Buah dari Kebijakan Pemerintah dan Kenaikan Harga Pakan

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menyortir telur ayam di salah satu agen di Jembatan Lima, Jakarta, Rabu (11/8/2018). Dalam sepekan terakhir, harga jual eceran telur di sejumlah pasar di Jakarta dan daerah lain masih tinggi, Rp 28.000 per kilogram.

JAKARTA, KOMPAS - Naik turunnya harga telur ayam sangat tergantung keseimbangan pasokan dan permintaan. Saat ini, permintaan tetap dan cenderung naik, sedangkan pasokan terus merosot. Kemerosotan itu buah pahit yang harus diterima akibat kebijakan pemerintah menekan impor bibit induk ayam dan kenaikan harga pakan, karena ketergantungan impor bahan baku yang tinggi.

Jika dollar AS terus menguat, menurut Ketua Dewan Penasehat Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Sudirman, Kamis (12/07/2018), dipastikan harga pakan akan melonjak. Risiko yang harus diterima peternak adalah kenaikan biaya produksi yang sangat signifikan.

“Semua itu akan mendongkrak harga ayam dan telur di pasar eceran. Kondisi ini tidak bisa ditawar dan harus ada kebijakan yang strategis agar jangan sampai impor dibuka tak terkontrol. Sebab jika kebijakan diambil dalam kondii panik bisa terjadi hal sebaliknya,” kata Sudirman.

Harga jual berpotensi anjlok,  sedangkan biaya produksi ayam pedaging maupun petelor akan terus meningkat secara signifikan. Pada akhirnya yang dirugikan semuanya, produsen, peternak, pedagang dan konsumen.

Ada dua hal utama yag menyebababkan  merosotnya pasokan daging ayam dan telur, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Peternakan dan  Perikanan, Anton J Supit, Kamis, di Jakarta.  Persoalan mendasar itu adalah kurangnya suplai bibit karena pengetatan impor  bibit induk ayam atau grand parent (GP)  dan kegagalan pemeliharaan di tingkat peternak.

SITA NURAZMI MAKHRUFAH UNTUK KOMPAS

Harga telur di Pasar Pondok Labu, Jakarta Selatan naik menjadi Rp 30.000 per kilogram, Rabu (11/7/2018)

GP ini adalah inti dari grand parent stok (GPS) yang nantinya jadi kakeknya ayam. GPS inilah yang kemudian  bertelur dan menetaskan induk (PS) yang menghasilkan final stock (FS) alias day old chicken final (DOC-anak ayam umur sehari). PS ini merupakan bahan baku untuk budidaya ayam broiler atau pedaging dan ayam layer alias petelur.

Kurangi impor GP

Masalah itu mulai timbul, timpal Sudirman, sejak pemerintah mengurangi  alokasi impor GP karena desakan peternak yang menjerit menghadapi penurunan harga jual. Kebijakan pengurangan yang tak terkontrol ini mengakibatkan pengurangan populasi ayam pedaging maupun petelur.

Kondisi tak bisa dihindari sehingga terus mendorong laju kenaikan harga ayam dan telur. Persoalan  bertambah runyam nilai tukar dollar AS terus menguat dalam jangka waktu yang lama. Mahalnya harga dollarAS mendongkrak harga pakan yang mengalami  ketergantungan impor sangat tinggi.

“Jika dollar AS  kembali seperti semula masih mungkin harga pakan ditahan. Namun jika terus meenguat maka harga pakan pasti sekitar Rp  600 per kilogram.  Kenaikan itu berarti mendorong kenaikan biaya produksi sekitar Rp 1.000-Rp 1200  per kg untuk ayam pedaging maupun petelur,” kata Sudirman.

Beban persoalan ini, ujar Anton,  belum bicara soal kemungkinan ancaman serangan hama penyakit karena virus atau bakteri. Antisipasi penurunan kematian ayam ini kian sulit dilakukan karena pemerintah  melarang memakai antibiotic growth promotor (AGP). Padahal, industri ayam di AS dan Eropa sampai saat ini  menggunakan AGP untuk mengurangi tingkat kematian populasi ayam akibat serangan penyakit.

Kompas

Anton SupitKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia

“Tingkat kematian ayam di Indonesia akhirnya sulit ditekan. Ironinya, saat kebijakan itu diberlakukan tidak diikuti dengan solusi bagi para pelaku industri dan peternak. Kita bakal semakin berat menghadapi pukulan beruntun ini. Tinggal bagaimana tindakan  kementerian teknis bersikap  arif memberlakukan aturan yang aman. Merumuskan kebijakan yang strategis dan bisa menekan tingkat guncangan kenaikan harga akibat seretnya pasokan dan menguatnya dollar AS. Semuanya tergantung sikap pemerintah pelaku tinggal menunggu apa keputusannya,” kata Anton.

Beban berat

Memang harus diakui kenaikan pakan dan jagung sejak enam bulan terakhir ini naik sekitar 8 persen. Hal ini, tambah Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Don Utoyo, mendongkrak  biaya produksi bahan baku pakan, obat-obatan, peralatan, dan larangan AGP, membuat persoalan menjadi multi fakor. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ayam pedaging melambat dan sulit diatasi, sekalipun dengan operasi pasar.

Saat ini, produksi ayam yang biasanya hanya sekitar 30 hari kini bisa menjadi 33 hari sampai 35 hari. Perubahan masa pemeliharaan ini otomatis menaikkan struktur biaya produksi hinga 10 persen. Riil kondisi ini sangat pelik karena tidak bisa diatasi secara instan dengan proses produksi yan natural. Pilihannya tinggal kecerdasan pemerintah darimana mencari pasokan untuk kebutuhan operasi pasar telur dan daging ayam, apakah dari impor atau darimana.

“Saya tidak tahu. Sebab saat ini demand-nya masih tinggi  (pasca Lebaran dan liburan anak sekolah panjang, pilkada banyak kebutuhan telur dan  daging ayam), harganya  relatif lebih murah. Saat ini suplai agak terbatas karena DOC kurang dan ayam layer juga produksinya turun karena iklim pancaroba. Pada saat yang sama ayam dewasa juga sudah habis masa produksinya. Sedangkan yang muda belum sampai pada produksi. Bingung juga memikirkan solusinya dari dalam negeri,” kata Don.