PALANGKARAYA, KOMPAS — Peran kesatuan pengelolaan hutan dalam pemanfaatan ekosistem hutan secara berkelanjutan perlu dioptimalkan. Sebagai pelaksana pengelolaan tingkat tapak, kiprah kesatuan pengelolaan hutan jadi penentu keberhasilan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Hal itu terungkap dalam lokakarya yang bertajuk ”Peluang dan Tantangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kalimantan Tengah” yang diselenggarakan oleh Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Program Lestari di Palangkaraya pada 4-5 Juli 2018.
Guru Besar Departemen Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Didik Suharjito mengatakan, KPH sebagai pelaksana pengelolaan hutan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pelayan publik sekaligus pelaku bisnis. Ketimpangan antara keduanya membuat fungsi KPH tidak berjalan optimal.
”KPH harus bisa menjadi organisasi bisnis yang mandiri dan produktif dengan tetap peduli pada keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat lokal,” kata Didik saat pemaparannya di Palangkaraya, Rabu (4/7/2018).
Semua pemegang izin itu berada di dalam kawasan KPH sehingga sinerginya jelas.
Di Kalimantan Tengah terdapat 18 Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kehutanan dan 33 KPH yang meliputi 8,5 juta hektar (ha) kawasan. Sebagian besar kawasan dimiliki oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI).
Itu seperti di KPH Katingan Hulu Unit XVII yang memiliki luas 672.926, 93 ha, dengan rincian hutan produksi terbatas 347.345 ha, hutan produksi 277.735,91 ha, dan hutan lindung 49.486,72 ha. Baik hutan produksi maupun hutan produksi terbatas dikuasai pemegang izin HPH dan HTI.
Kepala KPH Katingan Hulu Unit XVII Kristianto mengatakan, masih belum banyak kelompok-kelompok tani maupun lembaga desa yang memanfaatkan potensi sisa wilayah tadi. Salah satu kendalanya juga keterbatasan SDM.
”Pola pikir administratif birokrasi susah diubah, karena kami ini juga aparatur sipil negara (ASN), jadi kadang kalau pengajuan itu lama sekali,” kata Kristianto.
Kristianto mengatakan, rotan menjadi salah satu komoditas unggulan yang belum dioptimalkan. Penelitian LIPI dan Kebun Raya Bogor bekerja sama dengan WWF Indonesia tahun 2012, ada 105 jenis rotan di Kabupaten Katingan dengan 67 spesies yang teridentifikasi. Sisanya belum teridentifikasi.
Pantauan Kompas tahun lalu di Hampangen, Katingan, banyak petani rotan enggan memanen karena harganya terlampau murah, yakni Rp 1.200 per kilogram. Akhirnya, potensi 30.126 ha rotan belum dipanen (Kompas, Senin, 7 Agustus 2017).
Di sisi yang sama, pemerintah daerah masih banyak berharap pada investasi-investasi besar. Dalam waktu dekat, pemerintah akan menggunakan 300.000 ha lahan di KPH untuk membuat food estate untuk ketahanan pangan masyarakat Kalteng.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sri Suwanto. Ia mengatakan kalau dirinya baru saja memberikan presentasi untuk para pengusaha asal Jordania dan India. Food estate menjadi prioritas pemerintah daerah saat ini untuk mengembangkan komoditas padi, jagung, bawang, dan lain sebagainya.
”KPH itu, kan, fungsinya ada dua, yakni bisnis dan public service. Kalau untuk pemasukan daerah, saya lebih utamakan bisnisnya dulu. Jadi, kapasitas bisnis SDM harus terus diasah,” kata Sri.
Sinergitas
Dengan peran dan kawasan yang besar, KPH kemudian diinklusifkan dalam kerangka tata kelola perhutanan sosial. Di Kalteng, dari target 1,5 juta ha perhutanan sosial baru terbentuk 121.112 ha, dengan total 68 pemegang izin. Rinciannya, hutan desa 23 izin, hutan kemasyarakatan 16 izin, hutan tanaman rakyat 29 izin. Adapun hutan adat dan kemitraan kehutanan belum ada.
”Semua pemegang izin itu berada di dalam kawasan KPH sehingga sinerginya jelas. Hanya saja koordinasi dan sosialisasi belum optimal, masih banyak yang belum memahami perhutanan sosial,” kata Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ikhtisan.
Dari sekian banyak rencana pemerintah, Project Manager Lestari Kalteng Rosenda Chandra Kasih mengingatkan bahwa keberadaan KPH bertujuan untuk menjaga kawasan hutan dan melindunginya. Oleh karena itu, pemetaan atau zonasi pemanfaatan wilayah harus sejalan dengan tujuan tersebut.
”Kami sudah membantu 11 KPH dari 33 KPH dalam pembuatan perencanaan dan memetakan potensi di masing-masing wilayah untuk memenuhi fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi yang berkelanjutan,” kata Rosenda.
Menurut Rosenda, KPH menjadi garda paling depan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat demi kesejahteraan masyarakat.