LOMBOK TENGAH, KOMPAS —Pemerintah menyatukan berbagai program untuk mempercepat penanganan stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Hal ini akan diterapkan terhadap 1.000 desa di 100 kabupaten dan kota yang jadi sasaran program. Namun, kunci keberhasilan dan keberlanjutannya terletak di pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan dana desa.
”Tak mungkin dijalankan pemerintah sendiri. Gerakan masyarakat harus diperbaiki. Kalau warga bergerak sendiri-sendiri, akan sulit,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidatonya pada kunjungan bersama Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (5/7/2018).
Kalla dan Jim meninjau proyek percontohan Kader Pembangunan Manusia di Desa Dakung, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah. Proyek kerja sama Bank Dunia dan pemerintah itu dilakukan di 3.105 desa dan 7.500 pos kesehatan di 31 kabupaten dengan mempekerjakan 3.105 kader. Proyek ini jadi komponen utama penerapan program stunting. Itu akan diduplikasi di 514 kabupaten mulai 2019.
Wapres didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Muljono serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.
Kalla menyatakan, pemerintah menangani stunting sejak dulu. Itu tercermin antara lain dari adanya posyandu. Pemerintah perlu membenahi program penanganan stunting agar memberi hasil positif. Caranya ialah, mengonvergensikan atau menyatukan berbagai program di sejumlah kementerian dan lembaga negara. Itu mensyaratkan harmonisasi antarkementerian dan lembaga negara serta harmonisasi perencanaan dan penganggaran.
Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Elan Satriawan, mengatakan, konvergensi jadi kunci penanganan stunting. Intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif perlu dikonvergensikan di pusat dan desa.
“Tantangannya, bagaimana program diakses warga,” ujarnya.
Daya saing
Stunting ialah tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Anak dengan stunting mengalami defisit kognitif dan saat dewasa berisiko kena penyakit menular. Negara dengan angka stunting tinggi memiliki daya saing ekonomi lemah.
Bank Dunia mencatat, lebih dari 1 dari 3 anak balita atau hampir 9 juta anak Indonesia mengalami stunting. Ada 2 dari 3 anak tak menjalani imunisasi lengkap. Adapun angka suplementasi zat besi dan obat cacing 33 persen dan 26 persen.
Jim menyatakan, Indonesia memiliki berbagai hal yang mampu mengantar bangsa ke masa depan cerah, antara lain kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi. Namun angka stunting di Indonesia terlalu tinggi, sehingga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Sebelum 2015, stunting bukan jadi isu penting di kalangan pimpinan pusat sampai daerah akibat rendahnya pemahaman dampak stunting pada perekonomian. Sejak 2015, Jim menilai ada upaya serius pemerintah yang belum ia lihat di negara lain. Cara Pemerintah Indonesia menangani stunting lewat kovergensi dinilai benar.
”Hal ini tak hanya isu kesehatan, sanitasi, ataupun cash transfer. Jika kita bisa menyatukan semuanya, ini memastikan Indonesia tumbuh secara ekonomi dan berdaya saing di masa datang,” kata Jim.
Sri Mulyani menegaskan, pemerintah punya berbagai program terkait stunting di 22 kementerian dan lembaga. Anggaran program penanganan stunting tahun ini Rp 49,77 triliun. Dana program penanganan stunting selama 4 tahun dari APBN 12,4 miliar dollar AS. Pinjaman Bank Dunia 400 juta dollar AS dan hibah 20 juta dollar AS demi memerkuat program, inovasi, dan pemantauan hasil.
Menurut Basuki, Kementerian PUPR punya sejumlah program penanganan stunting lewat pembangunan infrastruktur dasar demi menyediakan air bersih, sanitasi, dan pemukiman sehat. ”Ini akan terus dilanjutkan,” ujarnya.