Komunikasi politik yang mengandung ujaran kebencian, penghinaan, dan penonjolan identitas sektarian selama tahun politik bisa berbahaya bagi keutuhan NKRI. Untuk itu, semua pihak diminta untuk memperbaiki hal ini.
JAKARTA, KOMPAS - Para pemuka agama menilai persaingan politik yang berisi komunikasi dialektik dengan menggunakan ujaran kebencian, penghinaan, dan penonjolan identitas sektarian berpotensi mengganggu kerukunan serta persatuan kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, semua unsur bangsa diharapkan bisa menjunjung tinggi nilai-nilai keberadaban.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjelaskan, kontestasi politik pada Pilkada 2018 dan menjelang Pemilu 2019 penuh dengan dialog dialektik yang berisi ujaran kebencian, penghinaan terhadap sesama, dan memperkuat identitas kelompok. Hal itu berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bangsa serta menurunkan kualitas demokrasi.
Din menambahkan, bangsa Indonesia harus mampu mewujudkan Pemilu 2019 berkualitas. Sebab, pemilu sudah jadi hal rutin lima tahunan bagi kehidupan demokrasi di negeri ini. Atas dasar itu, peran setiap elemen bangsa, mulai dari peserta pemilu hingga pemilih, harus merujuk perbaikan kualitas demokrasi dengan meniadakan kampanye ujaran kebencian. ”Sejatinya demokrasi adalah jalan beradab menyelesaikan masalah, termasuk mencari pemimpin. Karena itu, jangan menjadikan pesta demokrasi untuk memecah belah bangsa,” ujar Din setelah bertemu sejumlah pemuka agama, Selasa (10/7/2018), di Jakarta.
Selain Din, hadir pula Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Henrek Lokra, Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Agus Ulahayanan, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Perhimpunan Majelis Agama Buddha Indonesia Arief Harsono, dan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Uung Sendana.
Berpotensi memecah
Uung menilai, sebaran ujaran kebencian di media sosial yang kelewat batas dapat menimbulkan perpecahan jika terus dibiarkan. Penggunaan istilah-istilah yang mendegradasi nilai kemanusiaan, menunjukkan kurangnya penghargaan hakikat manusia. ”Kita manusia adalah makhluk termulia, jadi tak sebaiknya kita mendegradasikan kemuliaan kita,” ujar Uung.
Menurut Agus, Pemilu 2019 merupakan salah satu agenda politik yang harus bermartabat. Oleh karena itu, persaingan politik harus berlandaskan tiga nilai bangsa, yaitu adat, agama, dan kenegaraan. ”Aktivitas politik bukan arena pertandingan untuk menyingkirkan, tetapi mencari pemimpin terbaik. Jadi, orientasinya membandingkan kualitas diri calon pemimpin, bukan saling menjelekkan untuk menang,” ujar Agus.
Guru Besar UIN Jakarta Kommaruddin Hidayat mengingatkan pentingnya edukasi publik agar masyarakat tak mudah dipengaruhi isu-isu negatif termasuk penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pada pilkada lalu, isu itu digunakan sejumlah calon untuk menjatuhkan lawan politik. Penggunaan isu SARA menunjukkan lemahnya etika publik.
Memilih dengan benar
Di hadapan ribuan santri dan ulama muda saat halalbihalal dan silaturahim nasional ulama muda Indonesia di Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/7), Presiden Joko Widodo berharap para ulama dapat mengajak masyarakat memilih pemimpin dengan benar. Rekam jejak dan prestasi sesuai fakta dan informasi yang benar adalah dasar memilih. Tak semestinya pilihan politik memecah-belah bangsa.
Sebelumnya, para ulama muda yang tergabung dalam Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi) mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi untuk kembali memimpin Indonesia periode 2019-2024. Deklarasi yang dibacakan Sekretaris Jenderal Samawi Aminuddin Ma’ruf dan diikuti peserta lainnya ditegaskan kesiapsediaan jadi motor penggerak Islam rahmatan lil alamin, garda terdepan Pancasila dan NKRI, selain memenangkan Jokowi sebagai Presiden 2019-2024.