Pemerintah Tak Pernah Belajar dari Pengalaman
Musibah sektor transportasi laut dan perairan lainnya selama masa mudik Lebaran 2018 cukup memprihatinkan. Terkini adalah kasus tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba dalam perjalanan dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir, ke Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, pada 18 Juni lalu, dan kandasnya KM Lestari Maju di perairan Selayar, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada Selasa (3/7/2018).
Paling tidak 160 jiwa hilang di dasar danau sedalam sekitar 600 meter akibat tenggelamnya KM Sinar Bangun dan 36 penumpang KM Lestari Maju meninggal akibat kecelakaan tersebut.
Sejak kawasan Danau Toba ditetapkan menjadi 10 daerah tujuan wisata baru, seharusnya memberi harapan bagi pengusaha kapal motor di Danau Toba untuk berkembang. Sayangnya, kata pakar transportasi Unika Soegijapranoto, Djoko Setijowarno, pembenahan transportasi belum banyak dilakukan.
Kasus tragedi KM Sinar Bangun di Danu Toba, hanyalah salah satu bukti bagaimana pemerintah pusat ataupun pemerintah kota dan kabupaten abai. Salah satu sebab karena angkutan sungai dan danau saat ini lebih banyak dikelola oleh pemerintah daerah.
Ironinya, pemda belum serius menata transportasi di daerahnya padahal itu salah satu transportasi yang sangat penting bagi perekonomian mereka, khusus daerah kepulauan atau terluar. Pemda lebih sibuk mengurus dan peduli dengan target pendapatan asli daerah (PAD) daripada mengurus usaha angkutan perairan.
”Hal ini yang saya katakan abai. Sebab, standar keselamatan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan telah diatur dalam PM 25 Tahun 2015. Tegas itu aturannya ada,” kata Djoko.
Dalam PM tersebut ditegaskan soal tata kelola sumber daya manusia, khususnya untuk pengelola pelabuhan, awak angkutan, dan pengawas alur. Selain itu, juga diatur secara pasti soal aturan sarana pada kapal, alur sungai dan pelabuhan.
Intervensi pusat
Melihat fakta yang terjadi pada beberapa kasus kecelakaan tersebut, kata Djoko, tidak ada cara lain kecuali intervensi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Sebab, melihat kemampuan APBD maupun SDM yang ada sekarang ini sangat lemah.
Anggaran sangat minim dan melupakan pembinaan SDM dan sosialisasi regulasi yang sudah dibuat. Pengawasan pelaksanaan standar pelayanan minimum belum dilakukan secara rutin dan berkala. Pemda sendiri umumnya selama ini hanya melirik sektor pendapatan dari retribusi dan belum menyentuh aspek pelayanan, keselamatan, dan pembinaan SDM. Sebab, anggaran buat dinas perhubungan rata-rata kurang dari 2 persen dari total APBD.
Melihat realitas itu, intervensi sangat dimungkinkan karena saat ini sudah ada Badan Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di setiap provinsi. Badan ini, kata Djoko, dapat membantu untuk mendata ulang keseluruhan SDM, sarana, dan kondisi lingkungan se-Indonesia.
Jika hal ini telah dilakukan, baru melakukan pemetaan, penganggaran, target, dan penjadwalan aksi. Peningkatan kualitas SDM ini sangat penting untuk menambah wawasan tentang kelola transportasi perairan yang lebih profesional.
Banyak contoh yang bisa dilakukan dengan cara meniru pola pengelolaan transportasi udara dan perkeretaapian yang sudah lebih dulu berbenah. Hasilnya terbukti bagus, sedangkan sektor transportasi laut ataupun danau tetap saja marginal.
Upaya yang dilakukan pemerintah dengan pembangunan fisik, seperti dermaga, pelabuhan penyeberangan, subsidi kapal penyeberangan perintis, dan bantuan pemberian sarana kapal ada. Namun, hasilnya tetap terasa sangat jauh dari harapan.
”Padahal, keselamatan bukan sekadar ucapan, melainkan harus menjadi kebutuhan. Keselamatan adalah hal yang paling utama dalam penyelenggaraan transportasi,” kata Djoko.
Persoalan itu, menurut Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit, memang tidak mudah. Menangani soal pelayaran rakyat yang merupakan urat nadi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk kawasan pesisir, perlu langkah-langkah yang sinergi.
Sebab, praktik di lapangan, pelayaran rakyat ini tidak dibedakan apakah itu untuk angkutan orang ataupun barang yang diangkut. Selain itu, pelayaran rakyat ini dilakukan oleh usaha perorangan yang menyebabkan pelayaran rakyat ini memiliki kompleksitas persoalan yang tinggi karena berkaitan dengan berbagai regulasi yang harus dipatuhi.
Tak punya modal
Lati, nakhoda KM Nur Safira, di Pelabuhan Batumerah, Kota Ambon, yang ditemui beberapa waktu lalu, menilai seharusnya pemerintah belajar dan membuat kebijakan dari pengalaman kejadian sebelumnya. Kecelakaan itu selalu terulang karena pelayaran rakyat ini dibiarkan hidup sendiri dan dengan modal perorangan.
Ia mengaku pernah punya pengalaman nekat melaut dengan kapal berbobot 29 gros ton (GT) berkapasitas penumpang 50 orang yang melayani rute Ambon ke sejumlah desa di Pulau Obi, Maluku Utara, meski gelombang tinggi.
Ia hanya punya keyakinan, perjalanan akan lancar. Kalaupun dalam pelayaran kapal oleng dan penumpang panik, biasanya nakhoda berbekal pengalaman akan membawa kapal dan berlindung di pulau terdekat. Biasanya pada saat-saat mencekam seperti itu mereka hanya bisa pasrah.
”Kami tak boleh jera. Kami terpaksa harus melaut karena memang transportasi yang melayani kepulauan jumlahnya terbatas. Kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan atau melakukan perjalanan antarpulau atau keluar,” katanya.
Mereka tak punya pilihan meski miskin peralatan keamanan kapal. Hal itu hampir terjadi di semua kapal yang berlabuh di Pelabuhan Batumerah. Mereka tidak punya modal yang cukup untuk membeli berbagai peralatan keselamatan, termasuk baju pelampung.
Bayangkan, dari mana modal para pemilik kapal maupun nakhoda yang hidupnya hanya dari penghasilan jumlah penumpang dengan tarif kecil untuk membeli pelampung. Harga baju pelampung saat ini berkisar Rp 60.000-Rp 100.000 per buah.
”Modal siapa untuk bisa beli peralatan itu. Kalaupun ada, jarang dipakai dan mungkin malah hilang diambil penumpang. Lagi pula enggak usah khawatir karena sebelum berangkat, jarang ada petugas yang datang memeriksa dengan detail kondisi kapal, mesin, dan alat-alat keselamatan. Petugas percaya saja pada laporan kita,” kata Lati.
Oleh sebab itu, tidak heran meski kapasitas kapal itu hanya sekitar 50 orang, tak sedikit mereka berani mengangkut lebih dari kapasitas. Sebab, masyarakat butuh angkutan dan tidak setiap saat ada kapal motor. Jadi, semuanya ini serba terpaksa dan masyarakat membutuhkan transportasi air tersebut.
Memang benar tak ada pilihan, kata Mery Uktolseja, petugas di Pelabuhan Batumerah, Ambon, setiap kali berdiskusi dengan Kompas. Berdasarkan data petugas, dari sekitar 30 kapal pelayaran rakyat yang ada di pelabuhan, umumnya belum dilengkapi baju pelampung. Penghasilan kapal berdasarkan banyaknya angkutan dan angkutan menentukan jadwal kapal. Setelah angkutan penuh, kapal baru bisa diberangkatkan.
”Memang dilema karena sejauh ini memang belum ada dukungan pemerintah yang memadai untuk pelayaran rakyat di Maluku. Tidak ada pemberian subsidi bahan bakar atau bantuan berupa alat keselamatan,” kaya Mery.
Padahal, pelayaran rakyat menjadi urat nadi perekonomian di daerah kepulauan. Bantuan yang diberikan pemerintah masih sebatas untuk kapal-kapal perintis yang hanya menyinggahi sebagian kecil wilayah yang memiliki pelabuhan. Kapal pelayaran rakyat melayani hampir semua desa di pesisir pulau terpencil. Urat nadi ekonomi yang terabaikan dan terus mendulang bencana dengan persoalan yang terus sama dengan kasu-kasus yang sebelumnya.