Buah Kebijakan Pemerintah dan Kenaikan Harga Pakan
Naik-turunnya harga ayam dan telur dalam sebulan terakhir ini sangat tergantung dari keseimbangan pasokan dan permintaan. Saat ini, permintaan tetap dan cenderung naik, sedangkan pasokan terus merosot.
Kemerosotan itu merupakan buah pahit yang harus diterima akibat kebijakan pemerintah menekan impor bibit induk ayam dan kenaikan harga pakan karena ketergantungan impor bahan baku yang tinggi.
Jika dollar AS terus menguat, kata Ketua Dewan Penasihat Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Sudirman, Kamis (12/7/2018), dipastikan harga pakan akan melonjak. Risiko yang harus diterima peternak adalah kenaikan biaya produksi yang sangat signifikan.
”Semua itu akan mendongkrak harga ayam dan telur di pasar eceran. Kondisi ini tidak bisa ditawar dan harus ada kebijakan yang strategis agar jangan sampai impor dibuka tak terkontrol. Sebab, jika kebijakan diambil dalam kondisi panik, bisa terjadi hal sebaliknya,” tutur Sudirman.
Harga jual berpotensi anjlok, sedangkan biaya produksi ayam pedaging ataupun petelur akan terus meningkat secara signifikan. Pada akhirnya, yang dirugikan semuanya, produsen, peternak, pedagang, dan konsumen.
”Ada dua hal utama yang menyebabkan merosotnya pasokan daging ayam dan telur,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Peternakan dan Perikanan Anton J Supit, Kamis, di Jakarta.
Persoalan mendasar itu adalah kurangnya suplai bibit karena pengetatan impor bibit induk ayam atau grand parent (GP) dan kegagalan pemeliharaan di tingkat peternak.
GP adalah inti dari grand parent stock (GPS) yang nantinya jadi kakeknya ayam. GPS inilah yang kemudian bertelur dan menetaskan induk (PS) yang menghasilkan final stock (FS) alias day old chicken final (DOC-anak ayam umur sehari).
PS merupakan bahan baku untuk budidaya ayam broiler atau pedaging dan ayam layer alias petelur.
Kurangi impor GP
Masalah itu mulai timbul, ujar Sudirman, sejak pemerintah mengurangi alokasi impor GP karena desakan peternak yang menjerit menghadapi penurunan harga jual.
Kebijakan pengurangan yang tak terkontrol ini mengakibatkan pengurangan populasi ayam pedaging dan petelur.
Kondisi tak bisa dihindari sehingga terus mendorong laju kenaikan harga ayam dan telur. Persoalan bertambah runyam karena nilai tukar dollar AS terus menguat dalam jangka waktu yang lama.
Mahalnya harga dollar AS mendongkrak harga pakan yang mengalami ketergantungan impor sangat tinggi.
”Jika dollar AS kembali seperti semula, masih mungkin harga pakan ditahan. Namun, jika terus menguat, harga pakan pasti sekitar Rp 600 per kilogram. Kenaikan itu berarti mendorong kenaikan biaya produksi Rp 1.000-Rp 1.200 per kilogram untuk ayam pedaging dan petelur,” ucap Sudirman.
Beban persoalan ini, ujar Anton, belum bicara soal kemungkinan ancaman serangan hama penyakit karena virus atau bakteri. Antisipasi penurunan kematian ayam ini kian sulit dilakukan karena pemerintah melarang memakai antibiotic growth promotor (AGP).
Padahal, industri ayam di AS dan Eropa sampai saat ini menggunakan AGP untuk mengurangi tingkat kematian populasi ayam akibat serangan penyakit.
”Tingkat kematian ayam di Indonesia akhirnya sulit ditekan. Ironisnya, saat kebijakan itu diberlakukan tidak diikuti dengan solusi bagi pelaku industri dan peternak. Kita bakal semakin berat menghadapi pukulan beruntun ini. Tinggal bagaimana tindakan kementerian teknis bersikap arif memberlakukan aturan yang aman. Merumuskan kebijakan yang strategis dan bisa menekan tingkat guncangan kenaikan harga akibat seretnya pasokan dan menguatnya dollar AS,” tutur Anton.
Ia menambahkan, semuanya tergantung sikap pemerintah. Pelaku tinggal menunggu apa keputusannya.
Beban berat
Memang harus diakui, pakan dan jagung sejak enam bulan terakhir ini naik sekitar 8 persen. Hal ini, ujar Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia Don Utoyo, mendongkrak biaya produksi bahan baku pakan, obat-obatan, peralatan, dan larangan AGP, membuat persoalan menjadi multifaktor.
Hal ini menyebabkan pertumbuhan ayam pedaging melambat dan sulit diatasi.
Saat ini, produksi ayam yang biasanya hanya sekitar 30 hari kini bisa menjadi 33 hari sampai 35 hari.
Perubahan masa pemeliharaan ini otomatis menaikkan struktur biaya produksi hingga 10 persen. Riil kondisi ini sangat pelik karena tidak bisa diatasi secara instan dengan proses produksi yang natural.
Pilihannya tinggal kecerdasan pemerintah bagaimana mencari pasokan untuk kebutuhan operasi pasar telur dan daging ayam.
”Saya tidak tahu sebab saat ini demand-nya masih tinggi (setelah Lebaran dan liburan anak sekolah panjang serta pilkada, banyak kebutuhan telur dan daging ayam),” kata Don.
”Saat ini, suplai agak terbatas karena DOC kurang dan ayam layer juga produksinya turun karena iklim pancaroba. Pada saat yang sama, ayam dewasa juga sudah habis masa produksinya, sedangkan yang muda belum sampai pada produksi. Bingung juga memikirkan solusinya dari dalam negeri,” lanjut Don.