Mengungkap Problem Zonasi SMP di Yogyakarta
Cikal Manika Nareswari (13) harus menerima kenyataan pahit saat mengikuti penerimaan peserta didik baru tingkat SMP di Kota Yogyakarta. Dari sembilan SMP negeri di Kota Yogyakarta yang ia pilih, tak ada satu pun yang menerima dirinya sebagai peserta didik. Padahal, nilai Cikal jauh di atas rata-rata nilai lulusan SD di kotanya.
”Dia betul-betul terpukul karena enggak bisa diterima di SMP negeri,” kata ibunda Cikal, Rina Rahmawati (34), saat berbincang dengan Kompas, Senin (9/7/2018) malam.
Rina mengisahkan, tahun ini, Cikal lulus dari SD Negeri Serayu, Kota Yogyakarta, dengan nilai ujian sekolah berstandar nasional (USBN) sebesar 260,00. Warga RW 012 Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, itu mendapat nilai 94,80 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, 73,40 untuk Matematika, dan 91,80 untuk Ilmu Pengetahuan Alam.
”Di antara teman-teman satu kelasnya, nilai Cikal ini menempati peringkat kedua tertinggi. Sementara itu, kalau dibandingkan dengan nilai seluruh murid di sekolahnya, Cikal menduduki peringkat kedelapan,” ujar Rina.
Nilai Cikal itu juga jauh di atas rata-rata nilai USBN SD di Kota Yogyakarta sebesar 212,76. Oleh karena itu, awalnya Cikal merasa optimistis diterima di SMPN 5 Yogyakarta yang dianggap SMP favorit di ”Kota Pelajar”. ”Cikal mendaftar di SMPN 5 sebagai pilihan pertama melalui jalur zonasi,” tutur Rina.
Selain itu, sebagai cadangan, Cikal juga mendaftar ke delapan SMP negeri lain di Kota Yogyakarta melalui jalur zonasi, yakni SMPN 8, SMPN 1, SMPN 9, SMPN 2, SMPN 4, SMPN 6, SMPN 16, dan SMPN 15. Sistem PPDB SMP di Kota Yogyakarta tahun ini memang memungkinkan seorang siswa mendaftar ke semua SMP negeri sekaligus yang berjumlah 16 SMP.
Apabila nilai USBN dijadikan patokan utama, Cikal tentu saja akan diterima di satu dari sembilan SMP negeri yang dipilihnya. Namun, kenyataan berkata lain karena Cikal ternyata tak diterima di semua SMP negeri tersebut.
Rina menuturkan, anaknya merasa sangat sedih karena gagal diterima di SMP negeri. Apalagi, selama setahun terakhir, Cikal telah melakukan berbagai usaha, termasuk mengikuti les hingga malam hari, agar bisa mendapat nilai yang bagus dalam USBN sehingga dapat diterima di sekolah favorit.
”Itu yang bikin anak saya shock (terkejut) banget karena selama setahun ini dia sudah berusaha keras agar bisa dapat nilai bagus, termasuk dengan les sampai malam hari,” ungkap Rina.
Zonasi
Kegagalan Cikal diterima di SMP negeri tak lepas dari pemberlakuan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat SMP di Kota Yogyakarta yang berlangsung pada 25 Juni hingga 7 Juli 2018. Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB sebenarnya merupakan kebijakan pemerintah pusat yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018. Menurut pemerintah, sistem zonasi itu dibuat untuk mendorong pemerataan kualitas pendidikan dan menghilangkan ”kastanisasi” dalam lembaga pendidikan.
Permendikbud No 14/2018 menyatakan, seleksi calon peserta didik baru SMP mempertimbangkan beberapa hal, yakni jarak tempat tinggal ke sekolah dengan ketentuan zonasi, nilai hasil ujian SD, serta prestasi akademik dan non-akademik. Aturan itu juga menyebut, sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total peserta didik yang diterima.
Namun, Pasal 16 Ayat (3) Permendikbud itu juga menyatakan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur radius zona terdekat dari sekolah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Penetapan itu harus mengacu pada dua hal, yakni jumlah anak usia sekolah di daerah tersebut dan daya tampung sekolah di daerah. Pasal inilah yang membuat pengaturan zonasi dalam PPDB di suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lain.
Di Kota Yogyakarta, seleksi PPDB SMP antara lain mengacu pada Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Nomor 188/0472. Keputusan itu menyatakan, seleksi masuk ke SMP negeri di Kota Yogyakarta dilakukan melalui tiga jalur, yakni jalur prestasi, zonasi, dan khusus.
Kuota jalur prestasi dibagi dua, yakni 15 persen dari daya tampung untuk calon peserta didik dari Kota Yogyakarta dan 5 persen untuk mereka yang berasal dari luar kota. Di sisi lain, jalur zonasi memiliki kuota 75 persen, sementara kuota jalur khusus adalah 5 persen.
Jalur prestasi merupakan penerimaan siswa baru yang dilakukan berdasarkan nilai USBN ditambah dengan nilai prestasi yang dimiliki siswa. Jalur khusus merupakan penerimaan peserta didik dengan alasan khusus, misalnya perpindahan domisili orangtua siswa karena tugas negara atau bencana alam.
Sementara itu, untuk jalur zonasi, seleksi masuk dilakukan berdasarkan jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah yang dituju. Dalam sistem ini, calon peserta didik yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah—berapa pun nilai USBN mereka—akan diprioritaskan untuk diterima. Apabila ada kesamaan jarak rumah antara dua calon peserta didik atau lebih, nilai USBN calon peserta didik akan dipertimbangkan.
Untuk menjalankan sistem ini, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menetapkan penghitungan jarak udara berbasis rukun warga (RW). Artinya, jarak yang diperhitungkan dalam seleksi jalur zonasi adalah jarak udara antara sekolah yang dituju dan titik tengah RW tempat tinggal calon peserta didik.
Sebelum PPDB SMP dilaksanakan, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta telah menghitung jarak udara 616 RW di Kota Yogyakarta dengan 16 SMP negeri di kota itu. Hasil penghitungan yang disebut menggunakan satelit itu kemudian dimasukkan ke dalam sistem daring (online) yang digunakan untuk PPDB SMP di Kota Yogyakarta.
Sebagai catatan, sistem zonasi PPDB SMP Kota Yogyakarta berbeda dengan sistem zonasi PPDB SMP di beberapa wilayah lain di DIY. Di Kabupaten Sleman, DIY, misalnya, sistem zonasi dilakukan dengan membagi sekolah dan wilayah kecamatan menjadi empat zona, yakni barat, tengah, timur, dan utara.
Pendaftar yang berasal dari zona yang sama dengan lokasi sekolah akan mendapat tambahan nilai sebesar 20, pendaftar dari luar zona tetapi masih berasal dari Sleman mendapat tambahan nilai 10, dan pendaftar dari luar Sleman tak mendapat tambahan nilai. Tambahan nilai itu akan ditambahkan ke nilai ujian SD para pendaftar dan seleksi dilakukan berdasar nilai akhir tertinggi.
Dengan sistem semacam itu, seleksi PPDB SMP di Sleman tidak hanya mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah, tetapi juga memperhitungkan nilai ujian SD. Di sisi lain, pendaftar yang rumahnya lebih dekat ke sekolah tujuan tetap mendapatkan insentif karena mereka mendapat tambahan nilai lebih tinggi.
”Blank spot”
Sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB SMP di Kota Yogyakarta menyebabkan sejumlah implikasi dalam seleksi calon peserta didik melalui jalur zonasi. Implikasi pertama, calon peserta didik yang mendapat nilai tinggi tetapi rumahnya jauh dari sekolah tujuan otomatis kalah dengan calon peserta didik dengan nilai rendah tetapi rumahnya dekat dengan sekolah.
Di SMPN 5 Yogyakarta, yang dianggap sebagai sekolah favorit, ada calon peserta didik dengan nilai USBN sebesar 133,200 bisa diterima. Meski rata-rata nilai mata pelajaran USBN sang siswa itu hanya 44,4, dia bisa diterima di SMPN 5 karena rumahnya berjarak relatif dekat, yakni 2,496 kilometer. Sementara itu, Cikal yang mendapat nilai jauh lebih tinggi—dengan rata-rata nilai 86,6—tidak bisa diterima di SMPN 5 karena jarak rumahnya ke sekolah itu lebih jauh, yakni 3,036 km.
Di SMPN 9, Cikal bahkan kalah bersaing dengan calon peserta didik dengan nilai USBN sebesar 108,400. Siswa yang memiliki nilai rata-rata mata pelajaran USBN sebesar 36,13 itu bisa ”mengalahkan” Cikal karena jarak rumahnya sangat dekat dengan SMPN 9, yakni 330 meter.
Implikasi kedua yang lebih besar dan serius adalah adanya wilayah tertentu di Kota Yogyakarta yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai blank spot (titik kosong). Berdasarkan sejumlah data, sejumlah calon peserta didik yang tinggal di wilayah-wilayah blank spot itu tidak bisa diterima di semua SMP negeri di Kota Yogyakarta saat mendaftar melalui jalur zonasi.
Salah satu contoh wilayah blank spot adalah RW 012 Kelurahan Pandeyan yang merupakan tempat tinggal Cikal. Secara resmi, Cikal memang hanya ditolak di sembilan SMP negeri yang telah dia pilih dalam proses pendaftaran PPDB.
Namun, berdasarkan penelusuran data yang dilakukan Kompas, sekalipun Cikal mendaftar ke semua SMP negeri di Kota Yogyakarta yang berjumlah 16, tak akan ada satu pun SMP negeri yang menerimanya melalui jalur zonasi. Artinya, dengan sistem zonasi yang berlaku sekarang dan peta persaingan yang ada, Cikal memang tidak bisa diterima di 16 SMP negeri di Kota Yogyakarta melalui jalur zonasi meski nilainya tergolong tinggi.
Kondisi semacam itu tentu tidak hanya menimpa Cikal. Berdasarkan kalkulasi sejumlah data, semua lulusan SD yang berasal dari RW yang sama dengan Cikal, yakni RW 012 Kelurahan Pandeyan, kemungkinan juga tidak bisa diterima di seluruh SMP negeri di Kota Yogyakarta melalui jalur zonasi, berapa pun nilai USBN mereka.
Kesimpulan ini didapat dengan membandingkan dua jenis data. Data pertama adalah jarak RW 012 Kelurahan Pandeyan ke semua SMP negeri di Kota Yogyakarta. Sementara itu, data kedua adalah tempat tinggal terjauh calon peserta didik yang diterima di setiap SMP negeri di Kota Yogyakarta. Kedua jenis data itu didapatkan dari situs yogya.siap-ppdb.com yang merupakan situs resmi PPDB di Kota Yogyakarta.
Hasil perbandingan itu menunjukkan, jarak RW 012 Kelurahan Pandeyan ke tiap SMP negeri di Kota Yogyakarta ternyata selalu lebih jauh daripada tempat tinggal terjauh calon peserta didik yang diterima di setiap SMP negeri (Tabel 1).
Sebagai contoh, jarak RW 012 Kelurahan Pandeyan ke SMPN 5 Yogyakarta adalah 3,036 km. Sementara itu, calon peserta didik dengan tempat tinggal terjauh yang akhirnya diterima di SMPN 5 adalah mereka yang tinggal dengan jarak 2,522 km dari sekolah tersebut.
Contoh lainnya, jarak RW 12 Kelurahan Pandeyan ke SMPN 9 Yogyakarta adalah 1,647 km. Sementara, calon peserta didik dengan tempat tinggal terjauh yang akhirnya diterima di SMPN 9 adalah mereka yang tinggal dengan jarak 699 meter dari sekolah tersebut. Padahal, SMPN 9 merupakan SMP negeri paling dekat dengan RW 012 Kelurahan Pandeyan.
No | SMP Negeri | Jarak Tempat Tinggal Terjauh Peserta Didik yang Diterima | Jarak ke RW 012 Kelurahan Pandeyan |
1 | SMPN 1 Yogyakarta | 3,012 km | 4,029 km |
2 | SMPN 2 Yogyakarta | 0,889 km | 2,188 km |
3 | SMPN 3 Yogyakarta | 1,761 km | 2,924 km |
4 | SMPN 4 Yogyakarta | 0,621 km | 2,330 km |
5 | SMPN 5 Yogyakarta | 2,522 km | 3,036 km |
6 | SMPN 6 Yogyakarta | 0,983 km | 4,246 km |
7 | SMPN 7 Yogyakarta | 1,104 km | 4,393 km |
8 | SMPN 8 Yogyakarta | 2,418 km | 3,620 km |
9 | SMPN 9 Yogyakarta | 0,699 km | 1,647 km |
10 | SMPN 10 Yogyakarta | 0,834 km | 1,687 km |
11 | SMPN 11 Yogyakarta | 1,017 km | 4,150 km |
12 | SMPN 12 Yogyakarta | 0,934 km | 4,056 km |
13 | SMPN 13 Yogyakarta | 0,684 km | 2,813 km |
14 | SMPN 14 Yogyakarta | 1,679 km | 3,989 km |
15 | SMPN 15 Yogyakarta | 1,972 km | 2,524 km |
16 | SMPN 16 Yogyakarta | 0,681 km | 2,816 km |
Tabel 1. Perbandingan Jarak SMP Negeri di Kota Yogyakarta ke RW 012 Kelurahan Pandeyan dan Jarak Tempat Tinggal Terjauh Peserta Didik yang Diterima
Wilayah lain
Berdasarkan penelusuran Kompas, lokasi wilayah blank spot tidak hanya di RW 12 Kelurahan Pandeyan. Di RW 03 Kelurahan Pandeyan, misalnya, situasi yang sama juga terjadi. Kondisi itulah yang menyebabkan Gita Wulandari (13), warga RW 013 Kelurahan Pandeyan, tak bisa diterima di SMP negeri di Kota Yogyakarta meski nilainya tergolong lumayan, yakni 212,00.
Dalam PPDB SMP di Kota Yogyakarta, Gita mendaftar melalui jalur zonasi di empat sekolah, yakni SMPN 9, SMPN 10, SMPN 13, dan SMPN 16. Namun, lulusan SD Negeri Golo, Kota Yogyakarta, itu ”terlempar” dari persaingan di empat sekolah tersebut, bukan karena nilainya lebih rendah dari pendaftar lain, melainkan semata-mata karena jarak rumahnya ke sekolah tujuan lebih jauh dari pendaftar lain. Berdasarkan simulasi yang dilakukan dengan membandingkan beberapa jenis data, Gita juga tak bisa diterima di semua SMP negeri di Kota Yogyakarta melalui jalur zonasi (Tabel 2).
No | SMP Negeri | Jarak Tempat Tinggal Terjauh Peserta Didik yang Diterima | Jarak ke RW 3 Kelurahan Pandeyan |
1 | SMPN 1 Yogyakarta | 3,012 km | 4,329 km |
2 | SMPN 2 Yogyakarta | 0,889 km | 2,367 km |
3 | SMPN 3 Yogyakarta | 1,761 km | 3,134 km |
4 | SMPN 4 Yogyakarta | 0,621 km | 2,590 km |
5 | SMPN 5 Yogyakarta | 2,522 km | 3,331 km |
6 | SMPN 6 Yogyakarta | 0,983 km | 4,524 km |
7 | SMPN 7 Yogyakarta | 1,104 km | 4,566 km |
8 | SMPN 8 Yogyakarta | 2,418 km | 3,912 km |
9 | SMPN 9 Yogyakarta | 0,699 km | 1,517 km |
10 | SMPN 10 Yogyakarta | 0,834 km | 1,446 km |
11 | SMPN 11 Yogyakarta | 1,017 km | 4,323 km |
12 | SMPN 12 Yogyakarta | 0,934 km | 4,285 km |
13 | SMPN 13 Yogyakarta | 0,684 km | 2,742 km |
14 | SMPN 14 Yogyakarta | 1,679 km | 4,216 km |
15 | SMPN 15 Yogyakarta | 1,972 km | 2,814 km |
16 | SMPN 16 Yogyakarta | 0,681 km | 2,845 km |
Tabel 2. Perbandingan Jarak SMP Negeri di Kota Yogyakarta ke RW 03 Kelurahan Pandeyan dan Jarak Tempat Tinggal Terjauh Peserta Didik yang Diterima
Menurut ayahanda Gita, Suwarjo (56), sang anak akhirnya mendaftar ke SMP swasta dan harus membayar lebih mahal bila dibandingkan bersekolah di SMP negeri. Padahal, sehari-hari, Suwarjo hanya bekerja sebagai tukang bangunan.
”Setelah Gita diterima di SMP swasta, saya harus membayar Rp 4,8 juta untuk seragam dan lain-lain. Jelas saya merasa berat karena kami, kan, dari keluarga tidak mampu. Namun, karena untuk pendidikan anak, mampu tidak mampu ya diusahakan,” tutur Suwarjo.
Selain karena pengaturan sistem zonasi yang telah ditetapkan, fenomena semacam itu terjadi karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah daya tampung SMP negeri di Kota Yogyakarta yang jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah lulusan SD.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, daya tampung 16 SMP negeri di kota itu tahun ini hanya 3.462 siswa, sementara jumlah lulusan SD dan madrasah ibtidaiyah mencapai 7.200 orang.
Faktor lainnya adalah persebaran lokasi SMP negeri di Kota Yogyakarta yang tidak merata. Dari 16 SMP negeri di Kota Pelajar, hanya ada empat sekolah yang berada di wilayah selatan, yakni SMPN 9, SMPN 10, SMPN 13, dan SMPN 16, sementara sisanya berada di wilayah utara. Dengan begitu, para lulusan SD di wilayah selatan Kota Yogyakarta harus bersaing dengan lebih ketat saat mengikuti seleksi jalur zonasi.
Jalur prestasi
Menanggapi persoalan terkait PPDB, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana menyatakan, selain jalur zonasi, para lulusan SD di Kota Yogyakarta sebenarnya bisa mendaftar ke SMP negeri melalui jalur prestasi dengan kuota 15 persen dari total daya tampung. Baik di jalur zonasi maupun jalur prestasi, calon peserta didik bisa mendaftar ke 16 SMP negeri sekaligus sehingga peluang mereka diterima di salah satu sekolah menjadi lebih besar.
Menurut Edy, sebagian masyarakat tidak memanfaatkan dengan baik jalur prestasi yang telah disediakan. ”Jalur prestasi dengan kuota 15 persen itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Ada yang tidak mendaftar di jalur prestasi dan ada yang mendaftar tetapi hanya memilih tiga sekolah, padahal pilihannya, kan, bisa 16 sekolah,” katanya.
Edy memaparkan, banyak calon peserta didik dengan nilai tinggi justru mendaftar melalui jalur zonasi sehingga mereka kalah bersaing dengan pendaftar bernilai rendah yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan. Padahal, apabila pemegang nilai tinggi itu mendaftar melalui jalur prestasi dan memilih 16 sekolah sekaligus, kemungkinan mereka untuk diterima lebih tinggi.
”Mereka yang nilainya tinggi-tinggi justru mendaftar di jalur zonasi. Ini yang disayangkan, tetapi ini sudah telanjur sehingga masyarakat harus legawa,” ujar Edy yang mengaku telah menyosialisasikan adanya jalur prestasi ke masyarakat.
Untuk mengatasi persoalan tidak meratanya lokasi SMP negeri di Kota Yogyakarta, Edy menjelaskan, ada dua langkah yang akan diambil. Yang pertama adalah menambah daya tampung beberapa SMP negeri di wilayah selatan Kota Yogyakarta sehingga lebih banyak lulusan SD di daerah itu yang bisa diterima.
Langkah kedua adalah membuka SMP negeri baru di wilayah selatan Kota Yogyakarta. Sekolah baru itu akan didirikan memakai nama dan izin pendirian SMPN 14 Yogyakarta yang saat ini berada di wilayah utara. Sementara itu, siswa-siswi SMPN 14 yang ada saat ini akan digabung ke SMPN 12 Yogyakarta.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY Budhi Masthuri menyatakan, persoalan yang terjadi dalam proses PPDB SMP di Kota Yogyakarta itu menyebabkan ketidakadilan bagi calon peserta didik yang tinggal di wilayah blank spot. ”Tentu saja masalah ini menimbulkan ketidakadilan bagi calon-calon siswa yang berada di blank spot,” ujarnya.
Apalagi, Budhi menilai, keberadaan jalur prestasi—yang diharapkan bisa mengakomodasi calon peserta didik dari wilayah blank spot—terlihat kurang disosialisasikan dengan baik. Akibatnya, banyak calon peserta didik yang tidak memanfaatkan jalur prestasi secara maksimal. ”Sayangnya, jalur prestasi itu tidak cukup tersosialisasikan sehingga banyak orangtua yang tidak tahu,” katanya.