Pendaftaran Siswa Baru Sarat Manipulasi
Kuota siswa miskin dimanfaatkan oleh kalangan yang sebenarnya tidak miskin. Modusnya, mereka mengurus surat tidak mampu di kantor kelurahan/desa.
JAKARTA, KOMPAS — Proses penerimaan siswa baru jenjang SMA/sederajat di sejumlah daerah diwarnai manipulasi data. Sebanyak 500 siswa yang sudah diterima sejumlah SMA di Jawa Tengah didiskualifikasi karena menyalahgunakan surat keterangan tidak mampu. Dugaan serupa merebak di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kepala Balai Pengendalian Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah Jasman Indratmo, Senin (9/7/2018), mengatakan, sesuai Peraturan Mendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), setiap sekolah mesti menerapkan sistem zonasi dan menerima minimal 20 persen siswa miskin dari total murid baru.
”Setiap SMA setidaknya menerima peserta didik baru berkisar 400-500 siswa. Artinya ada kuota sekitar 100 siswa miskin. Jadi, meski menggunakan sistem zonasi, SKTM menjadi momok bagi pihak sekolah karena banyak terjadi manipulasi,” ujarnya.
Pada penerimaan siswa baru, ternyata kuota siswa miskin banyak dimanfaatkan oleh kalangan yang sebenarnya tidak miskin. Modusnya, mereka mengurus surat tidak mampu di kantor kelurahan.
Menurut dia, penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi dimulai 2018 dengan tujuan pemerataan kualitas sekolah. Tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit dengan nonfavorit. Selain itu, persebaran siswa juga bisa merata.
Namun, dampaknya, persaingan masuk ke beberapa sekolah yang terlanjur dilabeli favorit menjadi semakin ketat. Sebagian orangtua akhirnya memaksakan anaknya masuk sekolah tersebut menggunakan SKTM meskipun mereka tergolong mampu.
Padahal, kuota yang tersedia di semua SMA se-Jawa Tengah lebih dari 113.325 siswa, sedangkan jumlah lulusan siswa SMP hanya 113.092 siswa. Dari jumlah itu, siswa yang membawa SKTM sekitar 62.000 orang dan yang diterima sekitar 26.617 siswa. Selebihnya masih dalam proses seleksi hingga 11 Juli.
Kepala SMA Negeri 5 Semarang Titi Priyatiningsih mengatakan, begitu ada kabar sistem zonasi diberlakukan, pihaknya telah melakukan sosialisasi pada siswa lulusan SMP yang berjumlah 800 siswa di lingkungan sekolah. Saat proses PPDB di SMA Negeri 5 dibuka, terdapat 90 siswa membawa SKTM. Dari jumlah itu, 40 siswa terpaksa ditolak karena berdasarkan pengecekan ulang, keluarga mereka tergolong mampu.
”Sekolah telah membentuk tim untuk mengecek langsung ke rumah dan kondisi orangtua siswa yang membawa SKTM. Pengecekan itu dilakukan satu per satu supaya panitia memperoleh data yang akurat mengenai kondisi siswa sebenarnya. Jangan sampai ada siswa bawa SKTM, tetapi ternyata di rumahnya ada mobil,” ujar Titi.
Manipulasi data
Di DIY, dugaan manipulasi data merupakan temuan Sekretariat Bersama Pos Pengaduan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DIY. Forum ini merupakan gabungan sejumlah lembaga, yakni Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY, Lembaga Ombudsman DIY, dan Forum Pemantau Independen (Forpi).
”Ada dugaan manipulasi data dan informasi dalam pendaftaran dengan SKTM (surat keterangan tidak mampu),” kata Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masthuri kepada pers, Senin (9/7).
Proses PPDB untuk SMA/ SMK di DIY telah berlangsung pada 3-5 Juli lalu. Berdasarkan data Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, PPDB diikuti 69 SMA Negeri dan 46 SMK Negeri di DIY dengan total daya tampung 27.808 siswa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB, SMA/SMK Negeri wajib menerima peserta didik baru dari keluarga tidak mampu dengan jumlah paling sedikit 20 persen dari total peserta didik yang diterima. Aturan ini menimbulkan persepsi bahwa calon siswa pemegang SKTM akan lebih mudah diterima di SMA/SMK Negeri.
Budhi menjelaskan, Sekretariat Bersama Pos Pengaduan PPDB DIY menerima sedikitnya tiga laporan tentang dugaan manipulasi data SKTM. Tiga laporan itu menyebut adanya calon siswa dari keluarga mampu yang mengikuti PPDB dengan menyertakan SKTM dan berhasil diterima di SMA Negeri di DIY. Dari tiga kasus itu, satu terjadi di Kabupaten Bantul, DIY, sementara dua kasus lainnya terjadi di Kota Yogyakarta.
Secara terpisah, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyatakan, salah satu kendala dalam penerapan PPDB dengan sistem zonasi adalah ketika tidak semua wilayah/kecamatan memiliki sekolah. Akibatnya, masyarakat harus mencari sekolah di wilayah lain meski akhirnya harus tersingkir ke luar zonasi yang ditentukan. ”Masalah itu ada, seperti di Kecamatan Bandung Kulon sampai saat ini tidak ada SMA negeri,” katanya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Retno Listyarti, menyatakan akan mempelajari data dan pengaduan yang masuk terkait kebijakan zonasi penerimaan siswa baru.
Belum mulus
Kebijakan zonasi dalam pendaftaran siswa baru dengan mengacu pada jarak rumah siswa ke sekolah dinilai belum juga berjalan mulus. Bukan hanya soal jumlah sekolah negeri di suatu wilayah yang tidak cukup sehingga berpotensi menghilngkan kesempatan anak bersekolah di sekolah negeri. Pemerataan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah negeri jug masih belum terjadi.
"Masih sulit menghapus predikat sekolah favorit. Padahal, zonasi bermksud memeratakan kualitas pendidikan. Karena itu, komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin sekolah negeri memenui standar nasional pendidikan harus diwujudkan," kata Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di Jakarta, Senin (9/7).
Retno mengatakan KPAI melihat banyak sekolah negeri yang tidak memiliki sarana prasarana memadai. Kondisi ini menyulitkan untuk menghapus predikat sekolah favorit dan unggulan jika pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak memeratakan sarana prasarana yang sama di setiap sekolah sesuai standar sarana prasarana dalam standar nasional pendidikan.
Retno mengatakan KPAI akan mempelajari data-data dan pengaduan yang masuk terkait kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan siswa baru. "Hasil analisis akan disampaikan ke Kemdikbud untuk pembenahan dan perbaikan tahun depan," ujar Retno.
Retno mengatakan pada pekan lalu KPAI menerima kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan muhadjir Effendy. Kehadiran Mendikbud dan rombongan yang mendiskusikan tentang pendidikan disambut Ketua KPAI Susanto dan komisioner KPAI.
Dalam pertemuan KPAI dan Mendikbud dibahas berbagai topik, seperti sekolah aman, sekolah inklusi, sekolah ramah anak, pendidikan berbasis keluarga, pendidikan anak usia dini, hingga sarapan sehat. Mendikbud sempat menyampaikan kepada KPAI tentang niat baik pembenahan pendidikan, salah satunya melalui kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan siswa baru untuk menghilangkan predikat sekolah favorit dan unggulan.
“KPAI mendukung kebijakan zonasi, karena mendekatkan anak-anak dari rumah ke sekolah. Selain itu, dapat mengurangi faktor resiko ketika anak harus bersekolah jauh, dan meminimalkan tawuran pelajar karena teman sekolahnya adalah teman bermainnya. Anak-anak juga bisa jalan kaki atau naik sepeda ke sekolah, sehingga hemat energi dan juga sehat untuk tumbuh kembang anak,” ujar Retno.
Sistem zonasi jadi harapan untuk perubahan agar tidak ada lagi kastanisasi sekolah. Karena itu, kebijakan zonasi sekolah harus diikuti dengan program riil lainnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Pusat Muhammad Ramli Rahim mengatakan puluhan tahun lamanya pemerintah telah membentuk kasta-kasta sekolah sehingga lahirlah istilah sekolah unggulan, sekolah andalan, sekolah teladan, sekolah percontohan, sekolah khusus hingga sekolah berstandar nasional dan sekolah berstandar internasional. Kenyataannya di lapangan, kasta-kasta sekolah ini lebih banyak memberi dampak negatif dibanding dampak positifnya. Jika kasta-kasta sekolah ini dipertahankan maka mimpi “pendidikan merata dan berkualitas” tetap hanya menjadi mimpi.
"Sistem zonasi jadi harapan untuk perubahan agar tidak ada lagi kastanisasi sekolah. Karena itu, kebijakan zonasi sekolah harus diikuti dengan program riil lainnya," ujar Ramli.
Ketimpangan mutu pendidikan selama ini masih terjadi. Hal ini karena fasilitas sekolah sudah terlanjur tidak merata. Demikian pula kualitas guru. Bahkan, ada sekolah yang menjadi “sekolah pembuangan guru”.
Persoalan lainn, yakni tidak semua kecamatan memiliki sekolah tetapi banyak kecamatan yang punya banyak sekolah. Banyak daerah yang penduduknya banyak, sekolahnya tak ada, tetapi banyak daerah yang sekolahnya banyak tetapi penduduknya sedikit.
"Pemerintah perlu menyikapi hal ini agar terjadi pemerataan. Kita berharap dengan penegasan sistem zonasi sekolah ini, pemerintah daerah semakin fokus membuat pemerataan kualitas dan kuantitas sekolah," ujar Ramli.
(WHO/HRS/SEM)