JAKARTA, KOMPAS - Pengawasan di daerah perbatasan dinilai masih kurang karena keterbatasan personel dan peralatan. Akibatnya, terorisme, penyelundupan narkoba, dan perdagangan manusia masih rawan terjadi. Sejumlah tindak pidana itu juga muncul karena kecamatan yang selama ini diharapkan sebagai ujung tombak dari pemerintah pusat kurang punya wewenang untuk menindak pelanggaran-pelanggaran itu.
Sebanyak 187 camat perbatasan dari 13 provinsi di Indonesia menghadiri rapat koordinasi ”Penguatan Kapasitas Camat di Kawasan Perbatasan Negara Tahun 2018” di Jakarta, Kamis (5/7/2018). Hadir pula dalam rapat ini, 43 kepala badan perencanaan pembangunan daerah (bappeda) kabupaten/kota di kawasan perbatasan.
Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo mengatakan, para camat di wilayah perbatasan perlu dibekali pengetahuan terkait berbagai masalah di daerahnya sehingga bisa mengatasinya. Ini karena tugas para camat di wilayah perbatasan tidak hanya terkait dengan masalah pertahanan militer. Namun, juga pengamanan daerah dari bahaya peredaran narkoba, perdagangan manusia, dan terorisme.
Masalah di perbatasan
Camat Kota Atambua Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Servatius Boko mengutarakan, masalah paling mendasar di daerahnya adalah maraknya peredaran narkoba. ”Peralatan yang kami miliki untuk mendeteksi narkoba, belum secanggih di Jakarta. Akibatnya, banyak narkoba datang dari luar negeri masuk ke Belu, dan kemudian terus ke Jakarta,” ujarnya.
Hal serupa dialami Camat Tasik Putri Puyu, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Abdul Hamid. Menurut dia, narkoba sangat rentan masuk ke wilayahnya yang berupa kepulauan. Kondisi makin diperparah oleh lemahnya pengawasan di wilayah perairan yang langsung beririsan dengan Selat Malaka. Akibatnya, banyak warga negara asing atau warga negara Indonesia, yang keluar-masuk melalui jalur itu untuk pergi ke Malaysia. ”Daerah kepulauan rata-rata rentan karena pengawasan tidak ketat hingga narkoba dan teroris mudah keluar-masuk,” ujarnya.
Camat Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Junaidi juga mengeluhkan kurangnya pengawasan di jalur-jalur pelabuhan tikus. ”Sepandai-pandainya kita, kadang-kadang mereka lebih pintar lagi karena ada jalur tikus. Ada alat deteksi narkoba, tetapi hanya di Pelabuhan Nunukan,” ujarnya.
Tantangan untuk memberantas peredaran narkoba di Nunukan, menurut Janaidi, juga terjadi karena pihaknya tidak punya kewenangan untuk menindak. ”Mau turun salah. Mau tutup mata, tidak tega. Jadi, adanya kewenangan itu penting sehingga kami punya kekuatan untuk menindak,” ujarnya.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Zaeroji mengakui kurangnya personel dan peralatan menjadi kendala dalam penjagaan di wilayah perbatasan. Penjagaan wilayah perbatasan, menurut dia, harus dilakukan secara sinergi antara Polri, TNI, dan Bea Cukai.
Perwira Pembantu Utama (Paban) VI Survei dan Pemetaan (Surta) Mabes TNI Kolonel Ctp Asep Edi Rosidin mengatakan, terkait jalur-jalur tikus, bagian pengamanan garis perbatasan (pantas) sudah diidentifikasi.
Sementara itu, Kasubdit Pengawasan Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Moch Chairil Anwar menuturkan, perlu peningkatan infrastruktur terkait aspek pelayanan, pengawasan, dan pengamanan perbatasan, misalnya dengan anjing pelacak dan alat deteksi.