Jalur Tikus di Perbatasan Butuh Peningkatan Pengawasan
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Indonesia darurat narkoba karena setiap hari sekitar 30 orang meninggal akibat narkotika dan obat-obatan berbahaya. Banyaknya jalur tikus di daerah perbatasan masih menjadi masalah utama. Upaya pencegahan harus diutamakan dengan peningkatan pengamanan di perbatasan dan penyuluhan kesehatan secara komprehensif.
Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada 2017, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba mencapai 3.376.115 orang atau 1,77 persen dari total penduduk Indonesia usia produktif (10-59 tahun). Dari angka itu, setidaknya 11.071 orang meninggal per tahun atau 30 orang meninggal per hari.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, ancaman narkoba bukan lagi di depan mata, melainkan sudah memasuki aspek kehidupan bangsa. Bahkan, narkoba telah menggerogoti generasi muda bangsa.
”Kita darurat narkoba karena setiap hari 30 anak muda kita meninggal karena narkoba. Dari generasi ke generasi, ini akan menjadi ancaman terbesar bagi bonus demografi bangsa Indonesia pada 2030, yakni dengan kehancuran generasi muda sebagai penerus estafet perjuangan bangsa kalau tidak bisa kita atasi dengan baik,” ujar Wiranto dalam peringatan Hari Antinarkotika Internasional 2018 di Balai Besar Rehabilitasi BNN, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/7/2018).
Acara juga dihadiri oleh Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko, Kepala Bareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik Komjen Budi Waseso, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, serta Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami.
Wiranto menuturkan, Indonesia sebagai area perbatasan terpanjang kedua di dunia–mencapai 9.000 kilometer–menjadi salah satu ancaman peredaran narkoba. Banyaknya jalur tikus di perbatasan, baik laut maupun darat, makin membuat ancaman itu nyata. Sebagai contoh di Kalimantan Utara, katanya, di perbatasan antara Kaltara dan Sabah, Malaysia, itu mencapai 1.400 jalur tikus.
”Perbatasan kita luas, kita negara maritim. Tempat masuk narkoba itu banyak sekali. Kalau kita tidak bisa mengawasi setiap jengkal tanah kita, kita akan kewalahan. Karena itu, kita harus total lawan narkoba, baik pencegahan, penindakan, maupun rehabilitasinya,” kata Wiranto.
Kerawanan di area perbatasan juga dirasakan oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak. Saat telewicara dari Bogor, Kamis kemarin, Awang mengungkapkan, salah satu ancaman peredaran narkoba di daerahnya adalah jalur tikus di laut. Ia juga mengaku prihatin karena daerahnya masuk tiga besar pemakai narkoba. Angka prevalensi daerah itu mencapai 4,7 persen.
”Kami mohon perhatian juga aparat keamanan. Kami memiliki perbatasan laut yang luas di mana masuknya narkoba dari luar negeri. Laut kami banyak sekali kapal dari luar negeri yang tidak merapat ke pelabuhan. Kami menduga kapal-kapal itulah jalan masuk yang tidak terkontrol selama ini,” ujar Awang.
Wakil Gubernur Kepulauan Riau Isdianto juga mengatakan, ancaman peredaran narkoba tergolong tinggi di daerahnya. Hal itu terbukti dari penangkapan kapal yang membawa 1,6 ton sabu pada Februari lalu di perairan Anambas.
”Sampai detik ini, kami masih harus terus mengantisipasi peredaran narkoba dari jalur laut bersama tim terpadu dari semua aparat penegak hukum,” ujar Isdianto.
Pencegahan
Mendagri mengatakan, dalam upaya pencegahan, pihaknya telah berencana untuk memperluas Peraturan Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. Nantinya, dalam perluasan aturan itu, setiap provinsi setidaknya memiliki satu rumah sakit daerah tingkat dua untuk pusat rehabilitasi.
”Saya kira kalau kita mau serius menangani masalah ini, semua APBD, baik di tingkat satu maupun dua, harus ada pos khusus untuk penanggulangan masalah ini. Karena pengguna tidak boleh ditahan, tetapi harus direhabilitasi, kecuali dia pengedar harus masuk penjara,” kata Tjahjo.
Pengalokasian APBD itu, menurut Tjahjo, penting karena biaya rehabilitasi tergolong mahal. Ia menyebut, biaya rehabilitasi untuk 100.000 orang terpapar narkotika hampir mencapai Rp 1 triliun.
”Setiap RT dan RW sudah terdeteksi ada pemakai narkoba. Di Papua sudah ada yang menggunakan lem. Saya kira ini harus kita dukung karena negara dalam keadaan darurat narkoba,” ujarnya.
Selain itu, Wiranto juga mengingatkan agar aparatur sipil negara harus terbebas dari narkoba. Apabila ada ASN yang melanggar aturan itu, sanksi terberat adalah pencopotan jabatan.
”Kalau mereka terikat narkoba, mereka enggak bisa kerja, ya harus dicopot. Mereka, kan, abdi negara dan pengabdiannya tidak akan optimal,” ujar Wiranto.
Sementara itu, Menteri PDTT, mengatakan, sebagai upaya pencegahan, pihaknya terus mendorong setiap daerah menentukan Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades). Masyarakat bisa mengalihkan tanaman ganja menjadi tanaman yang lebih memiliki nilai jual dan legal. Dia mencontohkan kasus di Aceh yang bisa mengalihkan dari menanam ganja ke tanaman lain, seperti jagung atau padi.
”Yang baru kita lakukan untuk penanggulangan narkoba saat ini di Aceh. Ladang-ladang ganja, kan, yang kita ketahui baru di Aceh. Penguatannya dengan Prukades dan badan usaha milik desa (BUMDes), di Aceh pertumbuhan BUMDes-nya paling cepat. Karena BUMDes-nya juga mengelola hasil pascapanen pertanian,” katanya.