JAKARTA, KOMPAS - Pakta integritas untuk tidak mengusung bekas narapidana korupsi, kejahatan seksual anak, dan bandar narkoba sebagai calon anggota legislatif tetap menjadi acuan Komisi Pemilihan Umum. Publik dipersilakan menilai jika ada partai politik yang menandatangani pakta integritas, tetapi tetap mengusung bekas napi korupsi, kejahatan seksual anak, dan bandar narkoba sebagai caleg.
Dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, setiap parpol disyaratkan menandatangani pakta integritas per daerah pemilihan (dapil), yang berisi komitmen bahwa dalam daftar caleg yang diajukan tidak ada yang berstatus bekas napi korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual anak. Pelanggaran komitmen itu dijatuhi sanksi pembatalan pencalonan oleh KPU.
Ketentuan itu menjadi materi utama pertemuan tertutup dan terbatas antara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, pimpinan Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua Bawaslu Abhan. Seusai pertemuan, Arief Budiman menyampaikan, semua peserta rapat bersepakat bahwa PKPU No 20/2018 tidak diubah dan tetap dijalankan, termasuk kewajiban menandatangani pakta integritas.
Pihak yang tidak setuju dengan isi PKPU tersebut dipersilakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Namun, KPU juga menerima masukan dari peserta rapat agar calon yang terindikasi bekas napi tiga jenis tindak pidana itu, berkas permohonannya tetap diterima terlebih dahulu untuk diverifikasi sambil menunggu proses uji materi di MA.
Arief menyerahkan kepada publik untuk menilai jika ada parpol yang sudah menandatangani pakta integritas, tetapi tetap mengusung bekas napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba. ”Silakan publik yang menilai,” katanya.
Menghargai
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, semua pihak menghargai keputusan pemerintah mengesahkan PKPU Pencalonan. Namun, ketentuan hukum lain, terutama tentang penghargaan terhadap hak asasi warga negara untuk dipilih dan memilih sesuai UUD 1945, juga dihargai ”Maka kami sepakat memberi kesempatan kepada semua pihak mendaftar menjadi caleg lewat parpol masing-masing. Sambil menunggu proses verifikasi, yang bersangkutan dipersilakan menggunakan haknya mengajukan uji materi ke MA,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, MA mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan dengan PKPU itu, mengajukan uji materi ke MA. ”Nanti hakim yang akan mempertimbangkan apakah ketentuan itu bertentangan dengan UU yang lebih tinggi atau tidak,” katanya.
Mengenai proses persidangannya di MA yang berlangsung tertutup, menurut Abdullah, itu tidak menyalahi ketentuan. Jumlah hakim MA yang terbatas, serta batasan waktu 14 hari, menjadi bagian dari pertimbangan mengapa uji materi di MA tidak terbuka. Pengundangan pihak terkait di persidangan yang terbuka untuk umum akan menghabiskan banyak waktu dan membuat MA melanggar Peraturan MA.