Finalis Olimpiade Sains Kuark 2018 diajak membuat proyek riset mini mengenai perubahan iklim. Cara ini bertujuan mengajak mereka mengenali dan mencari solusi mengenai persoalan lingkungan di sekitarnya.
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Siswa SD diajak untuk memahami perubahan iklim dan melakukan aksi yang didasari riset berlandaskan sains di babak Final Olimpiade Sains Kuark atau OSK 2018 di Tangerang Selatan mulai Sabtu (7/7/2018) hingga Minggu (8/7). Isu perubahan iklim yang menjadi tantangan global saat ini perlu didukung dengan aksi nyata perilaku hidup sehari-hari dan juga penguasaan sains untuk mencari solusi yang ramah lingkungan.
Sebanyak 300 siswa kelas I-VI SD/MI dari 128 kota/kabupaten tersaring menjadi finalis OSK 2018 dari sekitar 93.000 peserta. Penyelengaraan OSK yang memasuki tahun ke-12 ini untuk membangun kecintaan pada sains sejak dini.
Direktur PT Kuark Internasional Sanny Djohan mengatakan, siswa tidak sekadar datang untuk mengikuti babak finalis (ujian tulis dan eksperimen), namun diajak untuk membawa proyek riset mini mengenai perubahan iklim dengan tema "Aksiku untuk Bumiku".
Ada 83 anak dari seluruh finalis yang membuat riset soal perubahan iklim. Kegiatan ini untuk menginspirasi anak-anak Indonesia lainnya untuk berperan aktif menanggulangi dampak perubahan iklim di lingkungan.
"Kemauan dan semangat para finalis OSK 2018 untuk mempelajari isu-isu lingkungan yang terjadi di sekitar mereka serta melakukan studi untuk mencari pemecahannya sangat layak diapresiasi,"ujar Sanny.
Kreativitas bermunculan
Kreativitas siswa dalam mencari solusi praktis dalam upaya pengendalian perubahan iklim bermunculan. Ada riset mengenai energi alternatif ramah lingkungan dengan membuat briket dari limbah cangkang kelapa sawit maupun membuat bioetanol dari pisang. Upaya untuk memanfaatkan matahari dan angin sebagai energi alternatif juga muncul dalam beragam bentuk.
Yosefa Kristania Larasati, siswa kelas IV SD Wijaya Kusuma, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, mengatakan, dirinya tinggal di daerah perkebunan sawit. Dia melakukan riset untuk memanfaatkan cangkang kelapa sawit untuk menjadi briket. "Dari hasil briket cangkang kelapa sawit yang dibuat, ternyata kadar airnya rendah. Briket jadi mudah terbakar dan tahan lama, serta sedikit menghasilkan jelaga," kata Yosefa.
Sementara itu, Kenzi Gerrado, siswa Kelas II SD Cahaya Nur, di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, melakukan riset terhadap sampah plastik. Dari hasil surveinya di lingkungan sekolah dan pasar, ternyata jenis sampah plastik paling banyak ditemui.
"Saya dibantu ibu guru ke pasar untuk tanya ke pedagang. Mereka paling banyak menggunakan plastik untuk diberikan ke pembeli," kata Kenzi.
Dari temuan banyaknya sampah plastik, Kenzi menawarkan solusi yang sederhana. Dia mengkampanyakan "dibuang sayang" untuk sampah plastik.
"Kantong plastik kan bisa dipakai berulang. Pakai saja lagi plastik yang masih bagus di rumah jika mau belanja ke toko atau ke pasar. Ini solusi mudah untuk mengurangi jumlah sampah plastik terbuang," kata Kenzi.
Anak-anak bisa diajak untuk mengenali persoalan lingkungan sekaligus solusi yang dilakukan sejak dini.
Ketua Yayasan Peduli Bumi Bangsa Ananda Mustadjab Latif mengatakan, kreativitas siswa SD melalui Aksiku untuk Bumiku sebagai upaya mencari solusi praktis dalam pengendalian perubahan iklim ini bisa dicontoh. "Anak-anak bisa diajak untuk mengenali persoalan lingkungan sekaligus solusi yang dilakukan sejak dini, dimulai dari lingkungan rumah dan sekolah seperti yang dilakukan siswa SD yang jadi finalis OSK 2018," kata Ananda.
Dalam kunjungan finalis OSK 2018 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber daya Manusia Helmi Basalamah mengatakan, persoalan lingkungan dirasakan oleh semua kalangan umur, termasuk anak-anak sekolah. Perubahan iklim dapat mengganggu aktivitas anak-anak sekolah.
Helmi mengajak anak-anak untuk melakukan aksi cinta lingkungan yang dimulai dari diri sendiri. "Tadi kan dikasih thumbler atau botol minuman. Pakai saja untuk membawa minuman sehingga bisa mengurangi sampah plastik yang jumlahnya sudah sangat banyak," kata Helmi.