Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah Akan Dievaluasi
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri akan melakukan sejumlah evaluasi terhadap regulasi tentang pengelolaan keuangan daerah yang berpotensi disalahgunakan kepala daerah ataupun pihak lain. Langkah ini menjadi salah satu cara untuk mengurangi korupsi oleh kepala daerah.
”Kami akan mendorong kembali efektivitas pengawas di internal daerah dan memberikan imbauan moral untuk meningkatkan integritas setiap kepala daerah agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan negara,” ujar Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syarifuddin di Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Kasus dugaan korupsi terbaru melibatkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah, Aceh, Ahmadi. Mereka terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (3/7/2018) malam. Mereka diduga menerima suap terkait pembahasan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Tahun 2018.
Terkait kasus korupsi kepala daerah ini, Syarifuddin menyebutkan, Kemendagri akan melakukan sejumlah evaluasi terhadap regulasi yang berpotensi disalahgunakan kepala daerah atau pihak lain. Regulasi itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Namun, Syarifuddin belum bisa menentukan substansi mana saja dari regulasi tersebut yang perlu dievaluasi. Hal ini karena evaluasi regulasi membutuhkan sinergi dan pembahasan lebih lanjut dengan pihak-pihak terkait, salah satunya Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri.
Evaluasi regulasi yang akan dilakukan Kemendagri ini merupakan langkah untuk mencegah penyelewengan oleh kepala daerah. Pasalnya, kasus korupsi kepala daerah terbaru berkaitan dengan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otsus 2018 pada Pemerintah Aceh.
Dana otsus yang diterima Aceh pada 2018 sebesar Rp 8,02 triliun. Dengan demikian, dana otsus yang diterima daerah itu sejak 2008 telah mencapai Rp 56,5 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Adapun dana otsus tersebut ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengentasan rakyat dari kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, juga kesehatan.
Menurut Syarifuddin, UU No 11/2006 membuat Pemerintah Aceh bebas menentukan pengelolaan dana otsus. Fleksibilitas inilah yang membuat pengelolaan dana otsus di Aceh rawan diselewengkan dan dikorupsi.
Berulang
Pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, fenomena operasi tangkap tangan oleh KPK selalu berulang terhadap kepala daerah. Abdul menyayangkan tindakan dugaan korupsi yang dilakukan Irwandi tidak sejalan dengan komitmen awalnya saat menjabat Gubernur Aceh.
”Pada periode pertama Irwandi menjadi gubernur, ia datang ke ICW untuk berdiskusi dan bertekad akan memberantas korupsi di pemerintahannya. Namun, yang terjadi kemudian, pada periode ini justru ia terjerat kasus dugaan sebagai pelaku korupsi,” ujar Abdul Fickar.
Menurut dia, masih maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah terjadi karena faktor mahalnya sistem politik di Indonesia.
Calon kepala daerah tersebut membutuhkan biaya yang tinggi untuk menyewa perahu partai, pembiayaan tim sukses, termasuk biaya survei dan saksi, hingga biaya kampanye di sejumlah elemen masyarakat.
”Situasi yang membutuhkan biaya tinggi inilah yang membuat calon kepala daerah harus mencari pendanaan hingga berutang kepada sponsor. Keadaan ini yang sering kali menjadi faktor pendorong korupsi para kepala daerah,” tuturnya.
Selain itu, Abdul Fickar menilai, lemahnya karakter atau integritas seorang kepala daerah juga menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi.
Kepala daerah dinilai tidak memiliki kekuatan untuk melawan sistem keuangan penyelenggaraan pemerintahan dan mudah tergiur menyelewengkan anggaran meskipun sudah diciptakan sistem pengawasan.
”Ketidakberdayaan kepala daerah ini yang akhirnya membuat mereka ikut larut dalam tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang juga melibatkan peran DPRD,” ucap Abdul Fickar.