JAKARTA, KOMPAS — Hingga Sabtu (7/7/2018), tercatat sembilan permohonan sengketa hasil Pilkada 2018 yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Sembilan permohonan itu berasal dari lima kota, yakni Cirebon, Madiun, Gorontalo, Parepare, dan Tegal, serta tiga kabupaten, yaitu Bangkalan (dua permohonan), Biak Numfor, dan Bolaang Mongondow Utara.
Dari sembilan permohonan itu, hanya dua yang memenuhi syarat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyatakan, gugatan sengketa pilkada hanya bisa diajukan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2 persen. Dua daerah yang memenuhi syarat selisih suara ini adalah Kota Cirebon dan Kota Tegal.
Meski demikian, Ketua MK Anwar Usman menegaskan, semua permohonan sengketa ke MK akan tetap melewati tahapan registrasi, pemeriksaan pendahuluan, perbaikan permohonan, dan pemeriksaan para pihak.
Juru bicara MK, Fajar Laksono, menambahkan, meski tidak memenuhi batasan selisih 2 persen, permohonan sengketa pilkada tetap diperiksa oleh MK. ”Tidak berarti permohonan itu langsung ditolak karena MK juga memperhatikan substansi permohonan,” kata Fajar.
Cara pandang MK dalam menerapkan Pasal 158 UU Pilkada ini agak bergeser jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada Pilkada 2015, ketentuan di dalam Pasal 158 itu diterapkan dengan sangat ketat. Akibatnya, semua permohonan yang selisih suaranya lebih dari 2 persen langsung tidak diterima.
Pada Pilkada 2017, MK mulai memberi kesempatan lebih leluasa kepada pemohon sengketa. Sejumlah kasus tetap ditangani meski selisih suaranya lebih dari 2 persen. Saat itu, MK antara lain memberikan putusan untuk Kabupaten Intan Jaya, Yapen, dan Puncak Jaya di Papua meski selisih suara antarpasangan calon di daerah itu sangat jauh.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) Veri Junaidi mengatakan, pengajuan sengketa pilkada ke MK seharusnya tidak hanya didasarkan pada selisih suara.
”Dalam desain penegakan hukum pemilu, MK itu menjadi kanalisasi terhadap konflik. Jadi, jangan sampai terjadi konflik di daerah karena sebaiknya pertentangan itu diselesaikan di MK,” katanya.
Rekapitulasi 111 daerah
Dari total 171 daerah yang menggelar pilkada pada 27 Juni lalu, Komisi Pemilihan Umum telah menerima rekapitulasi perhitungan suara dari 111 daerah. Pasangan calon punya waktu tiga hari untuk mengajukan keberatan atas hasil rekapitulasi tersebut ke MK.
”Jika ada keberatan, penetapan pasangan calon terpilih akan menunggu putusan di MK. Jika hingga tiga hari setelah rekapitulasi tidak ada pengajuan sengketa, KPU akan menentukan pasangan calon terpilih,” kata Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Minggu (8/7/2018).
Salah satu daerah yang telah menyelesaikan rekapitulasi adalah Kota Makassar. Daerah itu adalah salah satu dari 16 daerah yang menggelar pilkada dengan kotak kosong karena hanya diikuti satu pasangan calon. Di Kota Makassar, kotak kosong mendapat 300.795 suara (53,23 persen), mengalahkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi yang meraih 264.245 suara (46,77 persen).
Terkait hal ini, pilkada akan digelar lagi di Makassar pada 2020, yang merupakan pilkada serentak berikutnya. Sebelum kepala daerah definitif hasil pilkada terpilih, Makassar akan dipimpin penjabat kepala daerah. ”Dalam peraturan perundang-undangan (penjabat) akan ditangani oleh Kemendagri,” kata komisioner KPU, Ilham Saputra.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, penjabat Wali Kota Makassar bisa dari tingkat provinsi atau pusat.
Hitung cepat
Dari hasil penghitungan KPU, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak unggul di Pilkada Jawa Timur dengan 10.465.218 suara (53,55 persen), mengalahkan pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang mendapat 9.076.014 suara (46,45 persen). Hasil penghitungan KPU ini berarti beda 0,19 persen dengan hasil hitung cepat Litbang Kompas.
Sementara itu, simpangan rata-rata hasil hitung cepat Litbang Kompas dengan hasil penghitungan KPU untuk Pilkada Jawa Tengah adalah 0,44 persen dan 0,40 persen untuk Pilkada Jawa Barat. (BOW/ODY/ETA/RTG/GRE/WHO/WSI/GAL/REK)