Aturan Pelayaran Diabaikan di Toba
JAKARTA, KOMPAS — Aspek keselamatan transportasi sejak lama diabaikan di Danau Toba. Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal dibuat secara asal. Kapal pun beroperasi tanpa surat izin berlayar.
Tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba mengungkap bahwa ada banyak kapal angkutan penumpang milik rakyat di Danau Toba yang desainnya tak sesuai dengan sertifikat kelaikan kapal bersangkutan.
Ironisnya, setiap tahun kapal-kapal itu tetap bisa memperoleh perpanjangan masa berlaku sertifikat dari Dinas Perhubungan Sumatera Utara meskipun melanggar ketentuan.
KM Sinar Bangun yang berkapasitas 35 gross tonnage (GT) memiliki 2 lantai geladak dan 1 balkon yang dapat mengangkut 150 penumpang lebih. Desain kapal tersebut tak sesuai dengan informasi yang ada dalam sertifikat kelaikan kapal yang diterbitkan Dishub Sumut, yakni memiliki 1 geladak untuk mengangkut 45 penumpang dan 3 awak kapal.
Baca juga: Pelanggaran Desain Kapal Berakibat Fatal
Di Pelabuhan Tomok dan Simanindo di Kabupaten Samosir, dengan mudah dijumpai kapal-kapal angkutan penumpang sebesar KM Sinar Bangun, dengan ukuran panjang sekitar 17,5 meter dan lebar 4-5 meter bersandar dan menarik penumpang. Hampir seluruhnya memiliki 2 lantai geladak, dan beberapa di antaranya ditambah 1 balkon.
Di Danau Toba, berdasarkan data Dishub Sumut, setidaknya ada 400 kapal milik rakyat yang dioperasikan untuk pengangkutan penumpang maupun barang. Ditambah 4 kapal ferry milik pemerintah dan swasta.
KM RD yang beroperasi di Pelabuhan Tomok misalnya memiliki volume angkut 32 GT. Sesuai sertifikat kelaikan, kapal itu hanya memiliki 1 geladak untuk mengangkut hampir 50 penumpang. Namun seperti halnya KM Sinar Bangun, kapal ini memiliki 2 lantai geladak yang bisa memuat lebih dari 150 penumpang.
FS (30), nahkoda KM RD menunjukkan sertifikat kelaikan kapal yang dimiliknya. Menurut FS, sertifikat tersebut bahkan diterbitkan saat KM RD sudah dilengkapi 2 lantai geladak.
Sertifikat kelaikan kapal harus diperbaharui secara berkala karena masa berlakunya dibatasi satu tahun. Untuk memperbaharuinya, sesuai aturan, pemilik kapal harus mengajukan perpanjangan ke Dishub Provinsi.
Namun dalam praktiknya, menurut penuturan FS, permohonan perpanjangan sertifikat cukup diajukan ke Dishub Kabupaten Samosir.
JS (80), pemilik KM SD menjelaskan, surat perpanjangan sertifikat kelaikan kapal dapat diajukan ke Dishub Kabupaten Samosir, meskipun sertifikatnya diterbitkan oleh Dishub Provinsi Sumut.
Baca juga: Pola Pikir Masyarakat di Sekitar Danau Toba Perlu Diubah
Biaya untuk memperpanjang masa berlaku sertifikat itu sebesar Rp 200.000. ”Biaya itu hitung-hitung untuk membayar lelah petugas ke Medan untuk mengurus sertifikat itu. Kalau biaya resminya, saya tidak tahu,” kata JS.
KM SD sama besarnya dengan KM Sinar Bangun. Kapal itu juga memiliki 2 lantai geladak dan dioperasikan untuk mengangkut penumpang dengan rute Pelabuhan Simanindo menuju Pelabuhan Tigaras di Kabupaten Simalungun. JS mengatakan, KM SD juga hanya diperbolehkan mengangkut 45 penumpang, sama halnya dengan KM Sinar Bangun.
”Namun saat liburan, kami pun sulit menolak keinginan penumpang untuk naik kapal. Jadi kadang berlebih (penumpang),” ucapnya.
Sertifikat pengawakan
Di Danau Toba juga masih ditemukan nahkoda yang tak mengantongi sertifikat pengawakan kapal sebagai surat keterangan kecakapan nautika kapal.
MA (26), nakhoda KM OG, mengaku sudah 1,5 tahun mengoperasikan KM OG tanpa memiliki sertifikat pengawakan kapal. Kemampuan mengemudikan kapal dia peroleh dari pengalamannya selama 10 tahun sebagai kernet atau anak buah kapal untuk kapal angkutan penumpang di Danau Toba.
Di Danau Toba masih ditemukan nahkoda yang tak mengantongi sertifikat pengawakan kapal sebagai surat keterangan kecakapan nautika kapal.
Pada 2017, MA telah berusaha mengajukan permohonan penerbitan sertifikat pengawakan kepada petugas Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir.
Namun, petugas dishub malah menawarkan dirinya tak perlu mengikuti tes, cukup menyerahkan fotokopi KTP asal ada "uang rokok".
”Uang rokok akan saya berikan kalau sertifikat sudah jadi,” ujar MA.
Hingga kini, kata MA, dia belum memperoleh kejelasan terkait sertifikasi pengawakan kapal itu. Petugas Dishub yang dia mintai tolong hanya memberikan surat keterangan dengan tulis tangan yang menjelaskan bahwa dia adalah nahkoda.
Izin berlayar
Setiap kali mengangkut penumpang, pada umumnya nahkoda kapal penumpang di Danau Toba juga tak mengantongi Surat Izin Berlayar atau yang kini disebut Surat Persetujuan Berlayar (SIB). Surat itu diterbitkan oleh pihak yang memegang otoritas di pelabuhan yakni syahbandar atau kepala pos pelabuhan yang dijabat oleh petugas Dishub setempat.
Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2015, SIB untuk kapal motor dengan volume angkut di atas 7 GT diterbitkan oleh Dishub Provinsi. Adapun kapal dengan volume angkut kurang dari 7 GT diterbitkan oleh Dishub Kabupaten.
Setiap kali mengangkut penumpang pada umumnya nahkoda kapal penumpang di Danau Toba tidak mengantongi surat persetujuan berlayar.
Faktanya, tak ditemukan petugas Dishub Provinsi Sumut di pelabuhan-pelabuhan di Pulau Samosir. Padahal kapal angkutan penumpang yang dioperasikan di Danau Toba itu umumnya memiliki ukuran yang hampir sama dengan KM Sinar Bangun, yakni di atas 7 GT.
MA dan FS pun mengaku, setiap kali berlayar mereka tak pernah mengantongi SIB, melainkan hanya sertifikat kelaikan kapal, dan surat keterangan atau sertifikat pengawakan kapal.
Keberangkatan kapal di Danau Toba umumnya diatur oleh pengurus Organisasi Perkapalan di pelabuhan setempat yang beranggotakan pemilik dan pengurus kapal.
"Yang mengatur kapal berangkat itu orang OPS (Organisasi Perkapalan Samosir),” kata FS.
Tak heran jika musim liburan, jumlah penumpang yang diangkut bisa lebih dari kapasitas angkut kapal karena tak ada petugas pemerintah yang mengawasi. Masa liburan itu pun, diakui MA, menjadi kesempatan untuk menambah pendapatan. ”Masa liburan itu masa untuk cari tambahan pendapatan, karena kalau hari biasa, penumpang tidak banyak,” jelasnya.
Jy (30), nahkoda KM SD juga mengaku, sudah terbiasa mengangkut penumpang hingga 150 orang lebih di masa liburan. Bahkan dalam kondisi hujan dan angin kencang, dia tetap mengoperasikan kapal dengan banyak penumpang.
”Masalah cuaca itu bisa diatasi dengan kecakapan kita mengemudikan kapal. Kalau banyak penumpang, ya jangan banyak belok kanan-kiri,” katanya.
Pengawasan lemah
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, berdasarkan analisa mendalam, disimpulkan desain kapal memang tidak tepat dan menyalahi aturan.
”Desainnya terlalu vertikal, sehingga dak yang ketiga kita minta dihapuskan untuk kestabilan dari kapal itu,” kata Budi Karya.
Budi Karya juga mengatakan, pihaknya akan menjadikan Danau Toba sebagai pilot project untuk merevitalisasi pelabuhan Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP).
Untuk keperluan tersebut, Kemenhub akan menyekolahkan 500 tenaga kesyahbandaran dan operator kapal serta meningkatkan pengawasan atas organisasi syahbandar yang dikelola propinsi dan kabupaten.
Selain itu, kata Budi Karya, Kemenhub akan membangun 6 pelabuhan besar membangun kapal khusus di Danau Toba.
Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah II Sumatera Utara, Srie mengakui, masih banyak kekurangan pada pemenuhan aspek keselamatan pelayaran di Danau Toba. Pengawasan di setiap pelabuhan yang ada di Pulau Samosir (Kabupaten Samosir) dan Kabupaten Simalungun masih minim.
”Ini sedang dibentuk tim khusus untuk merumuskan apa saja yang akan dibenahi ke depan,” jelasnya.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun tak lepas dari lemahnya pengawasan oleh otoritas setempat. Sebanyak 4 pejabat Dishub Samosir ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap lalai dalam pengawasan, salah satunya Kepala Dishub Samosir Nurdin Siahaan.
Baca juga: Nakhoda Ditetapkan sebagai Tersangka
Keempatnya dijerat Pasal 302 dan 303 UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Pasal tersebut menyebutkan operator kapal dan pelabuhan yang tak menjalankan tugasnya sesuai standar dapat diancam pidana penjara maksimal 5 tahun. Nahkoda KM Sinar Bangun, Poltak Sagala, juga dijerat pasal serupa.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Hubdar) Budi Setiyadi mengungkapkan, kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba akan menjadi momen untuk pembenahan pemenuhan keselamatan pada kapal angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, secara menyeluruh di Indonesia.
Budi mengakui ada banyak kapal penyeberangan milik rakyat yang beroperasi di sungai, danau, dan antar-pulau yang jauh dari jangkauan pengawasan.
”Kapal kayu seperti ini (KM Sinar Bangun) ada banyak tersebar di seluruh daerah, sehingga lepas dari kontrol kita,” jelasnya.
Ada banyak kapal penyeberangan milik rakyat yang beroperasi di sungai, danau, dan antar-pulau yang jauh dari jangkauan pengawasan.
Direktur Angkutan dan Multimoda Ditjen Hubdar, Cucu Mulyana mengatakan, Surat Izin Berlayar, sesuai aturan, diterbitkan oleh otoritas jika kapal bersangkutan sudah menjalani perawatan menyeluruh secara rutin.
Permasalahannya, lanjut Cucu, di Pulau Samosir maupun Simalungun belum tersedia galangan kapal sebagai tempat pemeriksaan dan perawatan kapal.
Baca juga: Kerja Tim Pengawasan Transportasi Danau Toba Akan Ditinjau
”Ini memang banyak rentetannya. Karena kapal-kapal di sana (Danau Toba) belum pernah ada yang doking (perawatan menyeluruh di galangan). Petugas pelabuhan dari provinsi maupun kabupaten jadi tidak berani menerbitkan SIB atau SPB itu,” jelasnya.
Sebagai upaya pembenahan angkutan penyeberangan ke depan, menurut Cucu, pihaknya tengah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memiliki kewenangan menetapkan standar kapal tradisional yang aman.
”Sekarang pihak Direktorat Perkapalan dan Kepelautan di Ditjen Hubla sedang mengadakan Focus Group Discussion membahas regulasi (standar kapal tradisional) yang akan diharmonisasikan,” jelas Cucu.
Ditemui terpisah, Direktur Perkapalan dan Kelautan Ditjen Hubla, Dwi Budi Sutrisno menyampaikan, bahwa regulasi terkait standar kapal tradisional yang aman telah diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 65 Tahun 2009 tentang standar kapal nonkonvensi berbendera Indonesia.
Peraturan itu mengatur standar kapal tradisional yang layak dan aman untuk berlayar di sungai, danau, dan laut. Petunjuk teknis pelaksanaan kapal non-konvensi itu juga telah dituangkan dalam SK Dirjen Hubla Nomor UM.008/9/20/DJPL-12.
Menurut Budi, standar kapal tradisional dibutuhkan untuk menjaga keamanan kapal selama berlayar. Di Indonesia, variasi kapal tradisional itu sangat beragam dan jumlahnya sangat banyak.
Untuk menerapkan standar kapal yang aman, lanjut Budi, Pemerintah Provinsi Sumut harus mulai menyediakan galangan sebagai tempat perawatan secara menyeluruh untuk kapal-kapal angkutan di Danau Toba.
”Perbaikan kapal itu harus pakai dock (galangan) karena bagian bawah kapal harus diperiksa keadaannya,” jelasnya.
Bentuk fisik kapal yang tak sesuai sertifikat kelaikan kapal, lanjut Budi, juga harus dihilangkan. Artinya tambahan geladak dan balkon harus ditiadakan.
Untuk itu, Ditjen Hubla akan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada Dishub Provinsi dan kabupaten di Sumut terkait kapal tradisional yang memenuhi standar keamanan untuk pengangkutan penumpang maupun barang.
”Adanya kecelakaan KM Sinar Bangun ini artinya dibutuhkan pembenahan yang lebih intensif. Kami pun memberikan bantuan 4 orang inspektur dari tim kami untuk bergabung dalam tim Ad Hoc yang dibentuk Ditjen Hubdar. Tim itu akan melakukan pembenahan menyeluruh pada kapal tradisional milik rakyat,” jelasnya.
(NIKSON SINAGA/ADITYA PUTRA PERDANA/MARIA CLARA WRESTI)