BANDUNG, KOMPAS - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi momentum besar untuk meningkatkan nilai ekspor sektor riil, terutama mebel dan furnitur nasional. Namun, jika pemerintah tidak jeli dan masih berkutat dengan persoalan tata niaga bahan baku dan tata kelola mebel, peluang besar itu rentan menjadi bumerang bagi masa depan dunia usaha padat karya Indonesia.
Berdasarkan data Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), AS dan China adalah raksasa bisnis mebel dunia. Sementara Indonesia, kata Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur, kini berada pada peringkat ke-17 dari 20 besar negara produsen mebel dan furnitur dunia.
Menurut Sobur, Indonesia bisa mengisi ceruk pasar besar yang ditinggalkan perang dagang. Namun, peluang itu tidak bisa dimanfaatkan begitu saja. Salah satu caranya adalah tetap meyakinkan AS untuk menerima produk mebel asal Indonesia.
”AS kini tengah mengevaluasi penerapan kebijakan Generalized System of Preferences (GSP) yang berpotensi menyulitkan ekspor mebel. Padahal, AS adalah negara tujuan ekspor terbesar mebel dari Indonesia. Nilainya mencapai 700 juta dollar AS,” katanya di Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/7/2018).
GSP adalah kebijakan perdagangan berupa potongan bea masuk produk ekspor dari negara berkembang. AS memberikan potongan tarif bea masuk sekitar 3.500 produk Indonesia, antara lain agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Selain dari AS, Indonesia juga mendapat GSP dari Uni Eropa dan Australia.
Tantangan menarik
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah HIMKI Jawa Timur Peter A Tjoei meyakini, perang dagang akan menjadi tantangan menarik bagi Indonesia. Akibat perang dagang, bea masuk produk mebel China dan olahannya ke pasar AS dikenai tarif hingga 25 persen sehingga harga produknya lebih mahal.
Akan tetapi, jika tidak cerdas menyikapinya, besar kemungkinan kinerja ekspor mebel dan kerajinan akan semakin melorot akibat penurunan daya saing sehingga kehilangan calon pembeli dan pesanan yang sudah di tangan.
Ekspor mebel nasional tak pernah melampaui capaian 2015 sebesar 1,93 miliar dollar AS. Setelah melorot hingga 300 juta dollar AS pada 2016, nilai ekspor Indonesia sulit meningkat.
”Fenomena ini jadi momentum untuk mengambil pasar yang hilang. Kalau jeli, kita pasti punya peluang pasar ekspor lebih besar dari sebelumnya,” kata Sobur.
Akan tetapi, ia berharap pemerintah tak sekadar meningkatkan daya tawar. Perbaikan tata kelola mebel nasional juga mendesak dilakukan. Pemerintah harus mampu membuat kebijakan strategis sektor riil dan memangkas aturan rumit yang laten membelit dunia usaha.
Salah satunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 juncto Nomor P.95/Menhut-II/2014 yang mengatur kewajiban sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) industri mebel dan kerajinan berbahan baku kayu.
SVLK ini seharusnya hanya untuk pelaku usaha di hulu. Kewajiban itu mengakibatkan perusahaan pemegang izin ekspor kesulitan membiayainya, khususnya industri kecil dan menengah. ”Seorang pemegang izin ekspor rata-rata harus mengeluarkan Rp 40 juta untuk mengurus syarat itu,” ujar Sobur.
Mengenai SVLK, Kementerian LHK menyatakan, penerapan dari hulu hingga hilir untuk menjamin legalitas kayu secara utuh. ”Prinsipnya legal di semua rangkaian karena dalam rangkaian produksi itu berpotensi ada kayu liar,” kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian LHK Rufi’ie.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberi subsidi teknologi tepat guna. Penggunaan teknologi diyakini mampu meringankan biaya produksi dan meningkatkan laba.
Ia berharap semua polemik tersebut dapat segera diselesaikan tuntas. Tanpa perbaikan, nilai ekspor mebel Indonesia sebesar 3,2 miliar dollar AS pada 2019 tidak akan tercapai. Apalagi, tantangan tahun 2019 lebih berat karena bersamaan dengan perhelatan pemilihan presiden.
Peluang besar
Hal serupa dikatakan Johanes Sumarno, Presiden Direktur Kurnia Anggun, yang mayoritas produknya masuk ke pasar AS. Saat ini, peluang besar di depan mata kerap hilang akibat berbagai regulasi yang diciptakan instansi terkait menghambat proses produksi dan distribusi.
Hal itu membuat calon pembeli dari banyak negara, termasuk AS dan Eropa, jengkel. Alasannya, mereka harus menunggu pesanan hingga berbulan-bulan. Ujung-ujungnya, mereka mengalihkan pasar ke China dan Vietnam.
Selain itu, kata Johanes yang juga Penasihat HIMKI, pengadaan komponen untuk industri mebel, seperti kain pelapis dan lembaran kayu, juga mahal dengan distribusi yang kerap terlambat.
”Berbagai hal ini menjadi persoalan serius dan berpotensi menurunkan masa depan daya saing mebel dan furnitur nasional,” katanya. (AST/CHE/ICH)