Budaya pop Korea banyak digemari di Tanah Air. Tua dan muda lebur dalam entakan musik K-pop, drama serial yang mendayu, hingga perkembangan mode dan kosmetik. Namun, selain itu, ada budaya lain di Korea Selatan yang juga sangat penting untuk kita ikuti, yaitu budaya malu.
Budaya malu yang bernama Changpi dan berasal dari ajaran konfusianisme ini mengakar lama di Korea Selatan. Kepemimpinan Presiden Kim Dae-jung pada 1998-2003 menjadi salah satu pemantik makin kuatnya budaya malu di negara itu. Saat pemerintahannya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Korea Selatan terpuruk pada skor 3,8, terendah sepanjang sejarah Korea Selatan. Gejolak ekonomi juga terjadi.
Guna mengatasi hal ini, dilakukan upaya bersih-bersih, antara lain dengan membentuk Korean Independent Commission Against Corruption (KICAC). Lembaga ini bergerak cepat, termasuk memproses hukum dua mantan presiden negara itu, yaitu Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo.
Dua anak Dae-jung, yaitu Kim Hong-gul dan Kim Hong-up, juga dihukum karena korupsi. Peristiwa ini membuat Dae-jung malu dan meminta maaf pada masyarakat Korea Selatan. Proses hukumnya terus berjalan tanpa intervensi dari pemerintah kepada kerja lembaga antikorupsi di negara itu.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Korea Selatan makin sadar dengan pentingnya pemberantasan korupsi. Lewat unjuk rasa besar-besaran pada 2017, Presiden Park Geun-hye diturunkan dari jabatannya karena diduga terlibat korupsi.
”Korea Selatan telah mengalami kasus yang sangat menyedihkan pada 2017. Kami mulai bangkit dan kembali mengingat budaya kami yang selama ini hidup. Kami juga memegang pepatah, kalau masyarakat berbuat maka Tuhan pasti mengabulkan. Untuk itu, kepemimpinan harus bertujuan menyejahterakan rakyat melalui semua sektor,” ujar Wakil Ketua Anti-Corruption and Civil Rights Commission Lee Geon-lee saat bertemu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, di gedung KPK Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Komitmen
Kesadaran masyarakat pun meringankan langkah lembaga antikorupsi dalam melaksanakan tugasnya. Agus mengakui, keberhasilan Korea Selatan melawan korupsi tidak bisa dilepaskan dari masyarakat.
”Salah satu yang ingin dipelajari adalah bagaimana membangun komitmen perubahan tingkah laku dan budaya masyarakat. Ini yang sangat penting,” ujar Agus.
Lembaga antikorupsi di Korea Selatan kini fokus pada upaya pencegahan. Penindakan dikembalikan pada polisi dan jaksa yang integritas dan independensinya terjaga. Di Indonesia, Agus tak menampik sejumlah kendala yang justru muncul dari lembaga pemerintah. Di sisi lain, usaha membangun kesadaran masyarakat membutuhkan waktu untuk menjangkau lebih banyak.
Geon-lee menyampaikan, komitmen politik dan pemerintah untuk memberantas korupsi sangat diperlukan. Lembaga antikorupsi tak akan bisa berjalan tanpa kerja sama dengan instansi negara lainnya. Kerja sama antar lembaga ini yang sepertinya masih perlu ditingkatkan di Indonesia.
Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi, juga dibutuhkan.
Terlepas dari semua tantangan itu, jika mampu mengagumi dan mengadopsi budaya populernya, mestinya juga tidak sulit untuk menghidupkan juga budaya malu di Tanah Air. Pelajaran dari Korea Selatan menunjukkan, tumbuhnya budaya malu jadi jalan efektif untuk memberantas korupsi.
(RIANA A IBRAHIM)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.