Menyambung Hidup dengan Merayapi Gedung dan Menara
Kendati dibayangi potensi kecelakaan, bekerja di ketinggian menjadi arena bagi sebagian orang untuk menyambung hidup. Memicu adrenalin telah menjadi rutinitas. Pekerja ini tak henti merayapi gedung-gedung dan menara di bawah langit Ibu Kota.
Di salah satu puncak menara telekomunikasi milik XL Axiata, beberapa waktu lalu, Jaka Malik (35) dengan cekatan memeriksa kondisi perangkat jaringan. Tanpa wajah khawatir, Jaka merayap tiang menara dengan cepat dan tenang.
Jaka sedang melaksanakan tugasnya sebagai petugas maintenance service atau jasa pemeliharaan menara PT Adyawinsa. Perusahaannya tempat bekerja itu merupakan rekanan PT Huawei, yang ditunjuk merawat menara telekomunikasi milik XL Axiata.
Lelaki berusia 35 tahun itu memastikan tidak ada gangguan pada perangkat telekomunikasi yang sudah terpasang di menara setinggi sekitar 15 meter. Menara telekomunikasi dengan empat kaki yang tengah ia periksa tersebut berdiri kokoh di atap gedung di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat. Secara total, puncak menara tersebut berada di ketinggian sekitar 45 meter.
Dengan sigap tetapi hati-hati, Jaka merayap naik dan turun untuk memeriksa belasan perangkat di menara itu. Jaka menyadari, aktivitas tersebut bukanlah yang teraman di antara banyaknya pilihan pekerjaan lain.
Di ketinggian, tantangan cuaca menanti. Panas terik kerap menyapa Jaka hingga mengundang keringat keluar dari sejukur tubuh. Jika cuaca mendadak hujan, hal tersebut berbahaya karena menara berubah menjadi licin. ”Kalau hujan, kami dilarang manjat, takut ada petir,” ujar Jaka.
Meski demikian, setiap tantangan yang dihadapinya di ketinggian sudah menjadi makanan sehari-hari yang ia nikmati. Kesempatan mengagumi lanskap Ibu Kota dari ketinggian menjadi bonus bagi Jaka dalam menjalani tugasnya.
”Tentara langit”
Sebelumnya, tak pernah terpikir oleh Jaka untuk bekerja di ketinggian. Jaka merupakan lulusan jurusan mekanik di salah satu SMK pada tahun 2000. Setelah dua tahun menganggur seusai lulus, dia bekerja serabutan di sejumlah tempat, di antaranya di pelabuhan.
Sejak 2008, dia mulai bergabung di sejumlah perusahaan rekanan PT Huawei sebagai pekerja harian lepas. Saat pertama masuk, ia bekerja sebagai vendor perangkat telekomunikasi. Dari pekerjaannya itu, ia pun mulai tahu akan keberadaan pekerjaan yang saat ini ia geluti. ”Waktu itu penasaran, akhirnya melamar sebagai MS (maintenance service) tahun 2014,” kata bapak tiga anak ini.
Arief Moelana, Koordinator Maintenance Service Area West Jakarta PT Adyawinsa, menjelaskan, saat ada penugasan memanjat menara telekomunikasi, harus ada dua petugas yang turun ke lapangan untuk saling menjaga. Satu memanjat menara, satu di bawah.
Petugas MS diharuskan memanjat ketika harus dilakukan saat pengecekan pada perangkat, sistem, antena, dan transmisi. Selain itu, MS berperan saat terjadi kerusakan pada perangkat di menara.
Jadwal pengecekan, lanjut Arief, dilakukan secara berkala, yakni satu bulanan, tiga bulanan, dan enam bulanan. Artinya, setiap petugas MS tidak diharuskan memanjat menara setiap hari, rata-rata hanya dua sampai tiga kali per bulan.
Meski demikian, mereka diwajibkan siaga memanjat menara seandainya terjadi kerusakan perangkat. ”Para petugas dikenal dengan sebutan tentara langit. Seperti tentara pada umumnya, mereka harus siaga. Siaga saat ada kerusakan di medan ketinggian,” tutur Arief.
Hendrik, Head of Telco Service Operation PT XL Axiata, memastikan, pekerja yang memelihara menara telekomunikasi base transceiver station (BTS) wajib memiliki sertifikasi sebagai dasar kompetensi.
Selain kemampuan, pekerja juga harus dibekali peralatan standar minimum untuk bekerja di ketinggian. Ini merupakan bagian dari standar keselamatan kerja yang diterapkan XL Axiata.
”Selain memelihara tower, mereka juga melakukan perbaikan saat ada kerusakan di menara. Tantangan terbesarnya tidak hanya memanjat menara, tetapi juga harus membawa beban berat yang diisi peralatan,” ujar Hendrik.
XL Axiata telah membangun setidaknya 101.000 menara BTS dengan tinggi 30-100 meter.
Sarono (20), pekerja akses tali dari PT Palmarum, sebuah perusahaan jasa kebersihan dinding dan kaca luar gedung, juga menghadapi tantangan serupa. Ia harus memiliki kompetensi untuk merayap gedung dengan cekatan sembari membawa alat-alat pembersih, seperti kain pel dan lap. Hampir setiap hari, Sarono menghampiri sudut-sudut luar gedung untuk dibersihkan.
Hampir setahun ini, Sarono rutin membersihkan bagian luar gedung L’Avenue di Jakarta Selatan. Pekerjaan tersebut ia lakukan bersama empat rekannya setiap Senin-Jumat pukul 08.00-16.00 serta Sabtu selama setengah hari. Dengan metode akses tali, mereka membersihkan bagian luar dari tiga gedung setinggi 29 lantai itu.
Sarono kenal dengan pekerjaan di ketinggian tanpa sengaja. Saat tiba di Ibu Kota pada akhir 2012, pekerjaan pertama yang ia lakoni adalah perawat kucing. Tak tanggung-tanggung, ia harus merawat 95 kucing milik seorang pengusaha.
Setelah setahun lebih bekerja sebagai perawat kucing, Sarono dikenalkan kepada salah satu pekerja di PT Palmarum oleh ayahnya. Dari situ, ia mulai mengenal pekerjaan di ketinggian menggunakan akses tali. Sarono pun banting setir dari pekerjaan awalnya. ”Pada dasarnya saya suka tantangan,” ujar lelaki asal Sragen, Jawa Tengah, ini.
Setiap gedung yang dibersihkan, ucap Sarono, memiliki kesulitan tersendiri dalam pengerjaannya. Apalagi setiap gedung memiliki arsitektur yang unik. L’Avenue, misalnya, memiliki satu bagian pada gedung yang menjorok ke dalam. ”Jadi saya harus kuat menahan perut dengan tali,” kata Sarono.
Yang menarik, menurut Sarono, adanya tantangan dalam bekerja di ketinggian membuat pekerja saling menjaga satu sama lain saat di lapangan. ”Buat saya yang berasal dari luar Jakarta, saya jadi menemukan keluarga baru untuk berkumpul bareng,” ucap Sarono.
Pendapatan pas-pasan
Bekerja di ketinggian dengan potensi risiko yang membayanginya tidak berarti membuat pendapatan ”tentara langit” ikut membubung tinggi. Jaka mengatakan, dalam menjalani tugasnya di ketinggian, ia mengantongi gaji dengan besaran UMR. Uang tambahan yang ia peroleh berasal dari dana operasional yang diberikan perusahaan setiap pekan.
Tak jauh beda dengan Jaka, Sarono juga memperoleh gaji yang bisa dibilang pas-pasan. Sama dengan petugas kebersihan yang bekerja di dalam gedung, Sarono memperoleh gaji tak jauh dari UMP DKI Jakarta ditambah insentif.
”Yang membedakan hanya dari segi insentif. Petugas kebersihan di dalam gedung tidak mendapat insentif,” ujar Agung Pratama, Manajer Operasional PT Palmarum.
Seorang pekerja ketinggian dengan sertifikat tenaga kerja pada ketinggian (TKPK) tingkat 1, lanjut Agung, memperoleh gaji Rp 4 juta-Rp 4,5 juta per bulan. Hal itu berlaku bagi pekerja pada proyek kontrak permanen seperti yang berlangsung dengan L’Avenue.
Dengan pendapatan pas-pasan tersebut, pekerja tetap menikmati berjibaku di ketinggian. Guna menambah penghasilan pekerja, pihak PT Palmarum membolehkan pekerjanya mengambil proyek pembersihan gedung lain di akhir pekan.