Warga Pun Membayar Lebih Mahal
Meski hanya punya keterampilan bertani, tak menyurutkan Robin Simarmata (63), ikut berlayar mencari Kapal Motor Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba pada Minggu (24/6/2018).
Kepiluan Robin terhadap tragedi kecelakaan KM Sinar Bangun, mendorongnya terlibat sebagai sukarelawan. “Kecelakaan ini memilukan. Meski tak ada keluarga kami yang ikut jadi korban, tapi kami ikut bersedih,” ucap Robin.
Sejak KM Sinar Bangun tenggelam pada 18 Juni lalu, pencarian kapal berukuran 35 gros ton (GT) dilakukan intensif, melibatkan banyak pihak hingga akhirnya dihentikan pada Selasa (3/7/2018).
Baca juga: Pencarian Korban Kapal Diakhiri
Bahu-membahu para relawan yang datang dari pemilik dan awak kapal angkutan penumpang, petani Samosir, maupun Badan Search and Rescue bersama TNI/Polri, mencari keberadaan kapal di kedalaman 450 meter.
Robin, bukan satu-satunya petani Samosir yang menjadi sukarelawan. Ada sekitar 30 petani lain. Sejak pagi mereka berkumpul di Pelabuhan Simanindo, Samosir, menunggu ajakan awak kapal ikut bergabung.
“Yang kuat tarik tali jangkar, silahkan ikut naik kapal,” seru seorang ABK KM Tani Gultom.
Robin yang hanya memiliki pengalaman sebagai petani dan telah berusia lanjut, memilih duduk tenang di dalam KM Tani Gultom, kapal yang sehari-hari dioperasikan sebagai kapal angkutan barang, sambil menunggu arahan dari ABK.
Dengan tenaganya, Robin dan para sukarelawan lainnya bahu-membahu menarik jangkar yang digunakan untuk menjaring KM Sinar Bangun di dasar danau.
Selain KM Tani Gultom, hari itu ada 6 kapal angkutan barang dan penumpang milik rakyat lainnya yang bergerak dari Pelabuhan Simanindo untuk ikut melakukan pencarian.
Kapal-kapal tersebut bergerak ke arah timur, menuju Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun. Mereka bersama-sama berlayar menuju lokasi KM Sinar Bangun tenggelam yakni 6 kilometer sebelah timur Pelabuhan Simanindo atau 3 km sebelah barat Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun.
Karena saking dalamnya danau, tali jangkar yang digunakan pun mencapai 600 meter. Diameter tali yang digunakan selebar 1 cm, lumayan tebal dan kuat untuk menarik jangkar dan menahan derasnya arus air Danau Toba.
Untuk mempermudah pekerjaan, kapal pencari itu sebelumnya meninggalkan jangkar dan talinya di tengah danau, di lokasi pencarian. Tali itu diikatkan pada jerigen kosong sebagai pelampung sehingga tali itu tetap mengambang dan mudah diambil lagi. Namun nahas, saat ditarik ternyata tali itu telah dipotong sepanjang 200 meter oleh orang tak bertanggung jawab.
Paham Gultom, pemilik kapal, tak banyak bicara saat mengetahui tali jangkar itu dicuri. Padahal satu gulung tali jangkar diameter 1 cm sepanjang 220 meter itu harganya mencapai Rp 6 juta.
Bukannya kesal, Paham malah memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan tali jangkar cadangan dengan diameter lebih kecil.
"Bukan dicurilah. Ada orang yang ambil tali itu diam-diam," kata Paham yang enggan membahas hilangnya tali jangkar itu lebih lanjut.
Sarman Silalahi, pengurus Organisasi Perkapalan Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, mengungkapkan, untuk melakukan pencarian selama sehari, pemilik kapal harus mengeluarkan dana hingga Rp 300.000 guna membeli bahan bakar. Selama 15 hari pencarian, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 4,5 juta per kapal.
“Selama pencarian, kami (pemilik kapal) yang berada di Pelabuhan Simanindo dilarang menarik penumpang. Tak ada pendapatan. Akhirnya kami pun utang untuk membeli bahan bakar supaya bisa ikut melakukan pencarian. Kami ikut mencari karena dorongan solidaritas,” jelas Sarman.
Pemilik kapal harus mengeluarkan dana hingga Rp 300.000 untuk bahan bakar
Upaya Tim SAR mencari keberadaan KM Sinar Bangun dan para korban hilang, juga cukup gigih. Pencarian dilaksanakan dengan penyelaman, penyisiran di darat, dan observasi dari udara dengan helikopter.
Kerja tim itu juga dibantu dengan alat pendeteksi objek di bawah air hingga kedalaman 600 meter, yakni multibeam side scan sonar.
Baca juga: ROV Akan Dilengkapi dengan Lengan Robotik
Alat itu didatangkan dari Pusat Oseanografi TNI Angkatan Laut. Mereka juga mendatangkan alat dari Kantor SAR Tanjung Pinang, Kepulauan Riau yakni multibeam echosounder yang bisa mendeteksi kedalaman hingga 2.000 meter.
Terakhir, tim mendatangkan wahana bawah air (remotely operated vehicle/ROV) milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Alat inilah yang kemudian berhasil merekam gambar jenazah KM Sinar Bangun.
Direktur Operasional Badan SAR Nasional Bambang Suryo Aji mengatakan, medan yang berat membuat evakuasi KM Sinar Bangun bersama para korban yang ada di dasar danau sulit dilaksanakan. Pencarian pun dihentikan pada 3 Juli 2018.
“Target kami menemukan bangkai KM Sinar Bangun dan menemukan korban apa pun kondisinya. Namun dasar danau terlampau dalam (jadi kendala). Sementara untuk mendatangkan alat yang lebih canggih membutuhkan waktu lebih dari 3 minggu. Kalau alat itu sudah tiba, diragukan alat itu masih bisa mengevakuasi jasad korban. Sebab, sudah 14 hari jenazah di dalam danau,” jelasnya.
Pariwisata terpukul
Harga yang harus dibayar untuk kecelakaan KM Sinar Bangun, ini pada akhirnya sangat mahal. Tak hanya menelan korban jiwa dan biaya besar untuk mendanai pencarian KM Sinar Bangun, sektor pariwisata Danau Toba pun ikut terpukul.
Sejak KM Sinar Bangun tenggelam, tingkat keterisian hotel di kawasan Danau Toba merosot. Sebelumnya, tingkat keterisian hotel di kawasan Danau Toba itu bisa mencapai 30-40 persen. Namun sejak KM Sinar Bangun tenggelam, tingkat keterisian hotel berada di bawah 30 persen.
Hanya dalam waktu 2 hari setelah KM Sinar Bangun tenggelam, suasana di Desa Wisata Tomok, Samosir, tampak sepi dari pengunjung. Puluhan pedagang suvenir di kawasan tersebut hanya bisa duduk menunggu kehadiran wisatawan. Tiga obyek wisata yang berada di lokasi itu pun kosong dari pengunjung, yakni Museum Batak, Objek Wisata Sigale-gale, serta Makam Raja Sidabutar.
Parningotan Sidabutar (54), pemandu wisata di lokasi itu, menyebutkan, dua hari setelah insiden tersebut terjadi, jumlah pengunjung menurun drastis.
Padahal, menurut pengalaman Parningotan, liburan panjang Lebaran dan liburan sekolah merupakan salah satu momen yang mengundang banyak pengunjung. Hal itu tidak terjadi pada musim liburan kali ini.
Biasanya, dia bisa memandu tiga rombongan dalam sehari. Setiap rombongan membayar Rp 150.000 untuk dipandu ke tiga obyek wisata di Desa Tomok. Sampai pertengahan akhir pekan lalu, Parningotan sama sekali belum mengantongi uang.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kecelakaan ini merupakan cerminan dari rendahnya kesadaran akan pentingnya keselamatan transportasi.
“Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan banyak korban jiwa ketika terjadi kecelakaan. Regulasi beserta kelembagaan sebenarnya sudah banyak, tetapi itu dilanggar karena adanya pembiaran. Kita masih mengabaikan risiko,” ujar Sutopo.
Ia mengatakan, setelah kecelakaan terjadi, semua pihak jadi berbondong-bondong memiliki perhatian akan keselamatan. Tetapi setelah itu publik cenderung kembali abai dan kecelakaan bisa kembali terjadi.
“Kuncinya adalah budaya keselamatan yang harus jadi kesadaran bersama. Baik penumpang maupun aparat harus mementingkan keselamatan sebagai prioritas utama,” ujar Sutopo.
Direktur Indonesian Maritime Center Universitas Indonesia, Sunaryo mengungkapkan, secara umum penyeberangan sungai, danau, dan antar-pulau di Indonesia, belum diawasi dengan cukup baik. Sementara perilaku masyarakat juga belum menunjukkan kepeduliannya untuk mengutamakan keselamatan dalam berlayar.
“Saya pernah mengamati penyeberangan di Ambon. Ada banyak penumpang berdiri di atas atap geladak kapal. Itu berbahaya terhadap keseimbangan kapal. Namun otoritas pelabuhan di sana tak ada yang berani mencegah karena masyarakat di sana memaksa untuk berangkat, dan sampai ada yang mengancam dengan parang,” jelasnya.
Menjadi tugas pemerintah, lanjut Sunaryo, untuk memberikan pendidikan terkait keselamatan dalam penyeberangan kepada awak kapal maupun masyarakat. “Kecelakaan pada kapal penyeberangan itu dapat diantisipasi lewat pendidikan dan penjelasan yang sederhana, serta tentunya menerapkan regulasi secara tegas,” jelasnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi pun mengungkapkan, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan untuk membenahi angkutan penyeberangan di seluruh Indonesia. Sementara hingga saat ini, regulasi terkait perkapalan itu masih ada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
“Terkait standar kapal, kami harus mengikuti regulasi di Ditjen Perhubungan Laut. Di Ditjen kami pun, penyeberangan masih dikelola di Direktorat Multimoda, sehingga kami pun tak spesifik hanya menangani angkutan penyeberangan,” jelasnya.
Budi kemudian menyampaikan, dengan angkutan penyeberangan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dan kapal yang dioperasikan itu umumnya kapal tradisional dan milik rakyat, itu membutuhkan pengelolaan yang intensif.
“Tak menutup kemungkinan, kami akan mengusulkan agar angkutan penyeberangan itu dikelola di direktorat jenderal tersendiri yang khusus mengelola angkutan penyeberangan,” jelasnya.
Sekretaris Daerah Sumatera Utara R Sabrina pun tak menampik ada peran pengawasan yang tak berjalan pada angkutan penyeberangan di Danau Toba hingga mengakibatkan KM Sinar Bangun tenggelam. Menurutnya, kecelakaan KM Sinar Bangun dengan sendirinya akan memukul sektor pariwisata di Danau Toba.