Asian Games tahun 1962 di Jakarta meninggalkan sejumlah ikon kota. Penanda-penanda kota menjadi saksi perubahan zaman pada masa peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang berbeda haluan politik.
Jejak Asian Games Ke-4 itu ditandai dengan kehadiran sarana transportasi bemo (Daihatsu Midget) yang beberapa tahun lalu masih terlihat di Cengkareng, Jakarta Barat, dan Pejompongan, Jakarta Pusat. Bemo hadir bersama mobil mini Mazda B 500—lazim disebut Mazda Kotak Sabun—untuk mendukung pelaksanaan Asian Games.
Kehadiran bemo ditandai dengan bengkel-bengkel di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Bemo menjadi angkutan rakyat jarak pendek selepas masa jayanya tahun 1960-an. Asian Games 1962 juga mendorong hadirnya taksi gelap tanpa argo. Kehadiran angkutan ini menjadi cikal bakal taksi modern dan angkutan umum dengan penyejuk udara.
Sejarawan Firman Lubis (almarhum), penulis seri buku sejarah Jakarta tahun 1940-an hingga 1970-an, merekam perubahan Jakarta semasa persiapan hingga saat Asian Games digelar. Firman ketika masih hidup mengatakan, perubahan menjelang Asian Games juga ditandai dengan pemindahan perkampungan warga di Senayan ke Tebet, Jakarta Selatan.
Dalam bukunya, Jakarta 1960-an Kenangan Semasa Mahasiswa, Firman mencatat rencana pembangunan perumahan rakyat di Pulomas, Jakarta Timur, yang mendapat dukungan Pemerintah Kerajaan Denmark. Rencana pembangunan Pulomas itu sejalan outline plan Jakarta tahun 1957 yang dijalankan tahun 1960-1963.
Terkait program itu, pemerintah menyiapkan lahan 270 hektar di Pulomas berdaya tampung 20.000-50.000 masyarakat miskin kota. Pada perjalanannya, daerah itu menjadi hunian kelas menengah Jakarta. Sejumlah pesohor kerap berkumpul dan beraktivitas di Kayu Putih, salah satu wilayah Pulomas.
Pengembangan kawasan ini mendapat bantuan Pemerintah Uni Soviet sejalan dengan pembangunan Jalan By Pass menuju ke tempat itu. Mantan Atase Kebudayaan Rusia di Jakarta, Yuri Zozulya, mengatakan bantuan itu sebagai bentuk hubungan baik Indonesia-Soviet pada era 1960-an.
Tidak hanya jalan akses itu, pembangunan Gelora Bung Karno (GBK) pun tidak lepas dari bantuan Uni Soviet. ”Stadion GBK itu mirip Stadion Luzhniki di Moskwa (salah satu stadion Piala Dunia 2018 Rusia). Teknologi yang digunakan pada 1960-an itu termasuk termodern di masanya,” kata Zozulya.
Asian Games 1961 juga mendorong dibangunnya Tugu Selamat Datang yang sketsanya dibuat seniman Henk Ngantung dengan pimpinan proyek seniman Trubus. Hingga kini, tugu itu masih kokoh berdiri di jantung Ibu Kota.
Pembangunan gedung
Perhelatan olahraga terbesar se-Asia itu juga melahirkan sejumlah gedung yang masih lestari hingga kini. Salah satunya adalah Hotel Indonesia yang sekarang dikenal sebagai Hotel Indonesia Kempinski. Benda cagar budaya ini dibangun dengan dana pampasan perang dari Jepang sebagai ganti rugi masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945.
Tidak hanya itu, pemerintah juga membangun pusat perbelanjaan Sarinah yang menjadi simbol bahwa Indonesia memasuki era perdagangan modern. Cetak biru pengembangan kawasan sudah ada di kala itu, seharusnya cita-cita itu dapat ditangkap sebagai pijakan pembenahan Ibu Kota.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.