Masalah Tak Hanya pada Produktivitas Ayam Petelur
JAKARTA, KOMPAS Harga telur ayam sepekan terakhir di banyak daerah berada di atas harga acuan Rp 22.000 per kilogram. Bahkan, di tingkat eceran ada yang mencapai Rp 30.000 per kilogram, yang memberatkan konsumen dan dapat berkontribusi pada inflasi bulan Juli 2018.
Salah satu faktor penyebab adalah berkurangnya suplai akibat penurunan produktivitas ayam petelur atau layer. “Ini sedang diselidiki. Hasil uji virus dan bakteri tidak mengindikasikan masalah. Namun, ada faktor lain yang menyebabkan produktivitas ayam petelur turun dari 90 persen ke 40 persen," kata Presiden Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Kalaupun ayam-ayam itu pulih, tambah Mesdi, produktivitas maksimum yang dapat dicapai sebesar 60 persen. Artinya, tidak langsung pulih seperti semula. Ada dampak kebijakan lain yang perlu dikaji.
Dari sisi konsumen, kenaikan harga telur berdampak langsung pada masyarakat menengah bawah dan pelaku usaha kecil dan menengah di sektor makanan. “Khusus menu nasi telur harganya naik dari Rp 8.000 jadi Rp 9.000 per porsi," kata Rosmawati, pemilik warung di sekitar Universitas Lampung.
“Ayam saya banyak yang pilek. Tadinya, ayam yang produksi mencapai 90 persen, kini tinggal 60 persen".
Sri Dewi (20), penjual kue tart, juga menaikkan harga jual kue antara Rp 5.000 – Rp 10.000 per porsi. Biaya meningkat sekitar 20 persen sejak harga telur naik. Setiap hari, dia menghabiskan 20-30 kg telur untuk memenuhi pesanan.
Di Bandung, Jawa Barat, kenaikan harga telur membuat sejumlah pedagang mengurangi stok hingga 30 persen. “Stok disesuaikan pesanan dari langganan saja. Takut tidak laku,” ujar Harianto (42), pedagang di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung.
Sepekan terakhir, harga telur di Kota Bandung Rp 28.000–Rp 29.000 per kg. Medio Juni lalu, harga telur Rp 26.000 per kg. Sebelumnya, Rp 23.000 per kg.
Kenaikan harga telur di Jabar terjadi dari tingkat peternak. Di Subang, harga di tingkat peternak melambung hingga Rp 25.600 per kg. Saat normal harganya Rp 20.000–Rp 22.000 per kg.
Harga tertinggi telur ayam saat ini Rp 30.000 per kilogram. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Ngadiran dan Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Abdullah Mansuri mengatakan, harga itu berlaku sejak Rabu.
Berbagai penyebab
Fluktuasi harga sangat tergantung keseimbangan pasokan dan permintaan. Saat ini permintaan tetap dan cenderung naik, sedangkan pasokan terus merosot. Tidak ada penyebab tunggal.
Sejumlah peternak ayam petelur di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur, bersikukuh turunnya produksi jadi penyebab naiknya harga telur ayam dua pekan ini. Produksi telur turun karena beberapa faktor, antara lain populasi ayam di kandang berkurang, cuaca tidak kondusif, dan hilangnya antibiotik imbuhan pakan (antibiotic growth promoters/AGP) dari pasaran karena kebijakan pemerintah.
Larangan penggunaan antibiotik karena tingginya kejadian resistensi bakteri terhadap beberapa jenis antibiotik.
Widodo Setyohadi, salah satu peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Blitar, mengatakan, saat ini ia hanya punya 1.000 ekor yang menghasilkan 30 kg telur per hari. Sebelumnya, bisa 50 kg per hari.
“Ayam saya banyak yang pilek. Tadinya, ayam yang produksi mencapai 90 persen, kini tinggal 60 persen. Di sini angin kencang dan udara dingin memengaruhi kesehatan ayam. Ayam tidak memeroleh suplemen cukup, tidak ada antibiotik,” katanya.
Menurut Atik Kumairo, peternak di Desa Susuhbango, Ringinrejo, Kediri, larangan obat kimia dan menggantinya dengan bahan herbal dikeluhkan peternak. “Jika cuacanya buruk, ayam mudah ngedrop,” katanya.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Peternakan dan Perikanan, Anton J Supit, ada dua hal utama penyebab merosotnya pasokan daging ayam dan telur. Persoalan mendasar adalah kurangnya suplai bibit karena pengetatan impor bibit induk ayam atau grand parent (GP) dan kegagalan pemeliharaan di tingkat peternak.
Itu belum bicara soal kemungkinan ancaman serangan hama penyakit, karena virus atau bakteri. Antisipasi penurunan kematian ayam itu kian sulit dilakukan, kata Anton, karena pemerintah melarang AGP. “Tingkat kematian ayam akhirnya sulit ditekan," kata dia.
Soal lain, terkait pakan ternak yang 60 persen komponennya masih diimpor. Pelemahan rupiah sangat berpengaruh.
Sejumlah peternak pun berinisiatif demi produktivitas ternak. “Saya buat makanan tambahan berupa kedelai. Akibatnya, ongkos produksi meningkat Rp 250 per kilogram. Terpaksa dilakukan agar produksi telur maksimal," kata Ahmad Sihabudin, peternak ayam di Kediri.
Memelihara ayam sekarang, kata Sihabudin, berbeda dengan yang dulu. Dulu asal dikasih makan, maka ayam bertelur. "Saat ini tidak. Ayam sudah mengalami rekayasa genetika sehingga perlu penanganan lebih dari sekadar dikasih makan,” katanya.
Sihabudin juga membantah anggapan peternak menyimpan telur. Telur tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Sedikitnya ada tiga resiko bila ayam disimpan lama, yakni bobot telur turun, kualitas turun, dan peternah harus menyiapkan biaya lebih untuk menyimpan.
Dihubungi terpisah, Sukarman, salah satu peternak asal Desa Dadaplangu, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, mengaku kenaikan harga pakan (konsentrat) akibat penggaruh dolar AS, juga ikut andil dalam kenaikan harga telur. Selama 2018 terjadi dua kali kenaikan harga pakan hingga mencapai Rp 700 per kg dari sebelumnya Rp 4.700 menjadi Rp 5.500 per kg.
“Setiap harga pakan naik Rp 100 maka dampaknya harga telur naik Rp 300 per kg,” kata Sukarman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional Kabupaten Blitar.
Sukarman juga membantah anggapan yang menyatakan bahwa peternak menahan untuk tidak menjual telur pada saat Lebaran lalu, termasuk telur yang digunakan untuk anakan ayam (DOC). Berbeda dengan komoditas lain, telur tidak bisa disimpan dalam waktu lama. “Peternak juga tidak pernah menyimpan telur untuk DOC. Selama ini peternak justru membeli DOC dari pabrik,” ujarnya.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, kenaikan harga telur ini dapat memicu inflasi. “Akan tetapi, (pengaruhnya) tidak signifikan,” ucapnya saat ditemui, Kamis.
Di sisi lain, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance Rusli Abdulah mencatat, rata-rata kenaikan harga telur secara nasional sejak 1 Juli 2018 hingga Kamis telah mencapai 8,44 persen. Akibatnya, peningkatan ini dapat berdampak pada inflasi yang berasal dari komponen pangan.
Menurut Rusli, masyarakat lebih mudah mengakses telur sebagai sumber protein hewani dibandingkan daging ayam atau sapi. Inilah yang membuat potensi inflasi. (VIO/RAM/TAM/INK/BAY/RTG)