JAKARTA, KOMPAS- Konflik di Maluku dan Maluku Utara menjadi salah satu pengalaman pahit kelam bangsa Indonesia akibat agama dijadikan kambing hitam penyebab konflik. Padahal, konflik yang terjadi bukan disebabkan oleh faktor agama melainkan dipicu ketidakadilan pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi dan politik bagi rakyat di kedua provinsi tersebut.
Oleh karena itu, saat berbicara di Sarasehan Nasional ”Belajar dari Resolusi Konflik dan Damai Maluku untuk Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur” di Jakarta, Selasa (10/7/2018), Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah perlu lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat, jangan sampai adanya kesenjangan antara daerah agar daerah tak mudah digoyahkan isu-isu sensitif, termasuk soal agama. ”Ketika agama dijadikan pemacunya, cepat sekali konflik itu meluas. Padahal, penyebabnya bukan agama, cuma agama dibawa ke konflik. Dan, agama tak pernah mengajarkan perpecahan, melainkan perdamaian,” tutur Kalla.
Konflik Maluku dan Maluku Utara tercatat sebagai salah satu dari 15 konflik besar di Indonesia. Konflik besar lainnya ada di Poso (Sulawesi Tengah), Aceh, Kalimantan, dan Madiun (Jawa Timur). Penandatanganan Persetujuan Malino II pada 13 Februari 2002 mengakhiri konflik secara menyeluruh.
Sebagai penggagas perdamaian konflik di Maluku dan Maluku Utara, Kalla mengingatkan agar ketidakadilan ekonomi dan politik jangan sampai terulang kembali di Maluku dan Maluku Utara serta daerah-daerah lainnya, yang akhirnya mengabaikan kesejahteraan rakyat. ”Kebijakan ekonomi dan politik harus memberikan rasa adil dan transparan ke masyarakat. Itu yang harus jadi pokok sehingga tercapainya kedamaian di daerah,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo menambahkan, perdamaian memang mudah dicapai. Namun, merawat perdamaian itu justru sulit. ”Merawat ini butuh waktu dan perhatian yang serius. Suatu perdamaian tanpa dirawat dengan baik, akan muncul (konflik) lagi,” ujar Doni.
Selanjutnya, dalam sarasehan, yang menghadirkan sejumlah tokoh agama dan masyarakat di Maluku dan Maluku Utara, disimpulkan bahwa agama menjadi faktor penting menjaga dan merawat persaudaraan setelah konflik 1999. Kesejahteraan juga solusi mencapai perdamaian jangka panjang.
Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku Pendeta Jhon Chr Ruhulessin mengatakan, perdamaian Maluku bukan insidentil, melainkan permanen. Hal senada juga disampaikan Ketua I Majelis Ulama Indonesia Maluku Abidin Wakano. ”Akar budaya masyarakat Maluku adalah budaya toleran,” ujarnya.