Piala Dunia dengan Rasa Piala Eropa
Gol adalah tujuan akhir dari sepak bola. Sebuah kesebelasan boleh bermain dengan baik, tetapi jika tidak membuat gol, mereka tak boleh dibilang berhasil.
Karena itu, humoris Amerika, Arnold H Glasow, pernah membuat pepatah: Seperti dalam sepak bola, demikian pula dalam hidup, kita tak bisa melangkah lebih jauh jika kita tidak tahu di mana gol atau tujuan hidup kita.
Karena tak berhasil membuat gol kemenangan, kesebelasan elite dunia Jerman, Argentina, dan Brasil tak bisa melanjutkan perjalanannya dan terpaksa angkat koper pulang ke rumah.
Gol adalah wujud nyata efektivitas sebuah kesebelasan. Jerman boleh menyerang dan total menguasai bola. Namun, kehebatan itu menjadi relatif karena mereka tidak efektif membuat gol. Akhirnya, mereka dipaksa mengevaluasi, jangan-jangan ada yang keliru dalam sistem sepak bola mereka.
”Sistem permainan Jerman di bawah Joachim Loew sudah ketinggalan,” begitu komentar pedas mantan pemain nasional Jerman, Christoph Metzelder. ”Kami bangga tercatat mempunyai angka yang tinggi dalam penguasaan bola dan itu menggetarkan lawan. Namun, akhirnya, kami tak membawa hasil apa-apa.”
Maka, kata Metzelder tegas, ”Penguasaan bola bukanlah tujuan pada diri sendiri. Kita harus meninggalkan praktik itu.”
Petaka yang sama juga menimpa Brasil. Mereka bermain indah, tetapi kalah karena kurangnya gol di kantong mereka. ”Ini adalah momen paling menyedihkan dalam karier saya. Sulit bagi saya menemukan kekuatan untuk bermain bola lagi,” kata Neymar Jr setelah Brasil ditekuk Belgia, 1-2, meski menggedor gawang lawan habis-habisan.
Lebih sedih lagi, Neymar ”sudah jatuh tertimpa tangga”. Ia menjadi olok-olokan dunia karena aksi diving-nya. Ia layak mendapat Piala Oscar untuk aksi teatrikalnya. Neymar adalah maestro waltz. Neymar adalah bayang-bayang dari pribadinya sendiri. Ia pemain bola termahal, tetapi aktor drama murahan. Dan karena aksi gulung-gulung sambil memperlihatkan kesakitan kakinya, keluarlah meme ”Telah beredar obat baru di pasar, untuk digunakan saat kesakitan ekstrem: NeymarSpirin”.
Begitulah kecaman terhadap bintang Brasil itu. Dan, kecaman paling tajam kiranya datang dari Pelatih Meksiko Juan Carlos Osorio ini: Aksi Neymar adalah aib bagi dunia bola. Ini adalah contoh terjelek bagi seluruh dunia dan semua anak-anak yang menonton bola di televisi. Dalam sepak bola seharusnya tidak ada adegan drama semacam itu.
Publik Brasil merasa mempunyai pelatih yang baik, kesebelasan yang prima. Mengapa mereka harus menderita seperti ini? Hanya kepada Tuhan lalu mereka berpaling. ”Jalan Tuhan memang tak terpahami,” kata kiper Allison Becker. ”Ini adalah kehendak-Mu,” kata ibunda Neymar. ”Kita mesti menerima kehendak Tuhan,” kata kapten Miranda.
Kekalahan Brasil, juga kegagalan Argentina, kiranya bisa dikritisi dari opini seperti ditulis Javier Cáceres dalam koran Süddeutsche Zeitung ini: Sejak 1974, 36 dari 48 (75 persen) semifinalis Piala Dunia berasal dari Eropa. Hanya 11 (23 persen) berasal dari Amerika Latin. Sejak 2002, ketika Brasil mengalahkan Jerman di Yokohama, 2-0, Amerika Latin hanya merebut 3 dari 16 semifinalis Piala Dunia. Tahun 2006 tak ada kesebelasan Amerika Latin masuk 4 besar. Tahun 2010, Uruguay yang lolos. Pada tahun 2014, Brasil ditekuk Jerman secara memalukan, 1-7, dan kemudian di final Jerman mengalahkan Argentina, 1-0.
Menurut Cáceres, itu semua adalah dampak dari globalisasi sepak bola. Di bawah tekanan dan bujukan globalisasi, Amerika Latin menyetor pemain terbaiknya ke Eropa. Bahkan, mereka pun tak segan menggelontorkan ”tenaga kerja sepak bola usia muda” untuk dilatih dan dipekerjakan di Eropa. Klub-klub besar Eropa tidak hanya berhasil menginvestasi pemain hebat, tetapi juga memetik keuntungan luar biasa dari transaksi ini.
Perserikatan sepak bola di Amerika Latin seperti kehilangan akal. Beberapa presiden masuk penjara karena korupsi. Kata mantan pemain nasional Brasil, Edmilson, ”Uang ada, tetapi rencana tidak ada.” Ini persis terjadi di Afrika, seperti dituturkan oleh Otto Pfister dari Neue Zürcher Zeitung, ”Di Afrika, uang yang ada tidak digunakan secara efisien, kurang sekali investasi dalam infrastruktur dan pembinaan pemain.”
Tak heran, pemain-pemain berbakat dari Afrika juga hengkang ke Eropa. Maklum, di tanah airnya tidak ada pembinaan dan penghasilan yang menjanjikan. Banyak pemain muda asal Afrika sekarang tumbuh, misalnya, di Belgia dan Perancis. ”Eropa telah mengolonisasi sepak bola”, begitu tulis koran Brasil, O Estado de São Paulo. Dalam Piala Dunia 2018 ini, 75 persen pemain adalah mereka yang merumput di Eropa. Maka, tulis Cáceres, ”Jauh sebelum semifinal kali ini, Piala Dunia adalah Piala Eropa”.
Dalam hal sepak bola, Amerika Latin nyaris jatuh levelnya ke taraf Afrika. Ini kiranya jadi kesempatan baik untuk persepakbolaan di Asia. Kemajuan sepak bola di Asia terlihat dari prestasi Korea Selatan, Jepang, dan Iran dalam Piala Dunia kali ini.
Jika PSSI ingin ikut dalam kancah sepak bola dunia, kiranya perlu memperhatikan, pengelolaan bola juga menuntut ketangguhan kita menghadapi gerusan globalisasi. Jika tidak berinvestasi dalam pembinaan dan infrastruktur, pandai mengelola dan menggunakan uang, dengan terus menjauhi korupsi, jangan harap kita bisa ikut dalam persaingan dunia sepak bola pada zaman globalisasi ini.