Masyarakat Masih Permisif dengan Korupsi
Dibutuhkan aturan hukum yang lebih tegas agar tersangka korupsi tidak dipilih di pilkada. Pasalnya, toleransi masyarakat dengan politik uang dan korupsi masih tinggi.
Jakarta, Kompas- Kemenangan sejumlah tersangka kasus korupsi dalam Pilkada 2018, menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih permisif dengan korupsi. Langkah paling dekat guna mengatasi kondisi yang mengancam kualitas demokrasi ini, dibutuhkan peraturan untuk memastikan kandidat yang sedang bermasalah hukum karena penyalahgunaan kewenangan jabatannya, tidak terpilih sebagai kepala daerah.
Pada Pilkada 2018, setidaknya ada dua kandidat yang memang meski berstatus tersangka. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus yang maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara dan Syahri Mulyo di Pilkada Tulungagung, Jawa Timur.
Saat ini, kedua orang itu telah ditahan KPK. Syahri yang diusung PDI-P dan Partai Nasdem, bahkan telah ditahan saat pemungutan suara pada 27 Juni lalu. Sementara Hidayat Mus, saat pilkada lalu diusung Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
Keunggulan tersangka korupsi, juga terjadi dalam Pilkada 2017. Saat itu, Umar Abdul Sumain memenangkan Pilkada Buton, Sulawesi Selatan, meski sedang menjadi tersangka kasus pemberian suap kepada hakim MK dalam sengketa Pilkada Buton tahun 2011.
Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, para tersangka yang unggul dalam pilkada itu, tetap akan dilantik menjadi kelapa darah. Selama ini, Presiden Jokowi biasa melantik gubernur di Istana kepresidenan. Sedangkan bupati dan walikota, dilantik di ibukota provinsi.
Permisif
Pengajar politik Universitas Airlangga Surabaya Kris Nugroho saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (6/7/2018) menuturkan, kemenangan sejumlah tersangka korupsi dalam pilkada, menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu korupsi masih rendah,
Sinyalemen ini, terlihat dalam indeks perilaku antikorupsi yang dirilis Bappenas. Pada tahun 2017, menurut indeks itu, sikap masyarakat terkait korupsi masih ada di tengah-tengah, yakni di angka 3,7 dalam rentang skala 0-5, dimana 0 sebagai perilaku yang sangat mendukung korupsi, hingga 5 yang merepresentasikan perilaku antikorupsi.
“Posisi masyarakat kita masih di skala 3,7. Artinya, sikap permisif terhadap korupsi itu masih besar,” ujar manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko.
Rendahnya kesadaran terhadap bahaya korupsi ini, lanjut Wawan, berkorelasi langsung dengan maraknya politik uang di dalam pilkada.
Hasil penelitian Founding Fathers House (FFH), sebesar 61,8 persen masyarakat masih permisif pada politik uang pada Pilkada 2015. Angka itu meningkat menjadi 64,9 persen pada Pilkada 2017. Jenis politik uang itu seperti pemberian kebutuhan pokok, alat elektronik, atau uang dengan kisaran Rp 25.000 hingga Rp 500.000.
Peneliti FFH Dian Permata menuturkan, tren kenaikan sikap permisif terhadap politik uang pada Pilkada 2017 jika dibandingkan Pilkada 2015, menjadi sinyal kuat bahwa politik uang masih mewarnai proses pilkada di Indonesia. "Artinya tidak ada perubahan sikap masyarakat, dan bahkan sikap permisif terhadap politik uang terus meningkat. Ini jadi pekerjaan besar terhadap masyarakat, pembuat kebijakan, dan penyelenggara pemilu untuk mencegah politik uang di masyarakat," ujar Dian.
Intervensi hukum
Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menuturkan, dalam jangka pendek, dibutuhkan intervensi hukum agar kandidat yang bermasalah secara hukum, tidak dipilih dalam pilkada. Sebab, jika masalah ini sepenuhnya diserahkan kepada pemilih, akan sangat tergantung pada banyak faktor, salah satunya akses pendidikan masyarakat. “Perlu terobosan hukum untuk membuat kandidat yang terlibat kejahatan jabatan misalnya korupsi bisa dijatuhi sanksi pembatalan pencalonan,” kata Oce.
Ketua KPU Arief Budiman juga sependapat dengan gagasan tersebut. Menurut dia, desain pemilihan bisa membantu menyediakan pemilih dengan calon yang berkualitas dan tidak bermasalah. Dia mencontohkan, pada saat marak kandidat kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan KPK, ada usulan parpol bisa mengganti mereka kendati belum ada keputusan hukum yang mengikat.
“KPU justru usul didiskualifikasi saja, bukan mengganti kandidat. Jadi dengan begitu calon juga menjaga diri betul karena kalau menjadi tersangka bisa didiskualifikasi,” kata Arief.
Aturan diskualifikasi untuk tersangka korupsi ini, menurut Koodinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Sunanto, amat dibutuhkan. Pasalnya, saat para kandidat yang menjadi tersangka korupsi masih boleh ikut kontestasi, pemilih akan berpikir bahwa mereka tidak memiliki problem hukum yang krusial, sehingga tetap layak dipilih. Bahkan, kerap kali pula, mereka menyebutkan dalam materi kampanyenya, bahwa penetapan tersangka itu merupakan bentuk kriminalisasi. Status tersangka itu justru dimanfaatkan untuk mendulang simpati.
Di saat yang sama, parpol yang mengusung para calon tersangka pun pada kenyataaannya tidak mau membatalkan pencalonan atau mencoret mereka. Parpol tetap meneruskan pencalonan kendati jelas-jelas calon tersebut ditetapkan sebagai tersangka.
Kondisi ini, akhirnya membuat korupsi menjadi sulit diberantas di pemerintahan. Sejumlah kepala daerah hasil pilkada 2015 dan 2017, terbukti telah diproses hukum karena korupsi.