kejahatan itu tidak perlu dimasukkan secara eksplisit dalam Pasal 4 Ayat 3. Namun, cukup disebutkan sesuai dengan pakta integritas. Di lampiran formulir pakta integritas, baru dijabarkan pelarangan terhadap bekas napi di tiga jenis kejahatan tersebut. Namun, KPU berkukuh, pelarangan itu harus masuk dalam batang tubuh PKPU, tidak hanya di lampiran.
Komunikasi
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, kemarin, membenarkan adanya komunikasi dari Kemenkumham yang meminta perubahan Pasal 4 Ayat 3. Namun, KPU tidak bersedia mengubahnya. ”Sebab, norma akan kokoh jika ada dalam batang tubuh,” katanya.
Informasi bahwa Kemenkumham setuju mengundangkan PKPU itu akhirnya muncul menjelang petang. Lalu, pada malam harinya, salinan berita negara pengundangan PKPU itu beredar di sejumlah kalangan.
”Ini semua dilakukan atas nama demokrasi dan agar penyelenggaraan pemilu tidak terganggu. Ini jadi pelajaran kita semua, jangan ada lagi lembaga atau kementerian yang menetapkan peraturannya sendiri tanpa menghiraukan putusan MK atau ketentuan yang lebih tinggi,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan pada Kemenkumham Widodo Ekatjahjana.
Widodo tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya bahwa PKPU itu masih akan menemui jalan terjal. Namun, setidaknya satu tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan yang benar telah dilewati. Jika ada yang tidak setuju dengan isinya, mereka bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Jalan tengah pakta integritas ini dipilih agar PKPU itu bisa diundangkan dan punya kekuatan hukum yang mengikat. Pengundangan PKPU itu juga membuat negara ikut mempertanggungjawabkan isinya, jika ada gugatan atau keberatan. Dengan demikian, posisi PKPU itu kuat karena sudah diharmonisasi oleh pembuat UU.
”Kami berupaya mendorong ada titik temu. Tidak ada tujuan lain, kecuali agar tahapan pemilu ini bisa berhasil. Awalnya memang keras, tetapi akhirnya mulai ada diskusi yang terbuka,” ujar Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang, yang bersama sejumlah pakar hukum lainnya diminta pendapat oleh Kemenkumham dan KPU.
Kini, setelah PKPU yang menguras waktu dan tenaga itu diundangkan, apakah publik benar-benar mendapatkan caleg yang berkualitas? Kita tunggu langkah parpol….