Jual Beli Satwa Dilindungi Secara Daring Meningkat
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kasus perdagangan satwa yang dilindungi di Jakarta cenderung meningkat. Dibutuhkan kerja sama masyarakat untuk melaporkan praktik ilegal ini karena perdagangan daring semakin sulit terdeteksi.
Sejak Januari hingga Juli 2018, ada tujuh kasus perdagangan satwa dilindungi yang ditangani Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Jumlah tersebut sama dengan total kasus yang ditangani Ditjen Gakkum KLHK di tahun 2017.
Kepala Seksi Wilayah 1 Ditjen Gakkum KLHK, Fachrudin, mengatakan, transaksi jual beli satwa saat ini banyak yang dilakukan daring.
“Kami bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, LSM, dan dinas terkait untuk melacak penjualan daring satwa dilindungi. Yang sulit, ketika terjadi transaksi atau penawaran di grup Whatsapp atau Line,” kata Fachrudin, Kamis (12/7/2018).
Ia mengatakan, penjualan di media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram bisa dilacak karena terbuka. Namun, aplikasi Whatsapp atau Line sifatnya tertutup sehingga menyulitkan pemantauan.
Fachrudin mengimbau masyarakat untuk bekerja sama menghentikan perdagangan ilegal satwa dilindungi yang terjadi melalui aplikasi itu. Laporan bisa dilakukan ke nomor pelayanan Ditjen Gakkum di situs resminya.
Ia mengatakan, di antara tujuh kasus yang ditangani tahun ini, baru satu kasus penjualan daring yang terbongkar. Kasus terbanyak yakni penjualan burung ilegal, seperti kakatua jambul kuning.
Kesadaran masyarakat
Kendati demikian, tingginya kesadaran masyarakat yang memelihara satwa dilindungi ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), menjadi angin segar.
Sejak kemunculan buaya muara (crocodysus porosus) di Jakarta ramai diperbincangkan publik tahun ini, banyak masyarakat secara sukarela menyerahkan buaya ke BKSDA DKI Jakarta. Ada tujuh buaya muara yang diserahkan ke BKSDA Jakarta selama lima bulan terakhir. Saat ini satwa itu diserahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa di Tegal Alur, Jakarta.
Kepala BKSDA Jakarta, Ahmad Munawir mengatakan, inisiatif masyarakat itu menggembirakan karena buaya muara termasuk satwa yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999.
“Jika mengetahui ada yang memiliki satwa dilindungi, masyarakat bisa mengadukannya ke nomor layanan BKSDA 081289643727. Kalau memelihara dan menyerahkan secara sukarela, sesuai kebijakan KLHK, orang tersebut tidak dikenakan sanksi hukum,” kata Ahmad.
Izin
Ahmad mengatakan, masyarakat bisa memelihara atau memperjualbelikan satwa yang dilindungi kalau sudah memiliki izin dari KLHK.
Prosedurnya, pengusaha atau perorangan mengajukan permohonan ke BKSDA di wilayahnya. Setelah itu, akan dilakukan pengecekan terhadap binatang dan tempat pemeliharaannya. Saat pengecekan, akan akan dinilai kelaikan tempat pemeliharaan dan perawatannya.
Setelah dinilai laik, BKSDA akan memberi surat rekomendasi ke KLHK. Jika semua proses telah lolos, orang tersebut akan mendapat surat izin resmi dari KLHK untuk memelihara atau memperdagangkan satwa dilindungi.
“Satwa yang bisa diperjualbelikan harus dari keturunan kedua. Misal, buaya A punya anak B. Anak dari buaya B baru bisa untuk kegiatan komersil,” katanya.
Ia menegaskan, pihak yang memanfaatkan satwa dilindungi untuk kepentingan komersial tanpa izin, akan langsung ditindak oleh Ditjen Gakkum.
Kesejahteraan hewan
Meski menjual bintang yang tidak dilindungi, pedagang di pasar hewan kerap tidak memperhatikan kesejahteraan hewan.
Di pasar hewan Jatinegara Jakarta, beberapa burung nuri pelangi bulunya rontok. Ada yang diikat kakinya dengan tali yang pendek sehingga burung itu tidak leluasa bergerak.
Pedagang juga tidak memperhatikan kondisi sangkar. Di Pasar Burung Pramuka Jakarta, sebuah sangkar berukuran 2,5 meter kubik diisi oleh sekutar 50-an burung parkit kecil.
Perwakilan Organisasi Protection of Forest and Fauna Jakarta, Kinanti Kusuma Wardani, mengatakan, hal tersebut bisa menyiksa binatang. Menurutnya, pedagang juga harus peka terhadap kenyamanan dan kesehatan satwa yang dijualnya.
Kinanti mengatakan, meski tidak melanggar hukum, hal tersebut bisa masuk kategori mengeksploitasi satwa untuk kepentingan ekonomi.
“Proses pengiriman satwa yang akan diperjualbelikan juga kerap menggunakan cara-cara yang tidak wajar. Misal, burung dimasukkan ke dalam botol. Satu sarang untuk banyak burung. Pasti banyak yang stress satwanya,” kata Kinanti. (SUCIPTO)