Sekitar dua bulan setelah Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, Wakil Presiden Iran untuk Urusan Perempuan dan Keluarga Masoumeh Ebtekar menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres. Misi yang diembannya pun tidak mudah, yakni terkait masalah nuklir negaranya.
Dalam suasana pertemuan yang akrab pada Rabu (11/7/2018) di Kantor Wapres, Jakarta, Wapres Ebtekar menyuarakan kembali harapan Teheran terkait kesepakatan nuklir Iran. Teheran berharap, kesepakatan nonproliferasi yang telah ada itu dipertahankan demi melindungi perdamaian dan keamanan dunia.
Secara umum, Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) adalah suatu perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Khusus dalam konteks nuklir Iran, kesepakatan nonproliferasi dicapai pada 14 Juli 2015.
Ebtekar bertemu Kalla selama sekitar 30 menit. Mereka membicarakan berbagai hal ketika Kalla menerima kunjungan kehormatan itu. Kalla didampingi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Kesepakatan nuklir Iran itu dicapai sembilan bulan setelah Retno menjadi menlu pada 27 Oktober 2014.
Seusai pertemuan, Ebtekar mengatakan, kunjungannya ini untuk menyampaikan pesan Presiden Iran Hassan Rouhani mengenai posisi Iran terkait perkembangan terakhir kesepakatan nuklir, khususnya penarikan diri AS.
Untuk itu, diperlukan upaya-upaya lain yang harus dilakukan guna mempertahankan kesepakatan nonproliferasi yang sudah dicapai pada Juli 2015 itu. Sebab, perjanjian ini merupakan kesepakatan internasional yang berdasarkan pada resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi perdamaian dan keamanan dunia.
Kesepakatan nuklir Iran yang dinamai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) disepakati Iran, lima negara anggota tetap DK PBB (P5+1), dan Uni Eropa pada 14 Juli 2015 di Vienna, Austria.
P5+1 adalah lima negara anggota tetap DK PPB, yakni China, Perancis, Rusia, AS, dan Inggris, ditambah Jerman. Dalam kesepakatan pada Juli 2015 itu, Iran akan membatasi produksi bahan-bahan terkait nuklir. Dengan pembatasan ini, sanksi ekonomi dari AS, Uni Eropa, dan DK PBB pun dicabut.
Namun, pada 8 Mei 2018, Presiden AS Donald Trump secara sepihak mengumumkan pembatalan kesepakatan nuklir Iran. Setelah pengumuman itu, Trump meneken sebuah dokumen berisi penerapan kembali sanksi terhadap Iran. Trump ingin kembali menjatuhkan sanksi seberat-beratnya kepada Teheran dan menghentikan impor minyak dari Iran.
Guna menutup produksi minyak Iran yang terhenti dan mencegah kenaikan harga di pasar dunia, Trump pun meminta sekutunya di Dunia Arab, yakni Arab Saudi, untuk menambah produksi minyak sebanyak 2 juta barrel per hari.
Tak hanya itu, Trump juga menginginkan semua negara menghentikan seluruh impor migas asal Iran hingga batas waktu 4 November 2018. Ancaman sanksi bisnis dengan AS diberikan untuk negara-negara yang tak patuh.
Iran pun bereaksi keras dan mengancam akan mengacaukan lalu lintas migas di Selat Hormuz. Hal ini akan menghalangi negara-negara di kawasan menggunakan selat strategis tersebut sebagai jalur ekspor migas.
Terkait dengan masalah tersebut, Retno menegaskan, Indonesia adalah negara yang selalu menghormati multilateralisme dan memercayai kekuatan negosiasi. Segala masalah yang dinegosiasikan dengan baik akan memberikan hasil yang sama-sama menguntungkan.
Dalam konteks JCPOA, Retno mengatakan, Indonesia menghormati hasil dari negosiasi yang cukup panjang itu. ”Indonesia mengetahui ada satu pihak (AS) yang sudah menarik diri dari JCPOA dan kita menyesalkan penarikan diri itu,” ujarnya.
”Namun, kita tetap berharap pihak-pihak lain yang ada di JCPOA terus melanjutkan kesepakatan yang sudah ada di dalam JCPOA itu,” lanjut Retno.
Indonesia adalah negara yang selalu menghormati multilateralisme dan memercayai kekuatan negosiasi. Segala masalah yang dinegosiasikan dengan baik akan memberikan hasil yang sama-sama menguntungkan.
Menurut Retno, dalam pertemuan tingkat menteri untuk komisi bersama JCPOA pada 6 Juli 2018 di Vienna, Austria, ada harapan baru bahwa JCPOA tetap dapat dilanjutkan.
Indonesia pun mendukung agar hasil pertemuan tersebut dapat diimplementasikan sepenuhnya. Pertemuan tingkat menteri tersebut dihadiri menteri dari enam negara, yakni Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, China, dan Iran.
Pemerintah Indonesia pun, tambah Retno, akan terus berkomunikasi terutama dengan Uni Eropa.
Penguatan kerja sama
Kunjungan Wapres Iran ini sekaligus mendorong penguatan kerja sama Indonesia-Iran yang sudah terjalin cukup lama. Kerja sama yang sudah ada di antara kedua negara ini tersebar di bidang ekonomi, politik, sosial, pengetahuan, dan pemberdayaan perempuan.
Dalam kunjungannya ke Jakarta tiga bulan lalu, Ebtekar juga menemui Presiden Joko Widodo serta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Saat itu, Ebtekar juga mengundang Puan untuk menghadiri konferensi internasional di Iran terkait peran teknologi komunikasi dan informasi dalam menguatkan usaha perempuan.
Di Iran, 75 persen usaha kecil dan menengah kerajinan tangan dijalankan perempuan. Untuk itu, perdagangan elektronik menjadi penting dibahas.
Di sisi lain, kerja sama minyak gas dengan perusahaan Indonesia juga dijajaki. ”Kita punya sejarah panjang di bidang ini dan kami menunggu kerja sama yang lebih optimistis lagi dengan perusahaan-perusahaan Indonesia,” ujar Ebtekar.
Wapres Kalla menambahkan, penjajakan saat ini memasuki wilayah yang lebih teknis. ”Sudah sejak lama sebenarnya. Dulu masih zamannya Presiden Mahmoud Ahmadinejad (2005-2013), sekarang juga masih dijajaki lagi secara teknis,” lanjutnya.