Pakta Integritas Jangan Hanya Jadi Ajang Pencitraan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran ketua umum partai politik dibutuhkan untuk menyamakan persepsi terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif.
Saat ini, masih ada elite yang tidak setuju dengan PKPU ini meski para ketua umum parpol telah menandatangani pakta integritas. Penandatanganan pakta integritas jangan hanya menjadi ajang pencitraan bagi parpol agar terkesan bebas korupsi.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menjelaskan, para ketua umum parpol seharusnya bisa menegur dan mengingatkan anggota partainya yang merasa tidak setuju dengan adanya PKPU ini.
”Ketua umum perlu mengingatkan anggotanya, khususnya yang ada di DPR, apalagi jika ada anggota DPR yang ingin mengajukan hak angket terkait PKPU ini,” ucapnya di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Donal mengatakan, penandatanganan pakta integritas ini jangan sampai hanya menjadi ajang pencitraan bagi petinggi parpol agar partainya terkesan bebas dari korupsi. Selain itu, pakta integritas ini juga memang harus ditandatangani parpol sebagai syarat agar parpol tersebut bisa ikut dalam proses pencalonan legislatif.
Pada Pasal 6 Ayat 1 Huruf e PKPU Nomor 20/2018 disebutkan, pimpinan parpol menandatangani pakta integritas pencalonan anggota legislatif sesuai tingkatannya.
Pakta integritas tersebut berisi agar parpol melarang bekas narapidana (napi) dari bandar narkoba, pelaku kejahatan seksual anak, dan korupsi dicalonkan sebagai anggota legislatif. KPU juga membuat formulir pakta integritas yang isinya memuat sanksi administrasi jika komitmen itu dilanggar.
Donal menjelaskan, masih ada elite politik yang menginginkan bekas napi korupsi maju menjadi caleg karena mantan napi korupsi tersebut memiliki basis massa. Apalagi, dengan tuntutan ambang batas parlemen yang naik menjadi 4 persen, partai perlu memikirkan bagaimana caranya agar minimum 25 orang masuk sebagai anggota DPR nanti pada pemilu 2019.
”Biasanya mantan napi korupsi ini dulunya menjabat sebagai kepala daerah. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, mereka sudah memiliki basis massa. Kemudian, setelah tidak menjabat lagi, mereka mendaftarkan diri sebagai caleg,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, kemungkinan akan ada tiga serangan dari elite politik yang akan dilontarkan kepada KPU terkait PKPU ini.
”Tiga serangan ini terkait hukum, etik, dan politik. Jangan sampai hal ini jadi menghambat proses dan tahapan pemilu,” ucapnya.
Bayu mengatakan, dari sisi hukum, pihak yang tidak setuju dengan adanya PKPU ini bisa saja mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Kemudian, mereka yang menganggap ini sebagai pelanggaran etik bisa melaporkan KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
”Kemudian, serangan dari sisi politik tentunya ada di DPR. Bisa jadi akan ada hak angket atau ruang gerak KPU menjadi dipersulit. Apalagi dalam melaksanakan tiap tahapan pemilu, KPU perlu berkonsultasi kepada Komisi II DPR. Jangan sampai energi habis karena hal-hal seperti ini,” ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menjelaskan, saat ini seharusnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa mendukung langkah-langkah KPU dalam menjalankan PKPU ini.
Bukan ranahnya Bawaslu untuk berkomentar, apakah PKPU ini bertentangan dengan undang-undang atau tidak, apalagi setelah PKPU ini diundangkan Kemenkumham,” ujarnya.
Fadli mengatakan, seharusnya semua pihak bisa mendukung niat dan semangat yang dilakukan KPU untuk menciptakan regulasi pemerintahan yang bersih. ”Jika ada elite atau pihak yang tidak setuju dengan PKPU ini, iktikadnya dalam mendukung pemerintahan yang bersih perlu dipertanyakan,” ucapnya.