JAKARTA, KOMPAS- Pendaftaran sengketa hasil Pilkada 2018 ke Mahkamah Konstitusi menunjukkan tren penurunan jika dibandingkan dengan sengketa Pilkada 2015 dan 2017. Hingga menjelang tenggat pendaftaran sengketa, Rabu (11/7/2018), MK menerima 56 permohonan sengketa dari total 171 pilkada yang digelar, Juni lalu.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, pada 2015, MK menerima 151 perkara sengketa hasil pilkada dari 264 pilkada yang digelar. Artinya, sekitar 57,1 persen dari hasil pilkada tahun itu dibawa ke MK. Pada 2017, MK menerima 49 perkara dari 101 pilkada atau 48,5 persen.
Adapun tahun ini, hingga menjelang penutupan masa pendaftaran sengketa, Rabu, MK menerima 56 perkara dari 171 pilkada yang digelar atau berkisar 32,7 persen.
”Memang ada tren penurunan sengketa hasil pilkada. Dan, ini ada sisi positifnya karena berarti para pihak yang terlibat dalam pilkada telah banyak yang menerima hasil pilkada,” katanya.
Selain itu, penyelesaian sengketa terkait pilkada juga tidak hanya berada di tangan MK. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) juga bisa menyelesaikan sejumlah hal yang terkait dengan pilkada. Oleh karena itu, MK praktis hanya menangani perkara yang terkait langsung dengan hasil pilkada, bukan lagi masalah teknis penyelenggaraan.
”Persoalan pilkada diselesaikan dalam level atau tingkatannya masing-masing sehingga ini juga turut membuat sengketa pilkada yang dibawa ke MK cenderung turun,” katanya.
MK sedianya menutup pendaftaran sengketa pada Rabu kemarin. Namun, MK masih memberi kesempatan kepada pemohon sengketa untuk mendaftarkan gugatannya ke MK sepanjang memenuhi tenggat tiga hari kerja setelah KPU setempat menetapkan hasil rekapitulasi suara.
Hingga pukul 18.00 kemarin, MK telah menerima 56 permohonan sengketa pilkada, baik yang didaftarkan secara daring maupun manual. Permohonan itu terdiri dari 53 perkara terkait dengan pilkada kabupaten/kota dan tiga perkara terkait pilkada provinsi (Lampung dan Sulawesi Tenggara).
Di tingkat pemilihan gubernur, dua permohonan diajukan oleh pasangan calon dalam Pilkada Lampung, yakni M Ridho Ficardo-Bachtiar Basri dan Herman Hasanusi-Sutono. Kedua paslon itu mempersoalkan adanya dugaan politik uang yang dilakukan pasangan calon terpilih, Arinal-Chusnunia. MK diminta untuk mendiskualifikasi paslon terpilih tersebut.
Kuasa hukum Herman-Sutono, I Wayan Sudirta, menuturkan, kliennya mendapatkan suara tertinggi kedua menurut hasil rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung. Herman-Sutono meraih 1.054.646 suara, sedangkan Arinal-Chusnunia meraih 1.548.606 suara.
Namun, dalam prosesnya, pemohon menengarai telah terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh pasangan Arinal-Chusnunia. (REK)