MADINA NUSRAT/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDI
·4 menit baca
Tidak ada standar keamanan yang baku dalam pembuatan kapal tradisional di Danau Toba, Sumatera Utara. Desain dan ukuran kapal cukup dihitung berdasarkan pengalaman perajin dan juga permintaan pasar. Kapal dengan dua lantai geladak, sebagai contoh, sangat diminati dalam tiga tahun terakhir, sebagai respons terhadap kebutuhan pariwisata.
Jika di pelabuhan tepi laut mudah dijumpai galangan sebagai tempat perbaikan dan pembuatan kapal, tidak demikian halnya di pelabuhan di Danau Toba, Sumatera Utara.
Untuk membuat ataupun memperbaiki kapal, menurut perajin kapal Erikson Rumahorbo (49), biasanya perajin menggunakan area pantai di belakang rumah pemesan atau pemilik kapal. ”Jika tak punya tempat (area pantai) untuk membuat kapal, mereka (pemesan atau pemilik kapal) akan sewa tempat,” ujarnya.
Perajin kapal di Desa Ambarita, Kabupaten Samosir, ini mengatakan memperoleh keterampilan membuat kapal itu dari bapaknya yang juga perajin kapal di Samosir. Dengan bekal pengetahuan dari bapaknya, Erikson kemudian mengembangkan keterampilannya membuat kapal secara otodidak.
Salah satu keterampilan yang dia pelajari secara otodidak adalah membuat kapal dengan dua geladak yang mulai diminati pemilik kapal sejak pariwisata menggeliat di Danau Toba dalam tiga tahun terakhir.
”Perajin kapal di Samosir yang lebih dulu memperkenalkan kapal dua geladak, kemudian memperoleh respons yang baik dari pemilik kapal,” ucapnya.
Selain di Ambarita, perajin kapal ada juga di daerah Tomok. Namun, perajin kapal Tomok kurang begitu dikenal dibandingkan perajin dari Ambarita.
Dari penuturan Erikson, diketahui bahwa setiap kali membuat kapal, dirinya tak pernah berdiskusi terkait desain kapal dengan Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir. Pembuatan kapal biasanya langsung dilaksanakan setelah ada permintaan dari pemesan.
Berdasarkan pengalamannya sebagai perajin kapal selama bertahun-tahun, menurut Erikson, kestabilan kapal dijaga dengan membangun geladak yang tingginya tidak melampaui lebar kapal.
Misalnya, kapal berukuran panjang 20 meter dan lebar 6 meter. Jika di atasnya akan dibangun dua geladak, masing-masing tinggi geladak hanya boleh memiliki tinggi 1,8 meter. Artinya, dua geladak memiliki tinggi 3,6 meter.
KM Sinar Bangun yang tenggelam memiliki panjang 17,5 meter dan lebar 4 meter. Di atas kapal itu berdiri dua geladak dan satu balkon. Saat dilakukan rekonstruksi terkait jumlah penumpang yang diangkut, Polres Samosir menggunakan KM Sabar Tani yang dianggap memiliki bentuk dan ukuran yang hampir sama dengan KM Sinar Bangun. Berdasarkan pengamatan Kompas, total tinggi geladak KM Sabar Tani sekitar 3 meter.
Erikson menuturkan, setiap ada pemesanan kapal, dirinya akan berdiskusi dengan pemilik kapal untuk menggambar desainnya, termasuk denah ruangan geladak. Pemilik kapal harus memberi tahu, mesin dan kipas apa yang akan digunakan agar desain dapat dirancang sesuai kebutuhan.
”Nanti kami yang menentukan bahan yang akan digunakan. Pemesan tinggal menyediakan bahannya. Untuk kapal di Danau Toba ini, biasanya kami menggunakan damar laut dan ingul,” katanya.
Pengerjaan kapal satu geladak membutuhkan waktu sekitar tiga bulan dan dikerjakan 4-5 orang. Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 500 juta. Sementara pengerjaan kapal dua geladak, menurut Erikson, akan menghabiskan waktu 6-7 bulan, dengan biaya paling murah Rp 1 miliar.
Bagi Erikson, pembangunan geladak hingga dua lantai itu tak membahayakan keseimbangan kapal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, diketahui bahwa tenggelamnya KM Sinar Bangun bukan semata akibat cuaca buruk. Desain kapal dengan dua geladak dan satu balkon juga dinilai sebagai penyebab kecelakaan.
Dengan dua lantai geladak dan satu balkon, KM Sinar Bangun dapat mengangkut lebih dari 150 penumpang. Padahal, berdasarkan aturan, pada KM Sinar Bangun dengan kapasitas 35 GT hanya bisa dibangun satu geladak untuk mengangkut 45 penumpang dan 3 awak kapal.
Penumpang yang dimuat di geladak lantai 2 dan balkon membuat titik beban berada jauh di atas lambung kapal, dan itu mengganggu stabilitas kapal. Akibatnya, stabilitas kapal hilang dan mudah terguling ketika dihantam ombak tinggi.
Tito Pasaribu (24), nakhoda KM Felix, mengungkapkan, sejak pariwisata Danau Toba menggeliat dalam tiga tahun ini, banyak pemandu wisata meminta pengusaha kapal menambah geladak di kapal menjadi dua lantai. Jika sudah dua lantai, geladak paling atas diminta untuk dibuka sehingga wisatawan dapat menikmati pesona alam Danau Toba.
”Tahun 2015, geladak atas KM Felix ini dirombak dan dibuka sesuai permintaan agen biro perjalanan wisata. Menurut mereka, dengan geladak atas dibuka, wisatawan memiliki jangkauan pandangan lebih luas saat menikmati alam Danau Toba. Selain itu, area terbuka itu juga digunakan wisatawan untuk berjemur,” tuturnya.
Direktur Indonesian Maritime Center Universitas Indonesia Sunaryo menyebutkan, standar keamanan bagi kapal tradisional di Indonesia belum ada.
”Butuh ada standar kapal yang aman untuk kapal tradisional yang dioperasikan sebagai kapal angkutan. Sementara ini belum tampak,” katanya.