Insiden tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Sumatera Utara, pada Senin (18/6/2018) membuat angkutan penyeberangan dalam sorotan. Minimnya pengawasan menjadi hal krusial dan perlu segera dibenahi. Kata ”pembelajaran” kiranya perlu dimaknai dan ditindaklanjuti. Jangan sampai, karena abai, terlontar lagi ”pembelajaran” di kemudian hari.
Bunyi sirine terdengar lantang dari bibir Danau Toba. Deru mesin kapal pun terdengar belakangan. Seorang anak buah kapal berdiri di ujung depan kapal motor yang melaju, menyisir deretan dermaga kecil milik setiap penginapan di Tuktuk Siandong, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumut.
Meski sudah menyisir sekitar 30 penginapan, Rabu (27/6/2018) pagi, hanya empat penumpang yang naik ke kapal bernama KM Felix 01 tersebut. Satu orang merupakan wisatawan, sedangkan tiga lainnya pemuda setempat yang hendak berjalan-jalan ke Parapat, Kabuapaten Simalungun.
”Biasanya lebih terisi. Selain karena ada kecelakaan KM Sinar Bangun, sepertinya juga karena sedang pilkada,” kata Rio (20), ABK KM Felix 01, dengan wajah terkantuk. Pagi itu, warga Sumut menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Gubernur Sumut 2018-2023.
Penyeberangan Tuktuk-Parapat serta Tomok-Ajibata menjadi pilihan tersedia saat ini mengingat rute Simanindo-Tigaras ditutup. Hingga Kamis (28/6/2018), tim SAR gabungan masih mencari 164 orang yang dilaporkan hilang atas insiden KM Sinar Bangun, padahal kapasitas kapal berkisar 40-60 orang. Adapun 21 orang dinyatakan selamat, sedangkan 3 orang tewas.
KM Felix 01 merupakan satu dari 12 kapal kayu yang setiap satu jam sekali melayani penyeberangan dari Tuktuk Siandong di Pulau Samosir ke Parapat. Perjalanan memakan waktu 30 menit. Penumpang umumnya wisatawan dan warga Samosir yang hendak berbelanja di Pasar Tigaraja.
Setelah memastikan tak ada lagi penumpang diangkut, KM Felix 01 bertolak ke Pelabuhan Tigaraja di Parapat pada pukul 08.00. Cuaca cerah. Embusan angin yang terpantul deretan bukit membuat permukaan danau cenderung tenang. Dibutuhkan 30 menit untuk menyeberang dari Tuktuk ke Parapat.
Sementara itu, di tingkat dua kapal, alunan musik khas Batak Toba terdengar nyaring dari dua speaker berukuran 40 cm x 30 cm yang ditaruh di atas kursi penumpang. Ada sekitar 20 kursi besi di tingkat dua itu. Sementara di bagian ujung belakang terdapat kursi kayu tertempel yang mengikuti lekukan badan kapal.
Sejumlah baju pelampung (life jacket) menumpuk di salah satu kursi, sebagian lagi digantung di dekat atap. Ada sekitar 30 baju pelampung tersedia di kapal tersebut. Namun, tidak ada instruksi untuk memakainya selama perjalanan. Mungkin karena angin dan ombak pada pagi itu sedang bersahabat.
Di tingkat satu terdapat kursi berupa kayu yang tertempel di dinding kapal dengan kapasitas sekitar 20 orang. Sejumlah baju pelampung juga tersedia, termasuk dua pelampung bulat di sudut kapal. Suara bising mesin kapal jelas terdengar.
Di tengah perjalanan, Rio menarik ongkos dari setiap penumpang sebesar Rp 15.000. Namun, tidak ada tiket, tanda bukti, atau pendataan identitas penumpang. Alasannya, selama ini prosedur pelayaran rakyat di Danau Toba memang seperti itu. Sementara feri, seperti rute Tomok-Ajibata dan Simanindo-Tigatas, menggunakan tiket.
Menurut Rio, akhir pekan menjadi waktu paling padat di penyeberangan Tuktuk-Parapat. Kapasitas 30-40 penumpang terisi penuh. Sepeda motor pun bisa dinaikkan ke kapal. Namun, nakhoda akan mempertimbangkan apabila muatan dirasa lebih. Pengawasan dilakukan mandiri.
Ombak pada penyeberangan rute Tuktuk-Parapat dinilai cenderung tenang, antara lain karena banyak bukit di sekelilingnya yang memantulkan angin. ”Berbeda dengan Simanindo-Tigaras yang anginnya kencang karena perairan membentang lebar. Jarak antarbukit jauh,” kata Rio.
Sejak insiden tenggelamnya KM Sinar Bangun, jumlah penumpang sedikit menurun.
Selain itu, kelebihan muatan penumpang juga bakal memengaruhi daya kendali kapal, apalagi saat cuaca berangin dan ombak tinggi. Kata Rio, dalam kondisi seperti tersebut, apabila dipaksakan, alat kendali bisa terputus.
Rio mengatakan, sejak insiden tenggelamnya KM Sinar Bangun, jumlah penumpang sedikit menurun. Dirinya meyakini peristiwa kecelakaan itu seharusnya bisa dihindari. Salah satunya terkait jumlah penumpang yang terlalu berlebih. Dia berharap, setelah masa pencarian, situasi kembali normal.
Robert Siallagan (42), warga Tuktuk, mengaku prihatin dengan apa yang terjadi pada KM Sinar Bangun. Dia berharap, ke depan, pengawasan bisa berjalan dengan baik. ”Jangan sampai, nanti ada kejadian-kejadian berikutnya. Jangan sampai Danau Toba tercoreng,” ujarnya.
Sebelum peristiwa tenggelamnya KM Sinar Bangun, sejumlah insiden pelayaran terjadi di perairan Danau Toba. Salah satunya insiden KM Peldatari I pada 1997 yang menewaskan 84 orang. Hal itu semestinya menjadi pelajaran dalam pembenahan angkutan pelayaran tanpa harus menunggu jatuhnya korban.
Wakil Bupati Samosir Juang Sinaga berjanji, pihaknya akan memperbaiki tata pelayaran di Samosir agar ke depan hal serupa tak terjadi. Namun, untuk saat ini, pihaknya masih fokus pada pencarian korban. ”Setelah ini, kami akan membenahi seluruhnya,” ujarnya.