Belgia menembus batas psikologis dengan membenamkan Brasil 2-1 di perempat final Piala Dunia Rusia 2018. Inteligensi, keberanian, adaptasi taktik, dan semangat muda menjadi kunci keberhasilan skuad berjuluk ”Setan Merah” itu menjinakkan arena angker di Kazan, Republik Tatarstan, Rusia.KAZAN, KOMPAS Sejumlah jurnalis di tribune media Kazan Arena, lokasi laga perempat final antara Brasil dan Belgia, Sabtu (7/7/2018) dini hari WIB, mengernyitkan dahi saat melihat secarik kertas berisi susunan pemain dan formasi kedua tim, setengah jam menjelang laga. Sebagian lagi tersenyum simpul. ”Saya kira Belgia akan memenangi laga ini,” kata seorang jurnalis asal Portugal penuh keyakinan.
Daftar pemain Belgia yang diturunkan Pelatih Roberto Martinez malam itu tidak lazim, berbeda dari empat laga sebelumnya di Rusia ataupun selama babak kualifikasi. Tidak ada satu pun penyerang sayap, seperti Dries Mertens dan Yannick Carrasco, dalam daftar pemain mula.
Hanya ada satu penyerang Belgia, yaitu Romelu Lukaku, yang dipasang dalam daftar tersebut. Penyerang Manchester United itu ditopang dua gelandang kreatif, yaitu Eden Hazard dan Kevin De Bruyne, di belakang. Lini serang itu membentuk gugusan ”Segitiga Bermuda” yang misterius. Mesin kreatif kembar itu menopang Lukaku, yaitu Hazard bermain di kiri dan De Bruyne beroperasi di kanan.
Pada laga-laga sebelumnya, De Bruyne lebih banyak bermain ke tengah untuk mendampingi gelandang jangkar Axel Witsel. Posisi penyerang di sayap kanan lebih sering ditempati Mertens yang tampil menawan bersama klub Napoli sepanjang musim lalu. Tak kalah anehnya, Martinez juga memasang duet pemain jangkung, Marouane Fellaini dan Witsel, di depan barisan pertahanan.
Taktik ”segitiga” itu sebetulnya bukan hal baru bagi Belgia. Taktik itu diperkenalkan pada laga sebelumnya, yaitu kontra Jepang, pada babak 16 besar. Taktik unik ini terlahir dari situasi tidak terduga atau penuh kebetulan, yaitu ketika Belgia sempat tertinggal 0-2 dari Jepang. Saat itu, awalnya Martinez memainkan skema favoritnya, 3-4-3, dengan dua penyerang sayap, Mertens dan Carrasco.
Namun, setelah tertinggal 0-2 di awal babak kedua, Martinez membongkar taktiknya. Ia sengaja mematahkan sayap-sayap Setan Merah dengan memasukkan Fellaini dan Nacer Chadli menggantikan Carrasco dan Mertens. De Bruyne didorong lebih maju untuk berpartner dengan Hazard dan Lukaku. Perubahan itu membuat Belgia bermain bak mobil balap Formula 1 yang melesat cepat berkat mesin ganda. Belgia pun mampu mencetak tiga gol dalam waktu 25 menit.
Efektif
Taktik segitiga dan mesin kreatif kembar itu kembali efektif menghadapi Brasil, tim yang sebelumnya memiliki pertahanan paling solid di Rusia. Sebelum laga itu, Brasil memiliki rekor pertahanan menawan, yaitu hanya menderita lima tembakan tepat ke gawang dan satu gol dari empat laga. Keberanian Martinez pun dibayar dengan sentuhan ”ajaib” Fellaini, yang membuat gelandang Brasil, Fernandinho, panik dan melakukan gol bunuh diri pada situasi sepak pojok.
Menawannya permainan Lukaku dan mesin serangan kembar Belgia membuat barisan pertahanan Brasil kewalahan. Skema pertahanan zonasi Brasil gagal mematahkan serangan balik cepat yang dikreasikan Lukaku dan dieksekusi sempurna oleh De Bruyne yang tampil bak striker. Skema tersebut, persis seperti laga kontra Jepang, membuat Brasil tertinggal 0-2.
”Sebagian tim sangatlah beruntung memiliki seorang pemain yang mampu berlari dan memecah konsentrasi pertahanan sejauh 36 meter. Gilanya, Belgia punya tiga pemain seperti itu (Lukaku, Hazard, dan De Bruyne). Mereka juga seolah saling bertelepati satu sama lain. Kini, siapa yang bisa menghentikan trisula Belgia ini?” ungkap Nick Greene, jurnalis asal Amerika Serikat.
Laga kontra Brasil itu menunjukkan, generasi emas Belgia tidak hanya kaya talenta, melainkan juga kecerdasan dan keluwesan dalam menerima perubahan taktik. ”Sebagai pemain, Anda harus berani menerima perubahan (cepat). Anak-anak mencerna pergantian taktik ini hanya dalam dua hari. Namun, ini semua tidak melulu soal taktik. Ini menyangkut gairah, yaitu untuk mewujudkan ambisi (ke semifinal),” tutur Martinez seusai laga itu.
Setan Merah kini tinggal selangkah lagi untuk melewati pencapaian terbaiknya di Piala Dunia, yaitu di Meksiko 1986. Saat itu, mereka meraih peringkat keempat. Rintangan besar untuk menggapai ambisi itu adalah Perancis. Kedua tim akan berduel di semifinal, 11 Juli dini hari WIB. Duel ini dilabeli pertarungan dua generasi emas terbaik sejagat.
Menurut De Bruyne, timnya telah melampaui batas psikologis, yakni beban mental dan ketakutan gagal, setelah mengalahkan Jepang. ”Kami kini sejajar dengan Perancis. Perbedaan kedua tim minim,” ujarnya.